“Endorsing Jokowi”. Begitu judul editorial The Jakarta Post yang dipublikasikan pada 4 Juli 2014.
“There is no such thing as being neutral when the stakes are so high. While endeavoring as best we can to remain objective in our news reporting, our journalism has always stood on the belief of the right moral ground when grave choices must be made,” tulis Jakarta post pada paragraf pertamanya.
Dukungan kepada Jokowi yang dideklarasikan oleh media berbahasa Inggris hanya lima hari jelang hari pencoblosan Pilpres 2014 tersebut sontak mengejutkan publik. Ujung-ujungnya, keraguan terhadap netralitas media pun semakin menguat.
Belakangan isu netralitas media kembali booming setelah Prabowo Subianto meluapkan kemarahannya kepada wartawan yang coba mengerubutinya. Katanya pers telah memanipulasi demokrasi. Capres nomor urut 02 ini pun kemudian meyentil wartawan soal jumlah peserta reuni 212 yang dihadirinya.
"Hebatnya media-media dengan nama besar dan katakan dirinya objektif padahal justru mereka bagian dari usaha memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah ya salah, mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000 minta apa itu terserah dia," kata Prabowo pada 5 November 2018 sebagaimana dikutip Tribunnews.com.
Gegara kemarahan mantan Danjen Kopassus tersebut, penghakiman terhadap media mainstream pun berlontaran. Media dianggap berpihak kepada Jokowi dan tidak memihak Prabowo. Bukan saja itu, media pun dituding hanya mengincar kesalahan Prabowo.
"Ada wartawan enggak di sini, mereka ke sini nungguin gue salah ngomong. Mereka, saya katakan, kelompok itu, menunggu gue salah ngomong kemudian digoreng lagi, bicara emak-emak engga boleh, tampang engga boleh," kata Prabowo (Sumber: Merdeka.com).
Kemarahan Prabowo kepada media tersebut sepertinya salah besar. Mungkin Prabowo kurang mengamati jika media pun memberikan informasi-informasi yang berpihak kepada dirinya.
Buktinya adalah artikel “Benarkah Prabowo Terkait Saracen?” dan “Ada Kejanggalan pada Tuduhan La Nyalla ke Prabowo”. Informasi yang digunakan oleh kedua artikel yang “menguntungkan” Prabowo tersebut seluruhnya diambil dari media mainstream, bukan media abal-abal alias ecek-ecek.
Dan, sebenarnya, isi media tergantung pada pembacanya, entah itu keluasan wawasan, “panjang-pendeknya sumbu”, latar belakang sosial-ekonomi, dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.
Contoh berita “Kedubes AS: Prabowo dan Soeharto Terlibat Penculikan Aktivis”. Bagi yang bersumbu pendek, baru membaca judulnya aja sudah teriak “hoax”, “bohong”, “dasar media cebong,” dan lainnya. Tetapi, dengan sedikit saja memanjangkan sumbu, berita yang ditayangkan CNNIndonesia pada 25 Juli 2018 justru membersihkan nama Prabowo dari kasus penculikan aktivis 1998.