Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Asabri: Peradilan Siluman

7 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 7 Januari 2022   16:44 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber Tribunnews.com)

Dissenting opinion anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto dalam perkara korupsi PT Asabri kembali mendapat apresiasi,

Kali ini apresiasi datang dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno. Nur menyatakan dissenting opinion Hakim Mulyono sudah tepat dari segi aturan atau undang-undang (UU).

Seperti pernyataan guru besar hukum pidana lainnya, Nur pun menegaskan bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi, tidak terkecuali kasus korupsi PT Asabri, harus kerugian nyata dan pasti, tidak boleh potensial kerugian karena akan menjadi beban bagi terpidana.

Lebih lanjut, Nur berpendapat dissenting opinion Hakim Mulyono ini penting karena dapat menjadi catatan bagi pengadilan banding dan pengadilan kasasi.

Sebagaimana yang diketahui, pada 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.  Dalam putusan tersebut, MK mencabut frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Dengan keluarnya Putusan MK tersebut, frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" ditafsirkan harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

Sementara, kerugian negara sebesar Rp 22,7 triliun dalam perkara korupsi PT Asabri bukan merupakan actual loss.

Dalam kasus korupsi Asabri, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan kekeliruan. Lantaran, kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun berasal dari jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek (saham) setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo pada 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai pada 31 Maret 2021. Sebab, sampai saat ini, baik itu reksadana, surat, dan saham-saham masih dalam penguasaan atau masih menjadi milik PT Asabri. 

Sebagaimana yang disampaikan Hakim Mulyono dalam dissenting opinionnya, dengan metode penghitungan yang digunakan oleh ahli tersebut, saham atau efek tersebut masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. 

Singkatnya, surat-surat berharga yang diperkarakan tersebut masih menghasilkan dana atau keuntungan bagi PT Asabri.

Benar saja, pada 6 Februari 2020 harga saham PT Asabri, juga PT Jiwasraya naik gila-gilaan. Pada penutupan perdagangan hari itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik 0,14% menjadi 5.987. Tetapi, harga sejumlah saham yang dimiliki Jiwasraya dan Asabri sanggup melonjak hingga belasan persen. Bahkan disebut-sebut ada yang mengalami auto rejection alias penolakan otomatis.

Peristiwa serupa juga terjadi pada akhir Juli 2020. Pada pekan terakhir Juli 2020, IHSG hanya merangkak tipis 0,07% menjadi 5.082,99. Tetapi, sejumlah saham yang dimiliki Jiwasraya dan Asabri justru meroket hingga puluhan persen, bahkan tembus 100 persen. Dan kenaikan tersebut terjadi hanya dalam rentang waktu sepekan.

Jadi, berapa sebenarnya kerugiaan negara dalam perkara korupsi PT Asabri?

Benarkan Rp 22.7 triliun seperti yang didakwakan dan dituntutkan jaksa penuntut umum (JPU) kepada para terdakwa?

Dari, fluktuasi nilai saham yang dimiliki PT Asabri, jawabannya sudah pasti bukan Rp 22,7 triliun. Kerugian negara, bila disebut sebagai kerugian negara, dalam perkara korupsi PT Asabri bisa di atas Rp 22,7 triliun atau bisa di bawah Rp 22,7 triliun.

Karenanya, angka Rp 22,7 triliun dalam kasus korupsi PT Asabri bisa dikatakan sebagai angka siluman. Seperti siluman yang bisa berubah0ubah dari bentuk macan menjadi bentuk manusia, berubah lagi mewujud kera. 

Dan, tentu saja sangat tidak mungkin persidangan bisa berjalan, bila barang bukti yang dihadirkan ke hadapan meja hijau berupa siluman.

Oleh karena angka Rp 22,7 triliun merupakan angka siluman atau bukanlah actual loss., seperti yang telah diputuskan MK dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, maka bisa dikatakan persidangan perkara korupsi PT Asabri adalah peradilan siluman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun