Sabtu 17 Februari 2018, melalui prosesi pemberian bendera, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Ketua Komando Tugas Bersama (Kosgama).
Dengan pengukuhannya tersebut, Agus yang juga dikenal dengan panggilan AHY ditugasi oleh SBY komandan pemenangan Partai Demokrat dalam Pilkada Serentak 2018 sekaligus Pemilu 2019.
Jika melihat struktur Demokrat, di mana ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat ditempati oleh Edhie Baskoro Yudhoyono, maka AHY sebagai Kosgama akan berduet dengan adik kandungnya untuk memenangkan partai yang dipimpin oleh  ayah kandung keduanya.
Banyak yang mengatakan jika pengukuhan tersebut sebagai kode keras dari SBY yang akan menerjunkan putranya dalam Pilpres 2019, entah itu sebagai capres atau sebagai cawapres.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut mengingat AHY sudah menjadi tokoh yang namanya muncul dalam sejumlah rilis lembaga survei. Bahkan, beberapa lembaga survei menyebut  tingkat popularitas dan tingkat elektabilitas AHY mengungguli Gatot Nurmantyo.
Tingginya tingkat popularitas yang dimiliki oleh AHY yang konon sudah melampaui angka 50 persen memang sangat wajar mengingat keikutsertaannya dalam Pilgub DKI 2017 yang banyak disorot media. Selain itu, sejak setengah tahun belakangan ini, baliho-baliho berfotokan AHY memajang di sejumlah lokasi strategis di hampir segala penjuru sudut kota.
Lewat riset sederhana yaitu dengan menunjukkan kartu-kartu bertuliskan "Joko Widodo (Jokowi)", "Prabowo Subianto", "Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)", "Anies Baswedan", dan "Gatot Nurmantyo" kepada responden..
Terbukti jika jumlah responden yang mengambil kartu "Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)" jauh lebih banyak dari jumlah responden yang mengambil kartu "Anies Baswedan" dan kartu "Gatot Nurmantyo".
Popularitas AHY memang menanjak tajam. Artinya, strategi promosi yang dijalankan Demokrat sudah tepat. Tetapi, apakah menanjaknya popuratitas AHY sudah pasti diikuti dengan meroketnya tingkat elektabilitas? Â
Jawabannya tidak. Elektabilitas akan meningkat jika popularitas dipasok oleh sentimen positif.
Pertanyaannya kemudian, apakah popularitas AHY lebih disokong oleh sentimen positif atau negatif?
Jawabannya pasti sulit dicari. Hal ini mengingat kemunculan AHY diiringi oleh sentimen positif dan sentimen negatif atau pro dan kontra. Inilah yang membuat AHY menjadi sosok yang kontroversial.
Sesuai rencana AHY akan diturunkan sebagai juru kampanye dalam Pilkada Serentak. Tentu saja, aktivitasnya ini akan membuat AHY lebih populer lagi.
Dengan popularitas tinggi yang dimilikinya, AHY seharusnya menjadi salah seorang jagoan yang diincar parpol-parpol untuk diadu dalam laga Pilpres 2019.
Saat Pilgub DKI 2017, PAN, PKB, dan PPP bergabung dengan Demokrat untuk mengusung AHY yang ketika itu masih bau kencur. Bisa dibilang dukungan ketiga parpol tersebut hanyalah sebuah joke semata. Toh, kekalahan AHY tidak mempengaruhi elektabilitas ketiga parpol tersebut.
Masalahnya, Pilgub DKI 2017 pastinya sangat jauh berbeda dengan Pilpres 2019. Dukungan parpol kepada pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2019, yang digelar serentak dengan Pemilu Legislatif 2019, pastinya akan berdampak pada perolehan suara parpol.
Serangan pada salah satu dari pasangan calon pastinya akan mempengaruhi tingkat keterpilihan parpol. Karenanya, parpol tidak akan memilih untuk mendukung calon atau partai asal calon yang berpeluang paling banyak mendapat serangan kampanye negatif.
Serangan kampanye negatif beramunisikan kasus korupsi e-KTP yang saat ini mengarah ke Demokrat jauh lebih menghancurkan ketimbang kasus korupsi Hambalang dan Wisma Atlet yang melibatkan elit-elit Demokrat. Sebab, kasus korupsi e-KTP langsung mengarah ke simbol Demokrat yang paling "disakralkan", yaitu SBY.
Sebagai perbandingan, meski saat Pileg 2014 Demokrat masih berkuasa, tetapi terpaan rentetan kasus korupsi yang menjerat sejumlah petinggi Demokrat tidak sanggup dihadapi oleh Demokrat. Dan, hasilnya suara Demokrat pun terjun bebas dari raihan suara lima tahun sebelumnya.
Padahal, saat Pileg 2014 Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan dan seluruh peserta konvensi calon presiden Demokrat lainnya turun gunung untuk memenangkan partai besutan SBY tersebut.
Jika AHY mau dicalonkan, entah dengan cara apa SBY meyakinkan kolega-kolega politiknya untuk memberikan dukungan pada AHY dalam Pilpres 2019 nanti?
Terapi, jika dicermati penunjukan yang disusul pengukuhan AHY sebagai Kosgama bisa dibilang merupakan sinyal kuat dari SBY untuk tidak mencalonkan AHY dalam Pilpres 2019.
Kuncinya, dalam sejarah pilpres di Indonesia belum pernah ada capres atau cawapres yang sekaligus ketua tim pemenangan pemilu.
Dalam Pilpres 2014, Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dipimpin olehMahfud MD. Sementara, Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Jusuf Kalla dinahkodai olehTjahjo Kumolo.
Saat menghadapi Pilpres 2009, Mayjen Purn Theo Syafei ditunjuk sebagai Ketua Tim Sukses Mega-Prabowo. Tim pemenangan Pasangan SBY-Boediono dipimpin Hatta Rajasa sebagai dan Marsekal Purn Djoko Suyanto sebagai wakil ketua. Sedangkan, tim sukses JK-Wiranto dikomandoi kader senior Partai Golkar, Fahmi Idris.
SBY yang pada 2004 dicapreskan dengan berpasangan dengan JK sebagai cawapresnya pun tidak mengetuai sendiri tim pemenangan kampanyenya. Pasangan pemenang Pilpres 2004 ini menugaskan Mohammad Makruf sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional.
Jadi, dari pengalaman pilpres-pilpres sebelumya, sangat jelas jika pengukuhan AHY sebagai Kosgama menunjukkan jika SBY tidak memproyeksikan putra sulungnya itu sebagai capres ataupun cawapres.
Sinyal SBY ini dikuatkan oleh Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan yang mengatakan jika partainya masih memiliki waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan AHY. Alasannya, Â pendaftaran capres dan cawapres baru digelar pada 4-10 Agustus 2018.
"Sampai tiba waktunya kami memutuskan apakah capres atau cawapres sepanjang koalisi partainya juga cukup. Namun, kami tidak berhenti untuk mempersiapkan beliau menuju 2019," kata  Hinca (Sumber: JPPN.com).
Tetapi, kode SBY tidak hanya berputar pada tidak dicalonkannya AHY. Kembali, jika mengacu pada pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya di mana ketua tim pemenangan kampanye diisi oleh tokoh-tokoh senior yang kenyang makan asam garam dalam berbagai pergulatan politik, maka SBY juga tidak menyiapkan Kogasma untuk Pilpres 2019.
Lagi pula, Kembali jika mengacu pada pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya, apakah mungkin ada capres atau cawapres potensial 2019 yang mau menyerahkan nasibnya ke tangan AHY yang dinilai masih belia dalam pertarungan pemilu yang bisa dipastikan berjalan sengit.
Artinya, SBY berencana tidak akan turut dalam laga Pilpres 2019. Dengan demikian, Pilpres 2019 akan kembali diikuti oleh dua pasangan calon yang diajukan oleh kubu Megawati dan kubu Prabowo. Dengan begitu, Pilpres 2019 akan berlangsung hanya dalam satu putaran.
Artikel lain:
Ini Alasan Prabowo Tidak Akan Mencapreskan Anies Baswedan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H