Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deja Vu 2013: Stategi SBY Odal-adul SMS untuk Marzuki Alie

17 Februari 2021   13:19 Diperbarui: 17 Februari 2021   13:23 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi Shutterstock

AHY, bisa dibilang, harga mati Capres dari Partai Demokrat. Pembandrol harga mati bagi pria bernama lengkap Agus Harimurti Yudhoyono ini bukan baru sejak pendaftaran Cagub DKI Jakarta periode 2017-2022, melainkan sejak 2007, ketika putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih berusia 35 tahun.

Informasi tentang AHY yang sudah dirancang sebagai capres diungkap oleh The Australian pada 2013 berdasarkan informasi yang didapatkan dari Defence Signals Directorate (DSD).

"During 2009, Australian intelligence agencies were trying to unravel Ibu Ani's role in what they believed was a complex presidential succession plan to ensure that her family retained the presidency beyond the constitutional limit of two five-year terms, which would expire for SBY in 2014.

Ibu Ani has always held high ambitions for her eldest son, Agus Harimurti Yudhoyono, now a 35-year-old Harvard-educated military officer. Insiders say that in 2009 the President and his wife were toying with a plan to try to install her as president in 2014 to hold the position until their son was old enough to have a serious run at the presidency in 2019."

Atas ambisi Ani Yudhoyono yang sudah terendus sejak 2007 tersebut, Demokrat yang dikomandani (SBY) berupaya sekuat tenaga melebarkan sekaligus melapangkan jalan bagi AHY menuju istana. Karenanya, dinamika politik internal di tubuh Demokrat, seperti kemelut yang terjadi sekarang ini, tidak bisa dari ambisi Ibunda AHY: Ani Yudhoyono.

Konflik Partai Demokrat 2021: Deja Vu KLB 2013

Belakangan publik diingatkan kembali pada sederet pergulatan politik di antara kader-kader Demokrat, mulai dari Kongres II Partai Demokrat yang digelar di Bandung pada 21-23 Mei 2010 sampai rencana "kudeta" terhadap AHY yang dilancarkan oleh sejumlah kader Demokrat dan mantan kader Demokrat. Tapi, ada satu peristiwa menarik yang terlewatkan.

Peristiwa tersebut terjadi pada 2013. Ketika itu kondisi Demokrat tengah memburuk. Menurut survei LSI yang dirilis pada Juni 2011, posisi PD sudah turun ke peringkat 2 di bawah Partai Golkar. Kemudian, pada Februari 2012, posisi Demokrat kembali merosot ke posisi 3. Saat itu dukungan Partai Demokrat hanya 13,7 persen, di bawah PDI- Perjuangan (14,2 persen), dan Golkar (18,9 persen).

Memasuki 2013, kondisi Demokrat kian memburuk. Sekalipun masih 3 besar namun elektabilitas partai yang dimotori SBY itu hanya dipilih oleh 11,7% responden. Lantaran terus menurunnya tingkat keterpilihan itulah Demokrat menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) pada 30-31 Maret 2013.

Tiga hari sebelum KLB dibuka, beredar SMS berupa teguran kepada Marzuki Alie yang dikirim Ketua Majelis Tinggi Partai (MTP) Demokrat SBY. Selain kepada Marzuki yang kala itu menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SMS itu ditembuskan SBY ke  seluruh anggota MTP,  seluruh menteri yang berasal dari Demokrat, dan seluruh Ketua DPD Demokrat. 

"1. Saya menerima informasi dari beberapa sumber bahwa Pak Marzuki Alie mengumpulkan para Ketua DPC PD di sebuah tempat di Jakarta. Informasi yang lain juga saya terima ttg hal itu, yang tidak patut utk saya ungkapkan di SMS ini," tulis SBY seperti yang diberitakan Tempo.co.

Pada poin ketiga, SBY menegur Marzuki, "Saya ingatkan, siapa yang menciderai kepentingan partai hanya utk memenuhi kepentingan pribadinya, adalah yang akan menghancurkan partai kita. Ini peringatan saya."

"4. Kalau demikian halnya, para Ketua DPD PD saya persilahkan utk bertanya kepada seluruh kader PD, apakah mau bersatu utk kepentingan partai, atau memilih utk mendukung kepentingan orang-seorang. Saatnya utk memilih.

5. Kalau para Ketua DPD PD tidak bisa berkomunikasi dgn para Ketua DPC PD, demi utk kepentingan PD, temukan saya langsung dgn para Ketua DPC PD. Maunya apa? Masih mau bersatu utk PD & utk kepentingan Pemilu 2014 mendatang, atau memilih untuk memenuhi kepentingan orang-seorang. Saatnya pula utk memilih. Maaf, sejak PD berdiri baru pertama kali ini saya mengatakan seperti ini. Sudah cukup lama saya menahan diri. Sekarang tidak bisa lagi. Demi Partai Demokrat yang kita cintai, saya akan mengambil segala risiko," lanjut SBY.

SMS yang dikirim SBY tersebut bukanlah semata-mata berisi tegurannya kepada Marzuki, melainkan juga upaya SBY untuk "menghabisi" karir kepartaian Marzuki yang berulang kali mengancam ambisinya menjadikan putra sulungnya, AHY, sebagai Presiden RI. 

Sebelumnya, pada Kongres II Partai Demokrat, Marzuki dan Anas Urbaningrum sudah coba-coba melawan upaya SBY yang ingin mendudukkan Andi Mallarangeng sebagai Ketum Demokrat.

Pada hari yang sama, 27 Maret 2013, Marzuki membalas SMS yang dikirimkan SBY. Seperti SMS kiriman SBY, SMS yang dikirim Marzuki Alie ini pun menyebar. 

"Apakah komitmen saya selama ini tidak cukup membuktikan loyalitas saya dengan PD dan Bapak SBY," tanya Marzuki membuka pesan singkatnya (Sumber: JPNN.com).

"3. Memang beberapa waktu yang lalu, ada komunikasi saya dengan DPD dan DPC-DPC menanyakan sikap saya dalam KLB. 

4. Komunikasi ini berjalan normal dan biasa karena kedekatan saya dengan kader, sejak lama, tapi hanya komunikasi dengan telepon. 

5. Memang ada beberapa yang datang ke Jakarta, tentu saya harus terima dengan baik di rumah, karena sejak dulu hubungan saya memang demikian. Saya memahami sekali bahwa dalam politik harus dibangun ikasi yang diakui oleh Marzuki tersebut mirip dengan pertemuan dan komunikasi dalam upaya "kudeta" terhadap AHY yang berlangsung pada Februari 2021 sebagaimana yang diungkapkan oleh kader-kader Demokrat pendukung AHY.

Menariknya, strategi SBY dalam menghadapi ancaman terhadap ambisi pencapresan AHY pun hampir serupa. Jika pada 2013 SBY mempublikasikan SMS-nya tentang rencana Marzuki merebut kursi Ketum Demokrat pada 2021 SBY mencuitkan lewat akun Twitter-nya tentang adanya upaya kudeta terhadap AHY.

Pengakuan Marzuki lewat SMS-nya tersebut mengungkapkan adanya komunikasi dan pertemuan antara dirinya dengan sejumlah pengurus DPD dan DPC Partai Demokrat dari dalam dan luar Jakarta. Pertemuan-pertemuan itu, sebagaimana pengakuan Marzuki, juga berlangsung di rumahnya.

Pertemuan dan komunikasi yang diakui oleh Marzuki tersebut mirip dengan pertemuan dan komunikasi dalam upaya "kudeta" terhadap AHY yang berlangsung pada Februari 2021 sebagaimana yang diungkapkan oleh kader-kader Demokrat pendukung AHY.

Menariknya, strategi SBY dalam menghadapi ancaman terhadap ambisi pencapresan AHY pun hampir serupa. Jika pada 2013 SBY mempublikasikan SMS-nya tentang rencana Marzuki merebut kursi Ketum Demokrat pada 2021 SBY mencuitkan lewat akun Twitter-nya tentang adanya upaya kudeta terhadap AHY.

Realita Politik yang Tak Dukung Ambisi SBY

SBY saat ini bukan lagi Presiden RI. Seiring waktu, pamornya kian menyurut. Jika pada 2013, SBY masih memiliki power untuk menggertak kader-kader Demokrat untuk menuruti atau tunduk pada kemauannya, kali ini situasi sudah berbeda jauh. 

Saat ini, menurut politisi senior Demokrat Yus Sudarso, ada empat faksi dalam partai. Keempat faksi itu adalah faksi Ketua Umum Partai Demokrat 2001-2005, Subur Budhisantoso. Kedua, faksi mantan Ketua Umum Demokrat, Hadi Utomo, ketiga, faksi mantan Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum. Terakhir, faksi Marzuki Alie. Menurut pengakuan Yus, keempat faksi tersebut sepakat Moeldoko ambil alih posisi AHY sebagai Ketua Umum Demokrat.

Benar, Kepala Badan Komunikasi Strategis, Herzaky Mahendra Putra sudah membantah pernyataan Yus. Menurut Herzaky, Subur Budi Santoso sudah menegaskan dukungannya pada kepemimpinan AHY selaku hasil Kongres V yang sah. Sementara, masih menurut Herzaky, Marzuki Alie sudah membantah keras keterlibatannya.

Tetapi, apapun itu, ada dua faksi yang menentang kepemimpinan AHY sebagai Ketum Demokrat. Sementara, meski membantah keras keterlibatannya dalam upaya penggulingan AHY, Marzuki tidak mendukung AHY sebagai Ketum Demokrat.

Kondisi dan situasi yang dialami Demokrat ini menandakan keroposnya kekuatan Cikeas yang ujung-ujungnya dapat mengancam ambisi Ani Yudhoyono untuk dapat mendudukkan AHY di kursi kepresidenan Republik Indonesia.

Di sisi lain, peningkatan tingkat elektabilitas Demokrat tidak bisa serta merta dimaknai sebagai keberhasilan AHY, melainkan sebagai berpindahnya pendukung Prabowo Subianto yang merasa dikecewakan atas pilihan politik Prabowo, juga Sandiaga Uno, yang bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. Pendukung Prabowo yang kini mengarahkan dukungannya pada Demokrat bukanlah pendukung AHY, melainkan swing voter yang sewaktu-waktu bisa mengalihkan dukungannya lagi.

Lagi-lagi, realita politik tidak menunjukkan keberpihakannya pada AHY, apalagi pada pencapresannya. Karenanya tidak ada salahnya bila SBY melakukan manuver politik secara brutal untuk mengubur ambisi pribadi dan keluarganya yang sudah diendus mata-mata Australia sejak 2007. 

 

Baca: Soal AHY: Intel Australia sudah Endus Ambisi Ani Yudhoyono Sejak 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun