"Tetapi kalau saya melihat kesan presiden, ya happy-happy saja tuh. Artinya dia kaget betul ketika tahu bahwa Pak Moeldoko ikut. Tetapi beliau tidak merasa bahwa 'ini merusak anu dan bla bla', (presiden) diam saja tuh," ungkap Menko Polhukam Mahfud MD dalam "Mata Najwa" yang ditayangkan pada 10 Maret 2021.
Pernyataan Menko Polhukam itu seolah umpan lambung cantik yang berbuah gol ke gawang Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Sontak Jokowi jadi bahan bahan olok-olok. Lewat kanal YouTube-nya, "Rocky Gerung Official", Rocky Gerung menertawai sikap Jokowi yang diungkap Mahfud MD tersebut.
"Kan kalau happy-happy artinya tidak ada ketegangan bagus juga kalau beliau happy-happy, artinya beliau nggak paham tentang arus bawah, itu sangat bagus, walaupun udah hanyut dia nggak tahu bahwa dia udah hanyut, kan," celoteh Rocky.
Posisi Jokowi dalam kemelut Partai Demokrat memang serba salah. Gegara KSP Moeldoko didapuk secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Jokowi kena getahnya. Seperti kata pepatah lama "anak polah bapa kepradah"
Bahkan, Ade Armando yang selama ini dikenal sebagai loyalis militan Istana pun bereaksi keras. Lewat akun Twitter-nya, Ia mendesak Jokowi mencopot Moeldoko dari jabatannya.Â
pic.twitter.com/nbhld44Hlq--- ade armando (@adearmando1) March 6, 2021
Keserbasalahan Jokowi dalam menyikapi kemelut Partai Demokrat ini hampir-hampir mirip ketika menghadapi pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri pada awal 2015 lalu. Ketika itu Jokowi yang sudah mengajukan Budi ke DPR terpaksa harus berpikir ulang lantaran KPK menetapkan sosok pilihan Jokowi itu sebagai tersangka.Â
Ketika itu, setelah terjadi gonjang-ganjing, keputusan pun diambil kemudian, pencalonan Budi sebagai Kapolri dibatalkan. Selanjutnya, sebagai win-win solution, Budi Gunawan dipilih sebagai Kepala Badan Intelijen Negara.
Posisi Jokowi dalam menyikapi posisi Moeldoko pun demikian. Selaku orang nomor satu di pemerintahan, Jokowi memiliki legitimasi untuk mencopot  Moeldoko dari jabatannya selaku KSP. Tetapi, dari kacamata politik pencopotan Moeldoko pasti memiliki konsekuensinya sendiri.
Namun, Jokowi bisa saja melepaskan dirinya dari pusaran kemelut bila mantan Walikota Surakarta itu tidak memilih seperti Bima dalam lakon "Dewa Ruci".
Lakon "Dewa Ruci" menuturkan tentang perjalanan Bima dalam mencari air kehidupan atau Tirta Prawitra. Bima dikenal sebagai ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauannya. Ia tidak bisa dibeli. Di samping itu Bima pun sangat patuh pada gurunya, Resi Dorna. Kepatuhan Bima pada gurunya inilah yang kemudian dijadikan pintu masuk bagi Kurawa untuk membinasakan Bima.
Dalam lakon yang diciptakan Sunan Kalijaga itu, Dorna memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan. Sebagai murid yang patuh, sekalipun mendapat tentangan dari saudara-saudaranya, Bima tetap melaksanakan perintah dari gurunya itu.
Dengan tekad bulat Bima menuju Gunung Candramuka, tepatnya di Rimba Palasara. Kemudian Bima memasuki gua yang berada di lereng gunung. Di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Setelah melalui pertempuran yang dahsyat, Bima berhasil mengalahkan keduanya.
Ternyata, kedua raksasa itu jelmaan Bhatara Indra dan Bhatara Bayu. Melalui suara batinnya, Bima mendengar kedua dewa itu berkata bila Dorna telah berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka.
"Wahai cucuku yang sedang bersedih. Engkau mencari air kehidupan dan tidak menemukannya. Karena engkau tidak mendapat bimbingan yang benar tentang tempat benda yang kau cari itu. Sungguh menderita dirimu," kata suara batin yang didengar Bima.
Meskipun telah memahami situasi yang dihadapinya, Bima menunaikan perintah gurunya.Â
Begitu juga dengan Jokowi. Jokowi sejatinya sudah mengetahui duduk perkara konflik yang terjadi di internal Partai Demokrat.Â
Jokowi pun menyadari sepenuhnya bila terpilihnya KSP Moeldoko sebagai Ketum Demokrat berdampak pada ketegangan di lingkungan Istana. Cuitan Ade Armando mengisyaratkan adanya kelompok-kelompok di lingkungan sekitarnya yang tengah mengincar kursi KSP yang tengah diduduki Moeldoko.
Posisi Moeldoko sebagai KSP memang sangat strategis. KSP, bisa dikatakan, merupakan tangan kanan presiden. Sebagai tangan kanan presiden yang dalam keseharian berada langsung di samping presiden, posisi Moeldoko sebagai KSP lebih strategis daripada Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Karenanya tidak mengherankan bila saat ini terbaca dengan sangat jelas ada kelompok-kelompok pendukung Jokowi yang tengah mencoba mendongkel posisi Moeldoko untuk menggantikannya..
Sekalipun begitu, isyarat dari kelompok-kelompok yang menginginkan Jokowi mencopot Moeldoko ini tidak bisa secara serampangan dianggap negatif. Bisa jadi kelompok-kelompok itu bagaikan Hanoman yang tetiba muncul di hadapan Bima. Hanoman menghadang Bima untuk mengingatkan agar Bima tidak melanjutkan pencarian air kehidupan yang dapat membinasakan jiwanya.Â
Jika salah dalam mengambil keputusan soal posisi Moeldoko, justru Jokowilah yang terkena getahnya. Tidak menutup kemungkinan bila kelompok-kelompok itu nantinya akan menagih secara terbuka janji Jokowi saat Pilpres 2019. Ini sudah dibuktikan ketika Adian Napitupulu menagih janji Jokowi terkait jabatan di BUMN.
Dalam menyikapi konflik Demokrat beserta turunannya, yaitu posisi Moeldoko sebagai KSP, Jokowi tidak bisa seperti Bima yang keukeuh melanjutkan mencari air kehidupan meski hatinya mulai meragu.
Singkat cerita, dalam pencariannya sampailah Bima di samudra. Bima pun lantas menerjunkan dirinya ke dalam samudra. Di samudra itu Bima bertemu dengan ular yang liar dan ganas. Bisanya mematikan, mulutnya bagai gua yang sanggup menelan tubuh BIma, taringnya bercahaya menandakan ketajamannya..Â
Terjadilah pertarungan antara Bima dengan ular. Sang naga melilit Bima hingga sebatas pangkal leher. Bima yang sudah kesulitan bernafas semakin tidak berkutik ketika Naga yang dihadapinya menyemburkan bisa.Â
Bima yang gagah perkasa itu pun dibuat tidak berdaya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Bima menyiapkan serangan pamungkasnya. Dengan sekali tusuk, putra Pandu Dewanata itu menancapkan kuku saktinya. ke  badan ular. Darah memancar deras dari tubuh ular naga. Dan, ular besar itu pun mati.
Pertempuran melawan naga itu membuat Bima benar-benar kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Berulang kali tubuhnya membentur batu karang yang keras dan tajam. Putra kedua Pandawa ini semakin lemas dan mendekati ajalnya.Â
Nasib Jokowi pun hampir sama dengan Bima. Ia diombang-ambing gelombang konflik kepentingan yang terjadi di internal Partai Demokrat. Tidak hanya itu, Jokowi pun kini berbenturan dengan pendukungnya sendiri.Â
Dalam kondisi setengah sadar, Bima melihat kemunculan cahaya yang benderang. Cahaya benderang itu kemudian mewujud menjadi sosok kecil yang sama persis wujudnya dengan Bima. Kemudian terjadilah dialog antara Bima yang sedang sekarat dengan sosok kecil yang menyerupainya.
"Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran," nasihat sosok kecil yang menyerupai Bima. Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, begitu katanya.
Kemudian sosok kecil itu melanjutkan, "Jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan. Janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya. Dan, dengan meniru juga. Salam hidup, ada orang bodoh dari gunung yang membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning. Kertas itu dikiranya sebagai emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Intinya jangan mengambil keputusan penting tanpa terlebih dulu memahami duduk persoalannya dan mengetahui akibat yang ditumbulkan dari keputusan yang diambil, manfaat-mudharatnya, halal-haramnya, dan lain sebagainya.
Sosok Dewa Ruci bisa dimaknai sebagai hati nurani Bima sendiri. Karenanya, dialog antara Bima dan Dewa Ruci menyimbolkan dialog Bima dengan hati nuraninya sendiri. Saat berdialog dengan nuraninya itu, Sebagaimana Bima, Jokowi pun seharusnya berdialog dengan nuraninya. Masuklah ke dalam nurani, sebagaimana Bima yang memasuki raga Dewa Ruci.
Dalam polemik kisruh Partai Demokrat, Jokowi harus sanggup memilah mana yang benar dan mana yang salah. Yang terlihat atau terpikir benar benar belum tentu merupakan kebenaran sejati. Begitu pula sebaliknya. Dalam suluk Gatholoco, didendangkan di mana pada suatu kasus daging babi lebih halal ketimbang daging kambing.
BIN sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara pastinya telah menyetorkan setumpuk informasinya terkait konflik internal Partai Demokrat, termasuk posisi Moeldoko sebagai KSP.Â
Dan, sesuai UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara, BIN pastinya telah memberikan masukan atau rekomendasi kepada Jokowi. Dari informasi dan rekomendasi BIN itulah Jokowi bisa mengambil keputusan terkait posisi Moeldoko sebagai KSP.
Masalahnya, sebagaimana Bima dalam lakon Dewa Ruci, menghadapi ular yang menyimbolkan sifat jahat dalam diri sendiri jauh lebih sulit ketimbang menghadapi dua raksasa sakti yang menggambarkan kekuatan dari luar. Begitu juga dengan Jokowi, menghadapi polemik konflik internal Partai Demokrat lebih mudah ketimbang menghadapi rengekan kelompok-kelompok "ular" di sekitarnya yang mengincar posisi Moeldoko sebagai KSP.
KLB Demokrat: Moeldoko sengaja Masuki "Cakrabyuha" Konflik Demokrat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H