Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penguasaan Lahan dan 3 Paradoks Prabowo Lainnya

21 Februari 2019   11:25 Diperbarui: 21 Februari 2019   11:33 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.thoughtco.com

Pada 16 Agustus 2018 atau tujuh hari setelah mendeklarasikan dirinya maju dalam kontestasi Pilpres 2019, Prabowo mendapat KartuNU atau kartu anggota Nahdlatul Ulama). Kartu tersebut didapatkan langsung  dari Ketum PBNU Said Aqil Siraj. Ketika itu mantan Danjen Kopassus itu mengungkapkan jika pemberian KartuNU merupakan kehormatan baginya.

"Kehormatan bagi saya, sudah berapa saat sebetulnya saya mengajukan, karena merasa dekat dengan NU," kata Prabowo ketika itu (Sumber: Detik.com).

Dalam pernyataannya sangat jelas terbaca bila Prabowo mendapat kehormatan dan merasa dekat dengan NU.

Dengan KartuNU di tangannya, Prabowo bukan saja secara sah menjadi anggota NU, tetapi juga memiliki posisi yang lebih tinggi dari Mahfud MD yang tidak memiliki KartuNU.

Tetapi, faktanya, Prabowo memilih bungkam saat Fadli Zon yang diketahui sebagai orang terdekatnya melontarkan hinaan terhadap Kyai Maimun Zubair atau yang lebih dikenal dengan Mbah Moen. Bahkan masih bersikukuh diam seribu kata meski sejumlah santri NU di beberapa daerah mengecap penghinaan atas Mbah Moen yang dilakukan Fadli lewat puisi "Doa yang Tertukar".

Keanggtoaan NU yang dimiliki Prabowo dan bungkamnya Prabowo atas hinaan Fadli terhadap Mbah Moem merupakan sebuah paradoks. Dan, keparadoksan ini lebih nyata lagi bila memosisikan Prabowo yang terkesan lebih memilih berdekatan dengan kelompok-kelompok anti-NU ketimbang NU itu sendiri.

Bungkamnya Prabowo atas puisi "Doa yang Tertukar" bisa disebut sebagai  bukti dari pilihan Prabowo untuk lebih dekat dengan kelompok-kelompok anti-NU ketimbang NU di mana Prabowo menjadi anggotanya..  

Kedekatan Prabowo dengan kelompok-kelompok anti-NU yang dikenal radikal ini juga merupakan paradoks Prabowo lainnya.

Jika dicermati, "lingkungan" Prabowo dan Gerindra sangat majemuk. Kemajemukan tersebut ditandai dengan perbedaan latar belakang agama kader-kadernya. Ada kader Gerindra yang beragama Islam, baik itu Sunni maupun Syiah, Ada kader yang memeluk Kristen. Ada penganut Katolik, Ada yang Hindu. Ada yang Budha. Bahkan, mugkin ada juga yang memeluk Yahudi sebagai agamanya.

Sementara kelompok-kelompok Islam pendukung Prabowo relatif homogen. Bahkan, sebagaian dari kelompok ini dikenal gemar melontarkan kata "kafir" kepada siapa saja yang dianggap berbeda, bahkan kepada penganut Islam sendiri.

Orang-orang di sekitar Prabowo pun sepertinya tidak begitu nyaman berdekatan dengan kelompok-kelompok ini. Bahkan di mata Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo, PKS pun sudah dinilai sebagai kelompok radikal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun