Selanjutnya, kepada pembelinya, Bejo menawarkan fasilitas yang juga harus dibayar. Misalnya, bangku kayu yang berada tepat di depan tungku.
Begitu juga dengan Kompasiana dengan paket Kompasiana Premium-nya. Lewat paket yang tidak gratis ini, Kompasiana menawarkan sejumlah kelebihan atau privilege kepada penulisnya.Â
Sedangkan kepada pembacanya yang ingin mengakses kompasiana lebih cepat dan bebas iklan, Kompasiana juga menawarkan paket yang juga tidak gratis.
Lantas, apa kira-kira reaksi pemasok dan pembeli angkringan Bejo bila mendapat penawaran sejumlah fasilitas khusus, tetapi harus dibayarnya? Padahal penjual-penjual angkringan lain menggratiskannya. Pertanyaan yang serupa diajukan juga kepada penulis dan pembaca Kompasiana.
Masalah paket Kompasiana Premium bukan pada nilai rupiah yang ditawarkannya, tetapi pada logika etika bisnisnya.Â
Tidak logis atau tidak masuk akal apabila Kompasiana menawarkan pembelian sejumlah keistimewaan yang sebenarnya bisa digratiskan. Dan, ini cuma satu dari sejumlah ketidaklogisan paket Kompasiana Premium.
Selain tidak logis, paket Kompasiana Premium juga tidak etis. Ini lantaran, keluhan-keluhan yang selama ini disampaikan oleh user dan pembaca Kompasiana, dijawab oleh pengelola Kompasiana dengan menawarkan paket berbayar.
Coba bayangkan, suatu hari ada seorang pembeli yang komplain kepada Bejo karena pembeli lain lebih cepat dilayani.
Kemudian Bejo menjawab, "Lha, kowe kan ra mbayar. Nek mas'e kae gelem mbayar luweh."
Kira-kira, apa seperti itu jawaban Bejo kalau mendapat komplain dari pelanggannya?
Kalau jawaban Bejo seperti di atas, bisa diperkirakan pelanggannya akan pindah ke lain angkringan. Jadi jawaban Bejo tadi terbilang sangat tidak strategis.