Dalam menyikapi konflik Demokrat beserta turunannya, yaitu posisi Moeldoko sebagai KSP, Jokowi tidak bisa seperti Bima yang keukeuh melanjutkan mencari air kehidupan meski hatinya mulai meragu.
Singkat cerita, dalam pencariannya sampailah Bima di samudra. Bima pun lantas menerjunkan dirinya ke dalam samudra. Di samudra itu Bima bertemu dengan ular yang liar dan ganas. Bisanya mematikan, mulutnya bagai gua yang sanggup menelan tubuh BIma, taringnya bercahaya menandakan ketajamannya..Â
Terjadilah pertarungan antara Bima dengan ular. Sang naga melilit Bima hingga sebatas pangkal leher. Bima yang sudah kesulitan bernafas semakin tidak berkutik ketika Naga yang dihadapinya menyemburkan bisa.Â
Bima yang gagah perkasa itu pun dibuat tidak berdaya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Bima menyiapkan serangan pamungkasnya. Dengan sekali tusuk, putra Pandu Dewanata itu menancapkan kuku saktinya. ke  badan ular. Darah memancar deras dari tubuh ular naga. Dan, ular besar itu pun mati.
Pertempuran melawan naga itu membuat Bima benar-benar kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Berulang kali tubuhnya membentur batu karang yang keras dan tajam. Putra kedua Pandawa ini semakin lemas dan mendekati ajalnya.Â
Nasib Jokowi pun hampir sama dengan Bima. Ia diombang-ambing gelombang konflik kepentingan yang terjadi di internal Partai Demokrat. Tidak hanya itu, Jokowi pun kini berbenturan dengan pendukungnya sendiri.Â
Dalam kondisi setengah sadar, Bima melihat kemunculan cahaya yang benderang. Cahaya benderang itu kemudian mewujud menjadi sosok kecil yang sama persis wujudnya dengan Bima. Kemudian terjadilah dialog antara Bima yang sedang sekarat dengan sosok kecil yang menyerupainya.
"Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran," nasihat sosok kecil yang menyerupai Bima. Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, begitu katanya.
Kemudian sosok kecil itu melanjutkan, "Jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan. Janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya. Dan, dengan meniru juga. Salam hidup, ada orang bodoh dari gunung yang membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning. Kertas itu dikiranya sebagai emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Intinya jangan mengambil keputusan penting tanpa terlebih dulu memahami duduk persoalannya dan mengetahui akibat yang ditumbulkan dari keputusan yang diambil, manfaat-mudharatnya, halal-haramnya, dan lain sebagainya.
Sosok Dewa Ruci bisa dimaknai sebagai hati nurani Bima sendiri. Karenanya, dialog antara Bima dan Dewa Ruci menyimbolkan dialog Bima dengan hati nuraninya sendiri. Saat berdialog dengan nuraninya itu, Sebagaimana Bima, Jokowi pun seharusnya berdialog dengan nuraninya. Masuklah ke dalam nurani, sebagaimana Bima yang memasuki raga Dewa Ruci.