Malam itu, 2 Maret 2011, seorang pemuda bergurat wajah Albania berdiri di pelataran parkir Bandara Internasional Frankfurt, Jerman. Sesekali dipandanginya sebuah bus yang diparkir tidak jauh darinya. Pada badan bus tertulis "United States Air Force".
Saat ia mengalihkan pandangannya, dilihatnya seorang berseragam tentara angkatan udara Amerika yang akan melintasinya. Sebelum tentara itu melewatinya, pemuda itu buru-buru menghampiri.Â
Basa-basi singkat pun berlangsung. Dimintanya sebatang rokok kepada tentara Amerika yang dihampirinya tadi. Kemudian sebatang rokok pun berpindah tangan.Â
Sambil menyulut ujung rokok yang diterimanya, pemuda itu bertanya, "Pernah ditugaskan di Afghanistan?"
"Yes," jawab tentara Amerika tadi. Kemudian tentara itu berbalik dan meninggalkan si pemuda.
Tanpa membuang waktu, pemuda itu segera menarik sepucuk pistol dari balik bajunya. Dibidikkannya pistol itu ke arah kepala belakang tentara yang baru beberapa langkah menjauhinya.
"Allahu akbar!" seru pemuda tadi. Bersamaan dengan seruan nama Tuhan dari mulutnya, telunjuk tangan kanannya itu menarik picu FN P35.
"Dor!"Â
Peluru kaliber 9 mm meluncur deras. Dalam sekedipan mata, peluru itu menembus batok kepala belakang tentara Amerika tadi. Satu korban telah jatuh.
Bukannya melarikan diri, pemuda itu justru berlari ke arah bus bertuliskan "United States Air Force" milik Angkatan Udara Amerika.Â
Lewat pintu depan, ia melompat masuk. Begitu berada di dalam, pemuda tadi langsung melepaskan serentetan tembakan ke arah supir dan penumpang bus. Tiga korban kembali jatuh.
Kemudian pemuda itu menodongkan pistol yang digenggamnya ke penumpang lainnya. Mencari sasaran baru. Sekali lagi jari telunjuknya menarik picu.Â
Tapi, kali ini menembak tidak semudah sebelumnya. Pistol buatan Belgia yang digenggamnya terlepas dan jatuh. Bersamaan dengan itu, ia pun diringkus.
Aksi Arid Uka Korban Kemajuan Teknologi KomunikasiÂ
Pemuda itu bernama Arid Uka. Pada malam itu, ia telah membunuh dua tentara Amerika, Senior Airman Nicholas Alden dan Airman First Class Zachari Cuddeback dan melukai dua penumpang bus lainnya.
Hasil penyelidikan polisi Jerman mengungkapkan kalau Uka yang saat itu berusia 21 tahun tidak tercatat sebagai anggota dari jaringan teroris manapun. Ia pun tidak pernah direkrut, apalagi dibina di kamp teroris manapun. Aksi penembakan yang dilakukannya di Bandara Frankfurt itu pun dilakukannya tanpa bantuan orang lain alias lone wolf.
Dalam pemeriksaan, Uka mengaku kalau ia terdorong untuk berjihad setelah aktif mengakses internet, khususnya Facebook. Lewat jejaring sosial buah karya Mark Zuckerberg itu, ia aktif dalam diskusi keagamaan.Â
Karyawan Deutsche Post itu sama sekali tidak menyadari kalau dalam diskusi yang berlangsung selama berminggu-minggu itu dirinya tengah dibina oleh sekelompok teroris yang beroperasi di Jerman. Proses perekrutan serta pembinaan seperti yang dilakukan terhadap Uka inilah yang kemudian dikenal sebagai Jihad Ver. 2.0.
Jihad Ver.2.0 yang Sulit Diendus
Jihad Ver. 2.0 sebenarnya sudah dikenal sejak beberapa tahun sebelumnya, setidaknya sejak 2006. Pada awalnya strategi jihad ini hanya dilakukan dengan mempengaruhi calon teroris lewat website, biasanya website dengan subdomain wordpress atau blogspot, misalnya www.millahibrohim.wordpress.com yang dikelola pentolan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sekaligus pelaku teror bom Thamrin OmanRachman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman.
Namun seiring dengan semakin populernya jejaring media sosial, kelompok jihadis menggeser strateginya. Lewat jejaring medsos, kelompok teroris bukan saja menyebarkan pahamnya, tetapi juga melakukan perekrutan. Target kemudian dikontak lewat chat room. Lewat ruang obrolan pribadi inilah para perekrut menjejalkan dokrin-dokrin radikalisme.
Terekam sejak Juni 2014, ISIS semakin agresif merekrut pengikutnya lewat media sosial.Lewat Facebook, Twitter, dan jejaring medsos lainnya, ISIS melancarkan beragam propagandanya.
Dengan strategi Jihad Ver. 2.0 ini, perekrut tidak perlu bertemu langsung dengan si calon pengantin. Bahkan, dalam kasus Arid Uka, kelompok perekrut tidak perlu mengeluarkan dana bagi Uka untuk melakukan aksi terornya. Di sisi lain perekrutan targetnya belum tentu berada dalam satu wilayah hukum yang sama.
Lantaran ke-private-annya itu, Jihad Ver 2.0 lebih sulit terendus oleh dinas intelijen atau aparat keamanan. Seperti Dalam penembakan di Bandara Frankfurt, Uka baru diketahui berkomunikasi dengan kelompok teroris setelah melakukan aksinya. Karenanya, dalam kasus Arid Uka, aparat intelijen Jerman tidak bisa dibilang kecolongan.
Isu "Munarman Lumpuh" Potensi Lahirkan Uka-Uka
Jika tindakan terorisme Arid Uka dipicu hoax hasil manipulasi film, belakangan di Indonesia beredar kabar tentang kondisi Munarman yang dikatakan lumpuh permanen akibat penyiksaan yang dilakukan oleh polisi. Isu ini, salah satunya diviralkan oleh akun Twitter @m1n4_ 95.Â
"BREAKING NEWS!!! Bang Munarman terlupakan oleh kita, banyak kabar beredar jika beliau sekarang tidak bisa berjalan dan bisa jadi lumpuh permanen, juga susah untuk bicara dengan jelas akibat terus-terusan mengalami penyiksaan sejak ditangkap 27 April 2021 lalu. Bahkan Munarman cuma diberi makan seminggu dua kali oleh polisi sehingga beliau sudah sangat teraniaya. Dan isu beredar jika itu desainernya Jokowi sendiri. REZIM LAKNATULLAH !!." tuit akun tersebut.
Atas cuitan itu netijen Indonesia dibuat heboh. Tagar #MunarmanDiapain dan #MunarmanApaKabar pun tranding dalam dua hari berturut-turut.
Dalam wawancaranya dengan Refly Harun yang ditayangkan di kanal Refly Harun pada 28 Mei 2021, Azis Yanuar selaku pengacara Munarman mengabarkan kondisi kliennya yang baik-baik saja dan bisa dikunjungi oleh keluarga.
Padahal, logikanya, kalaupun keterangan yang disampaikan polisi tidak bisa dipercaya, seharusnya klarifikasi dari pengacara Munarman bisa diterima. Namun, faktanya, hoax tentang kondisi lumpuh permanen terus menyebar. Bahkan sehari kemudian tagar #MunarmanApaKabar trending meneruskan tagar sebelumnya.
Saat kondisi bangsa yang tengah mengalami keterbelahan seperti yang terjadi sekarang ini, segala macam isu negatif berpotensi memicu benturan di antara sesama anak bangsa. Dan, berkaca dari pemicu aksi yang dilakukan oleh Arid Uka, isu "Munarman lumpuh permanen" berpotensi melahirkan "Uka-Uka" di Indonesia.
Â
Upaya Menkominfo Johnny Plate Antisipasi Gerakan Maya Terorisme
Secara bertahap, mulai 27 Mei 2021 Indonesia memasuki era Internet 5G. Teknologi komunikasi ini memiliki performa yang jauh lebih baik dari empat generasi sebelumnya.
Saat menyambut hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2021, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti akan dimanfaatkannya teknologi 5G oleh ideolog transnasional radikal.
"Ketika konektivitas 5G melanda dunia maka interaksi antardunia juga semakin mudah dan cepat. Kemudahan ini bisa digunakan oleh ideolog transnasional radikal untuk merambah ke semua pelosok Indonesia ke seluruh kalangan dan keseluruh usia tidak mengenal lokasi dan waktu," kata Jokowi sebagaimana yang dikutip sejumlah media.
Dalam kacamata pemanfaatan teknologi komunikasi oleh kelompok teroris, pernyataan Jokowi tidak salah. Karena justru dengan makin berkembangnya teknologi, segala macam dampak negatif pun akan turut menyertainya.
Mendapati potensi dimanfaatkannya kemajuan teknologi komunikasi oleh kelompok teroris, Menkominfo Johnny G Plate tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukannya bersama kementerian yang dipimpinnya.
Untuk menjaga internet bersih dari konten-konten negatif, misalnya, pemerintah melalui Kemkominfo melakukan pengawasan dengan menggunakan mesin crawling berbasis kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
"Kementerian Kominfo melakukan pengawasan ruang siber selama 24/7 dengan menggunakan mesin crawling berbasis AI yang memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme, dan di saat bersamaan terus berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, serta stakeholder terkait lainnya," ujar Menkominfo kepada detikINET pada 6 April 2021.
Dengan menggunakan teknologi tersebut, terhitung hingga 3 April 2021, Kemkominfo telah melakukan pemblokiran terhadap konten bermuatan radikalisme dan terorisme sebanyak 20.453 konten yang tersebar di berbagai situs serta berbagai platform media sosial.
Selain itu, sebagaimana yang disampaikan Menkominfo Johnny Plate, pemerintah juga menggelar kegiatan literasi digital untuk masyarakat. Dengan aktivitas ini, diharapkan masyarakat dapat memfilter informasi yang diterima dengan baik, serta mendorong pengguna media sosial untuk memposting konten-konten positif dan produktif.
Untuk meredam dampak dari aksi terorisme, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate juga meminta masyarakat tidak menyebarkan foto dan informasi mengenai isu terorisme. Karena menurut Johnny, penyebaran foto dan informasi tentang aksi terorisme berpotensi memperkeruh situasi.
"Janganlah menyebarkan foto-foto yang tidak memenuhi persyaratan etis dan tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan di ruang digital," kata Johnny pada 1 April 2021 seperti yang dikutip oleh MSN.com.
Namun demikian, karena sulitnya mengendus gerakan terorisme di dunia maya "bawah tanah", pemerintah sebaiknya lebih mendorong peran serta masyarakat.Â
Sayangnya, berbagai upaya pemerintah dalam menggerakkan keterlibatan masyarakat sepertinya kurang mendapat sambutan dari masyarakat sendiri. Duta Damai yang dibentuk BNPT, misalnya, kurang mendapat perhatian masyarakat. Situs resmi Duta Damai pun sepi dari kunjungan.
Keikutsertaan masyarakat dalam menghadapi aksi terorisme inilah yang seharusnya menjadi perhatian Menkominfo Johnny Plate. Sebab, mungkin tanpa disadari oleh Johnny, Satelit Satria yang akan mengorbit pada 2023 pun dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H