Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU ITE: Pasal Penyelamat "Papa Minta Saham" Juga Harus Dioprek

19 Februari 2021   08:18 Diperbarui: 19 Februari 2021   08:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi corporatecomplianceinsights.com

UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sebenarnya sudah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Sorotan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 ini memuncak setelah pada 16 Februari 2021 lalu Presiden Joko Widodo mengunggah utas lewat akun Twitter pribadinya @jokowi.

Sontak, seperti kejatuhan durian, publik langsung mengusulkan revisi pada Pasal 27 sampai Pasal 29 UU ITE. Bahkan, saking dianggap sebagai pasal karet dan terdapat duplikasi hukum, ketiga pasal tersebut diusulkan untuk dihapus.

Jika dicermati, sebenarnya ada sebuah rangkaian peristiwa menarik yang bisa disebut melatarbelakangi usul perevisian UU ITE. Pertama, rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021 yang menyebut indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Kedua, permintaan Jokowi kepada masyarakat untuk lebih aktif mengkritik pemerintah.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, pada 8 Februari 2021 sebagaimana yang dikutip Kompas.com.

.Sebenarnya, undang-undang yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 April 2008 ini pernah direvisi Jokowi pada 2016. Namun, seperti yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, UU ITE berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara oleh warga negara lainnya atau kelompok.

Rekaman "Papa Minta Saham"

Masih ingat kasus perekaman yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin saat ia bertemu dengan Setnov dan Muhammad Riza Chalid di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015?


"Rekaman yang dimiliki oleh saudara Maroef Sjamsoeddin diperoleh secara melawan hukum, tanpa hak, tanpa izin, serta bertentangan dengan undang-undang. Karena itu, tidak boleh digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan etik yang mulia ini sebab alat bukti perekaman tersebut adalah ilegal."

"Bahwa saudara Maroef Sjamsoeddin adalah pegawai swasta perusahaan asing di Indonesia (PT Freeport Indonesia), bukan penegak hukum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk merekam/menyadap pembicaraan pejabat negara atau warga negara Indonesia atau siapa pun di bumi Indonesia.”.

Itulah serentetan pembelaan Novanto yang didapat wartawan dari salah seorang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang tidak mau diungkap identitasnya.

Serupa pendapat yang dilontarkan oleh anggota MKD di atas, dalam sidang MKD kemarin pun Setya Novanto mempersoalkan legalitas bukti rekaman yang diperoleh Maroef Sjamsoeddin. 

Bukan hanya Novanto dan anggota MKD pendukung KMP, banyak pengamat dan pakar yang juga berpendapat serupa. Bahkan ada juga yang berpendapat rekaman tersebut ilegal.

Prof. Romli Atmasasmita, misalnya. Guru Besar Universitas Padjajaran ini mengatakan bahwa pihak manapun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan terhadap seseorang, tanpa adanya izin dari penegak hukum. 

Sementara, pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy menganggap rekaman pembicaraan perihal perpanjangan kontrak PT Freeport ilegal karena tidak bisa digunakan dalam bisnis.

"Merujuk pada konvensi Jenewa itu ilegal. Karena tidak bisa digunakan dalam praktik bisnis," kata Ichsanudin (Sumber: Metrotvnews.com)

Pertanyaannya sangat sederhana, aturan mana di negara ini yang menyebut merekam sebagai perbuatan ilegal atau melanggar hukum? 

Perekaman suara yang dilakukan oleh Maroef tidak ada bedanya dengan perekaman CCTV oleh minimarket. Tidak ada bedanya dengan memotret. Juga tidak ada bedanya juga dengan merekam dengan menggunakan handycam.

Kalau ada maling helm yang mencuri dengan menggunakan sepeda motor. Kemudian seseorang memotret plat nomor motor yang dikendarai si maling helm. Apakah orang yang memotret itu telah melanggar aturan karena telah memotret tanpa mendapat izin dari si maling helm?

Yang dilakukan Maroef jelas bukan menyadap, tetapi merekam. Jika mengacu pada UU ITE, selain judul UU tersebut menggunakan kata “Transaksi”, pada Pasal 1 poin 7 disebutkan, “Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.” 

Tentang penyadapan dijelaskan dalam UU ITE Pasal 31 Ayat 1, “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”

Memang dalam pasal tersebut tercantum kata “merekam”. Tetapi obyek yang direkam menurut pasal tersebut adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 

Sewaktu merekam perbincangan, Maroef menggunakan dua telepon genggam merek Samsung. Kedua gadget tersebut tidak dihubungkan dengan perangkat elektronik manapun. Dan, suara terekam bukan berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

Sadapan Komunikasi SBY Vs Perekaman di Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta

Untuk penyadapan, contoh kasusnya adalah penyadapan National Security Agency (NSA) terhadap Presiden SBY yang terungkap pada 2013 lalu. Dalam kasus itu, NSA dengan penyadapnya (alat elektronik) nguping segala aktivitas ponsel (alat elektronik) milik SBY dengan menggunakan jaringan nirkabel yang dipancarkan oleh gelombang elektronik.

Sedang untuk kasus perekaman, contoh kasusnya adalah ditemukannya alat perekam di rumah dinas Jokowi ketika ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2013. Alat perekam yang ditemukan itu digunakan untuk merekam suara-suara yang terdengar dalam radius tertentu. Kemudian, suara yang tertangkap oleh alat perekam tersebut dipancarkan dengan menggunakan gelombang elektromagnetis ke radio penerima.

Kenapa kepada SBY dikatakan disadap sedang kepada Jokowi  tidak? 

Pada Pasal 31 ayat 1 disebutkan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.”

Jadi, yang dimaksud penyadapan adalh  jika si pelaku memasuki suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu mlik targetnya. 

Di dalam kasus SBY pelaku memasuki sistem elektronik yang ada pada HP milik SBY. Sedang dalam kasus Jokowi, pelaku merekam suara tanpa memasuki sistem elektronik apapun.

Maka, jelas yang perekaman yang dilakukan Maroef berbeda dengan penyadapan yang dilakukan terhadap alat komunikasi SBY, melainkan perekaman suara yang mirip seperti yang dialami oleh Jokowi. 

Dengan demikian, UU ITE tidak bisa dikaitkan dalam kasus “Papa Minta Saham”.

Karena tidak ada satu pun aturan yang melarang seseorang melakukan perekaman, maka rekaman “Papa Minta Pulsa” adalah legal.

Dalam dunia spionase, pemasangan alat perekam atau transmiter bukanlah hal yang asing. Skandal besar penempatan transmiter terjadi pada Januari 2006.  Ketika itu televisi pemerintah Rusia menayangkan video yang merekam aksi diplomat Inggris bernama Christopher Pirt saat tengah mengambil sebuah “batu” di Moskow. 

Benda mirip batu yang ternyata sebuah alat perekam itu kemudian dikenal dengan nama Spy Rock. Spy Rock bukan alat penyadap karena alat mata-mata ini tidak terkoneksi dengan sistem informasi manapun. Gadget yang diberi casing mirip batu ini hanya mampu merekam suara  dalam radius tertentu. 

Karenanya bisa dikatakan bila aksi perekaman Maroef lebih mirip aksi spionase yang dilakukan Christopher Pirt. 

Sebenarnya, rekaman "Papa Minta Saham" ini mirip dengan rekaman hot Rani Juliani-Antasari Azhar. Ketika itu tanpa sepengetahuan Antasari, Rani merekam perbincangannya dengan Antasari di kamar 808 Hotel Grand Mahakam.

Anehnya, sekalipun perekaman yang dilakukan oleh Rani tanpa seizin Antasari, namun tidak seorang pun yang menanyakan legalitas rekaman tersebut. Bahkan, rekaman Rani-Antasari diputar saat gelar persidangan.

Lantas, kenapa rekaman "Papa Minta Saham" disebut ilegal, sementara rekaman hot Rani-Antasari tidak ada yang mempersoalkan? Padahal kedua kasus tersebut terjadi pasca UU ITE diteken pada 2008 dan sebelum Perubahan UU ITE ditandatangani pada 2016.

Soal "Rekaman" cukup Revisi Penjelasan Pasal 31

Kata “merekam” pada Pasal 31 UU No. 11/2008 sudah dihilangkan pada UU No. 11/2016. Namun demikian, kata “merekam” masih tercantum pada penjelasan Pasal 31 UU No.11/2016. 

“Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.” Demikian bunyi penjelasan Pasal 31 UU No. 11/2016.

Jika kata “merekam” masih tercantum atau belum dijelaskan lebih rinci dalam revisi UU ITE yang direncanakan, maka rekaman-rekaman seperti “Papa Minta Saham” akan terus dianggap ilegal dan pelakunya bisa dipidanakan.

Sebaian artikel ini sudah ditayangkan di "Papa Minta Saham" Bukan Hasil Penyadapan, tapi Perekaman"

Soal AHY: Intel Australia sudah Endus Ambisi Ani Yudhoyono Sejak 2007

Deja Vu 2013: Stategi SBY Odal-adul SMS untuk Marzuki Alie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun