Lewat pintu depan, ia melompat masuk. Begitu berada di dalam, pemuda tadi langsung melepaskan serentetan tembakan ke arah supir dan penumpang bus. Tiga korban kembali jatuh.
Kemudian pemuda itu menodongkan pistol yang digenggamnya ke penumpang lainnya. Mencari sasaran baru. Sekali lagi jari telunjuknya menarik picu.Â
Tapi, kali ini menembak tidak semudah sebelumnya. Pistol buatan Belgia yang digenggamnya terlepas dan jatuh. Bersamaan dengan itu, ia pun diringkus.
Aksi Arid Uka Korban Kemajuan Teknologi KomunikasiÂ
Pemuda itu bernama Arid Uka. Pada malam itu, ia telah membunuh dua tentara Amerika, Senior Airman Nicholas Alden dan Airman First Class Zachari Cuddeback dan melukai dua penumpang bus lainnya.
Hasil penyelidikan polisi Jerman mengungkapkan kalau Uka yang saat itu berusia 21 tahun tidak tercatat sebagai anggota dari jaringan teroris manapun. Ia pun tidak pernah direkrut, apalagi dibina di kamp teroris manapun. Aksi penembakan yang dilakukannya di Bandara Frankfurt itu pun dilakukannya tanpa bantuan orang lain alias lone wolf.
Dalam pemeriksaan, Uka mengaku kalau ia terdorong untuk berjihad setelah aktif mengakses internet, khususnya Facebook. Lewat jejaring sosial buah karya Mark Zuckerberg itu, ia aktif dalam diskusi keagamaan.Â
Karyawan Deutsche Post itu sama sekali tidak menyadari kalau dalam diskusi yang berlangsung selama berminggu-minggu itu dirinya tengah dibina oleh sekelompok teroris yang beroperasi di Jerman. Proses perekrutan serta pembinaan seperti yang dilakukan terhadap Uka inilah yang kemudian dikenal sebagai Jihad Ver. 2.0.
Jihad Ver.2.0 yang Sulit Diendus
Jihad Ver. 2.0 sebenarnya sudah dikenal sejak beberapa tahun sebelumnya, setidaknya sejak 2006. Pada awalnya strategi jihad ini hanya dilakukan dengan mempengaruhi calon teroris lewat website, biasanya website dengan subdomain wordpress atau blogspot, misalnya www.millahibrohim.wordpress.com yang dikelola pentolan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sekaligus pelaku teror bom Thamrin OmanRachman alias Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman.
Namun seiring dengan semakin populernya jejaring media sosial, kelompok jihadis menggeser strateginya. Lewat jejaring medsos, kelompok teroris bukan saja menyebarkan pahamnya, tetapi juga melakukan perekrutan. Target kemudian dikontak lewat chat room. Lewat ruang obrolan pribadi inilah para perekrut menjejalkan dokrin-dokrin radikalisme.