Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kompasiana Premium Bikin "Angkringan" Kompasiana Jadi tak Lazim

5 Juli 2020   16:58 Diperbarui: 5 Juli 2020   16:56 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana Premium (Sumber Dok Pri)

Malam itu, sekitar tahun 1997, Bejo duduk nangkring di bangku panjang yang berada di samping kiri gerobak angkringannya. Sudah lebih dari 4 tahun lelaki bernama lengkap Sunarjo itu  berjualan nasi kucing di tanah lapang dekat perumahan Griya Mataram yang berlokasi di pinggir Jalan Jambu Sari, Sleman, DIY.

Setiap hari, termasuk hari libur, Bejo menggelar dagangannya sejak pukul 4 sore sampai pukul 2 dini hari. Pelanggan yang membeli dagangannya datang dari segala kalangan, mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, kuli bangunan, dan lain sebagainya. 

Dalam usaha kecilnya itu, Bejo hanya menyediakan menu wedang-wedangan, seperti wedang kopi, wedang teh, dan wedang jahe. Sedangkan, menu utamanya, nasi kucing dan segala macam aksesorisnya, seperti sate usus, sate jeroan, kepala ayam, sayap ayam, paha ayam, dan lain-lain dibelinya dari pemasok.

Dari penjualan wedang-wedangan dan selisih harga jual-beli nasi kucing dengan segala aksesorisnya itu Bejo mendapatkan keuntungan dari bisnis yang dilakoninya.  

Kalau dipikir-pikir bisnis Kompasiana mirip-mirip bisnis angkringan. Dalam bisnisnya, Kompasiana menyediakan ruang bagi para user atau anggota untuk mengunggah tulisannya. 

Kepada pemasok barang dagangannya, Bejo hanya membayar sejumlah barang yang terjual. Sisanya ia kembalikan kepada pemasoknya. Sistem bisnis ini berbeda dari usaha-usaha kuliner lainnya. Pada usaha ayam geprek, misalnya, penjual membeli ayam mentah kepada pemasoknya. Terjual atau tidak, pengusaha ayam geprek membayar sesuai jumlah ayam yang dibelinya.

Bisnis Kompasiana mirip-mirip dengan bisnis angkringan. Kompasiana membayar penulisnya sesuai dengan jumlah view yang didapatkannya. Itupun dengan sejumlah "pasal-pasal" lainnya. Tulisan yang tidak mendapat view tidak dibayar. 

Dari usaha kecilnya itu, Bejo mendapatkan pemasukan dari pembelinya. Semakin banyak pembeli, semakin besar pemasukan yang didapatkan Bejo. Sedangkan pemasukan Kompasiana secara tidak langsung didapatkan dari iklan-iklan pada setiap laman yang diklik oleh pembaca kompasiana. Semakin banyak jumlah laman yang dibuka oleh pembacanya, semakin besar pula pemasukan yang dihasilkan Kompasiana.

Sama seperti Bejo yang tidak bisa berdagang bila tidak ada pemasok dan pembeli, begitu pula dengan Kompasiana yang bisa dipastikan tidak dapat berjalan normal bila tidak ada penulis dan pembaca.

Karenanya, apa jadinya usaha angkringan ini bila Bejo kemudian menawarkan sejumlah fasilitas yang tidak cuma-cuma kepada pemasoknya. Misalnya, menawarkan posisi barang dagangan yang lebih mudah dilihat oleh pembeli dan space lebih untuk dagangan yang dipasok.

Selanjutnya, kepada pembelinya, Bejo menawarkan fasilitas yang juga harus dibayar. Misalnya, bangku kayu yang berada tepat di depan tungku.

Begitu juga dengan Kompasiana dengan paket Kompasiana Premium-nya. Lewat paket yang tidak gratis ini, Kompasiana menawarkan sejumlah kelebihan atau privilege kepada penulisnya. 

Sedangkan kepada pembacanya yang ingin mengakses kompasiana lebih cepat dan bebas iklan, Kompasiana juga menawarkan paket yang juga tidak gratis.

Lantas, apa kira-kira reaksi pemasok dan pembeli angkringan Bejo bila mendapat penawaran sejumlah fasilitas khusus, tetapi harus dibayarnya? Padahal penjual-penjual angkringan lain menggratiskannya. Pertanyaan yang serupa diajukan juga kepada penulis dan pembaca Kompasiana.

Masalah paket Kompasiana Premium bukan pada nilai rupiah yang ditawarkannya, tetapi pada logika etika bisnisnya. 

Tidak logis atau tidak masuk akal apabila Kompasiana menawarkan pembelian sejumlah keistimewaan yang sebenarnya bisa digratiskan. Dan, ini cuma satu dari sejumlah ketidaklogisan paket Kompasiana Premium.

Selain tidak logis, paket Kompasiana Premium juga tidak etis. Ini lantaran, keluhan-keluhan yang selama ini disampaikan oleh user dan pembaca Kompasiana, dijawab oleh pengelola Kompasiana dengan menawarkan paket berbayar.

Coba bayangkan, suatu hari ada seorang pembeli yang komplain kepada Bejo karena pembeli lain lebih cepat dilayani.

Kemudian Bejo menjawab, "Lha, kowe kan ra mbayar. Nek mas'e kae gelem mbayar luweh."

Kira-kira, apa seperti itu jawaban Bejo kalau mendapat komplain dari pelanggannya?

Kalau jawaban Bejo seperti di atas, bisa diperkirakan pelanggannya akan pindah ke lain angkringan. Jadi jawaban Bejo tadi terbilang sangat tidak strategis.

Untungnya, paket Kompasiana Premium berstatus tawaran. Kalau tidak, sudah bisa dipastikan bakal banyak penulis yang hengkang dan pembaca yang ogah datang. Ujung-ujungnya, pemasukan Kompasiana juga yang terdampak.

Beberapa tahun yang lalu, ada beberapa tulisan yang memprediksikan Kompasiana bakal tutup buku. Sandyakalaning Kompasiana, katanya. Prediksi ini keluar lantaran error Kompasiana nyaris tanpa ujung. Ternyata, sandyakalaning Kompasiana bukan karena error-nya, tapi karena paket Kompasiana Premium yang tidak logis, etis, dan juga tidak strategis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun