Terlebih lagi, situasi yang dihadapi Gatot Nurmantyo jauh lebih berat ketimbang Prabowo saat Pilpres 2019. Ketika itu, meski media online tidak berpihak kepada Ketua Umum Partai Gerindra ini, namun jumlah stasiun televisi yang mengampanyekannya jauh lebih banyak ketimbang yang "mengiklankan" Jokowi.
Saat ini, nyaris semua media, baik itu media cetak, media elektronik, dan media daring memihak kepada Jokowi. Media-media ini mengekspos segala rupa tentang Jokowi, mulai dari yang besar sampai yang remeh temeh. Sebaliknya, segala kelemahan seputar Jokowi berusaha ditutup-tutupi.
Karenanya tidak mengherankan bila berita tentang Jokowi yang membeli motor chopper lebih heboh ketimbang pemberitaan tentang gizi buruk di Asmat, Papua. Kalau pun menyoroti Asmat, media lebih memilih pemberitaan tentang rencana atau pemberangkatan mahasiswa ke Asmat.
Bertolak belakang dengan yang dibingkaikan pada Jokowi, ketidakberpihakan media terhadap Gatot Nurmantyo ini sangat terlihat jelas dalam serangkaian peristiwa. Contohnya, pada saat Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI memutasi sejumlah perwra tinggi TNI. media menyebut kebijakan mutasi tersebut sebagai bom waktu, bahkan sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah Jokowi.
Jika ketidakberpihakan media ini tidak dapat dilawan, maka akan sulit bagi Gatot untuk memenangi kompetisi Pilpres 2019. Sekadar mengingat-ingat, saat Pilpres 2014, jumlah media yang dianggap memiliki keberpihakan terhadap pasangan capres-cawapres nyaris berimbang.
Pertanyaannya, apakah sebelum jadwal Pilpres 2019 digulirkan  pada pertengahan Agustus 2018, Gatot Nurmantyo sudah memilii strategi khusus yang bisa diandalkannya dalam menghadapi ketidakberpihakan media terhadap dirinya?
Artikel lainnya:
- Pencapresan Gatot Nurmantyo Akan Hadapi Mitos dan Langkah Politik Jokowi
- Jika Prabowo Terindikasi Bakal Bermanuver, Gatot Nurmantyo Jadi Rebutan
- Ini Alasan Prabowo Tidak Akan Mencapreskan Anies Baswedan