Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Pemecatan Prabowo, Fadli Zon Benar

3 Agustus 2017   12:50 Diperbarui: 8 Agustus 2017   11:29 7832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Headline harian KOMPAS

Pascapertemuan SBY-Prabowoyang berlangsung di Cikeas pada 27 Juli 2017 bermunculan berbagai polemik. Salah satu polemik yang paling panas adalah soal keterlibatan SBY dalam proses pemecatan Prabowo dari TNI (saat itu masih ABRI) pada 1998.

Dalam menanggapi polemik ini, kubu Prabowo lebih memilih menyatakan jika Prabowo tidak diberhentikan dari TNI, apalagi dengan predikat "tidak hormat"..

"Itu tidak benar. Pertama, Pak Prabowo itu tidak pernah dipecat," tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin pada 31 Juli 2017 (Sumber: Detik.com)

Masih dari Detik, Fadli menjelaskan bahwa Prabowo mengalami pergantian jabatan dari Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) menjadi Komandan Sesko pada Mei 1998.

Ditambahkan juga oleh Fadli, bahwa Prabowo diberhentikan oleh Presiden BJ Habibie dengan hormat pada November di tahun yang sama.

"Memang pada waktu setelah Mei (1998) itu ada pergantian sebagai Pangkostrad, kemudian beliau menjadi Dan Sesko. Diberhentikan dengan hormat oleh Presiden RI ketika itu, Presiden Habibie. Itu baru pada bulan November tahun 1998," ungkap Fadli.

"Jadi dicatat, itu diberhentikan dengan hormat, kok," sambungnya. Wakil Ketua DPR tersebut.

Kemudian Fadli menceritakan, Prabowo memang tidak menerima surat pemberhentian dirinya karena saat itu sedang berada di Yordania.

Menurut Fadli, kepergian Prabowo ke Yordania untuk menghindari fitnah yang tengah berkembang di Indonesia kala itu, namun sudah atas izin Presiden Habibie.

Jadi, mana yang benar, Prabowo dipecat atau tidak? Dan kalau pun dipecat, apakah SBY terlibat dalam proses pemecatannya?

Isu Pelanggaran HAM yang Tidak Mempan Bagi Prabowo

Isu pemecatan atau pemberhentian Prabowo selalu memanas setiap jelang pemilu. Menariknya, isu ini sebenarnya tidak mempan alias tidak berdampak bagi elektabilitas Prabowo.

Pada awal Juni 2014 atau jelang Pilpres 2014 media sosial dihebohkan dengan menyebarnya 4 foto dokumen yang disebut sebagai Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP.

Dalam dokumen yang berisi pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo  tersebut, DKP (Dewan Kehormatan Perwira) menilai tindakan Prabowo tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI serta merugikan kehormatan Kopassus, TNI-AD, ABRI, bangsa, dan negara.

"Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka Perwira Terperiksa atas nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto disarankan dijatuhkan hukum administrasi berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan," demikian isi dokumen yang fotonya beredar lewat media sosial tersebut.

Dari foto juga diketahui jika dokumen tersebut ditandatangani pada 21 Agustus 1998 oleh 7 petinggi TNI AD. Di antaranya, Subagyo HS sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Djamari Chaniago, Ari J Kumaat, Fachrul Razi, dan Yusuf Kartanegara.

Ada yang bertanya kenapa dokumen itu baru disebarkan pada 2014 atau jelang perhelatan Pilpres 2014 di mana Prabowo maju sebagai capres, kenapa bukan pada 2009 di mana Prabowo maju sebagai cawapres yang mendampingin capres Megawati Soekarnoputri.

Jawabannya sederhana saja. Pada Pilpres 2009, elektabilitas SBY di atas 70%. Jadi, hanya sebuah hal yang mustahillah yang mampu membuat SBY terjungkal. Sementara pada Pilpres 2014, elektabilitas pesaing tunggal Prabowo, Jokowi, paling banter hanya 35%.

Dalam Pilpres 2014, meski digempur dengan isu HAM, eletabilitas Prabowo melesat tajam, dari yang paling banter hanya 23% menurut rilis survei menjadi lebih dari 47% versi real count KPU.

Karena tidak berdampak, seharusnya Prabowo tidak perlu memusingkan diri dengan isu ini. Toh, isu pelanggaran HAM berupa penculikan dan penyiksaan akitivis hanya menjadi perhatian bagi sejumlah kecil pemilih.

Berapa banyak jumlah calon pemilih yang berlatar belakang akitivis HAM, pemerhati HAM, korban dan keluarga korban, termasuk mantan aktivis HAM seperti Rachland Nashidik yang sekarang menjabat Wasekjen Partai Demokrat?

(Ada yang menarik dari Rachland tentang Intel Belanda bertato mawar pada betisnya)

Foto Dokumen DKP Hoax?

Sekalipun, jika dikaitkan dengan pemilu, isu pelanggaran HAM oleh Prabowo sudah tidak menarik lagi, tetapi kebenaran tentang status pemberhentian Prabowo tetap saja menarik untuk dikorek.

Sewaktu foto dokumen DKP menyebar pada awal Juni 2016, warganet berdebat panjang kali lebar tentang keasliannya. Ada yang mempercayai jika foto idokumen itu asli atau bukan rekayasa. Ada pula yang menuding jika foto itu hoax. Mana yang benar?

Jika menyimak sejumlah pemberitaan media masa, tentunya yang "berstatus" media arus utama, tidak ada yang menyanggah keaslian dokumen yang fotonya menyebar lewat mesos tersebut.

Dalam kasus tersebut, pihak Prabowo hanya mempermasalahkan beredarnya dokumen yang menurut mereka bersifat rahasia. Untuk itu, kubu Prabowo pun kemudian meminta Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk bertanggung jawab..

"Itu kan sebuah dokumen negara yang rahasia, siapa yang mengedarkan? Panglima TNI harus tanggung jawab mencari tahu," ujar Nurul Arifin pada 9 Juni 2014 (Sumber KOMPAS.COM)

Di hari yang sama, pendukung Prabowo lainnya, Tantowi Yahya, mempertanyakan kenapa dokumen yang hanya diketahui oleh Panglima bisa beredar

"Itu dokumen rahasia yang hanya diketahui oleh Panglima TNI. Patut dipertanyakan mengapa dokumen tersebut bisa beredar di masyarakat," kata Tantowi.

Selain itu, pembentukan DKP oleh Wiranto untuk Prabowo dinilai  inkonstitusional dan ilegal. Sebab berdasarkan Skep: Panglima ABRI No 838 Tahun 1995 tentang Dewan Kehormatan Perwira, Panglima ABRI tidak punya wewenang untuk membuat DKP untuk perwira tinggi. Pangab hanya mempunyai wewenang untuk membuat DKP untuk perwira menengah, dari kolonel ke bawah.

Meski kubu Prabowo tidak mempersoalkan keabsahan dokumen yang fotonya beredar tersebut, namun pemerintah tidak mau berspekulasi. Lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, pemerintah menyatakan akan menyelidiki kebenaran dokumen tersebut dan mencari siapa pengedarnya.

"Saya tidak akan berandai-andai karena Panglima TNI sedang melakukan penyelidikan, kebenaran surat itu, kemudian dicari siapa yang mengedarkan," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto di Istana Negara, Jakarta, pada 13 Juni 2014.

"Dicari sampai dapat. Panglima TNI sudah akan mencari," tambahnya (Sumber: KOMPAS.COM).

Hal serupa juga disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman. Marciano meminta TNI untuk bertanggung jawab.

"Masalahnya sudah lama dan saya rasa pihak berwenang harus evaluasi itu. Dokumen-dokumen itu tidak boleh bocor kepada mereka yang tidak berkepentingan. Dokumen-dokumen itu harusnya enggak boleh keluar." ujar Marciano di Istana Negara, Jakarta, pada Senin 9 Juni 2014 (Sumber: KOMPAS>COM)

Menariknya,Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan, bocornya Surat Keputusan DKP bukan menjadi kewenangannya.

"Itu bukan domain Panglima TNI," ungkap Moeldoko pada 9 Juni 2014.

Moeldoko pun kemudian menambahkan, soal bocornya surat DKP tersebut nantinya akan ditangani, tetapi bukan oleh dirinya. Dia mengungkapkan jika persoalan tersebut merupakan urusan politik sehingga dia tidak akan masuk ke ranah politik.

"Soal DKP itu nanti ada yang menanganinya. Ini urusan politik dan Panglima TNI tidak mau masuk ke konteks politik, nanti Panglima TNI menjadi terseret ke ranah politik. Prajurit TNI tidak akan terlibat dan memihak," ujar Moeldoko (Sumber: KOMPAS.COM).

Sementara, mirip dengan kubu Prabowo, lewat Juru Bicara Istana, Julian Aldrin Pasha, SBY yang menjadi salah seorang penandatangan surat keputusan DKP hanya menyayangkan bocornya dokumen pemberhentian Prabowo. Dan, tidak ada satu pen media yang memberitakan tentang SBY yang menyangkal kebenaran dokumen DKP tersebut.

Dan, setelah lebih dari 3 tahun berlalu, secara resmi tidak pernah diketahui kebenaran dari dokumen yang fotonya beredar tersebut. Demikian juga dengan pengunggah pertamannya.

Soal Pemecatan Prabowo, Fadli Zon Benar

Tetapi, terkait dengan pemenangan pemilu, kebenaran dari dokumen tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Toh, sekalipun dokumen tersebut benar, tetap saja tidak berdampak terhadap elektabilitas Prabowo. Singkatnya pemanfaatan isu ini sudah mentok.

Jadi, untuk mengalahkan Prabowo pada Pilpres 2019 lebih baik lupakan soal rekomendasi DKP atas Prabowo dan pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan oleh Prabowo.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada isu terkalit Prabowo yang terjadi pada 1998 yang tidak bisa diangkat alias digoreng dalam Pilpres 2019. Dan, ironisnya, Fadli Zon sendirilah yang memberikan umpan lambung matang kepada lawan Prabowo.

Perhatikan pernyataan yang dilontarkan Fadli di atas.

Fadli benar 100%, Prabowo memang tidak dipecat dari dari ABRI pada Mei 1998. Sebab, faktanya, setelah memegang tongkat komando Kostrad, Prabowo masih melanjutkan tugasnya sebagai Komandan Sesko.

Selain itu, pemberhentian Prabowo pun belum tentu ada kaitannya dengan rekomendasi DKP yang salah satunya ditandatangani oleh SBY. Sebab, bagaimana pun juga sebuah rekomendasi belum tentu disetujui atau dilaksanakan.

Dan, benar juga kalau dikatakan SBY tidak menandatangani surat pemecatan Prabowo. Sebab, yang ditandatangani SBY adalah surat keputusan DKP yang merekomendasikan Prabowo.untuk  dijatuhkan hukum administrasi berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan.

Kemudian, lewat akun Twitter-nya @fadlizon, Fadli mengatakan, "2. @Prabowo08 ke Yordania, September 1998 utk hindari firnah di dalam negeri. Inilah HIJRAH Prabowo. Semua atas pengetahuan Pres Habibie." (Sumber: https://twitter.com/fadlizon/status/470255212142161920)

Masih kata Fadli, Prabowo tidak menerima surat pemberhentian karena saat itu Prabowo sedang berada di Yordania.

Jika dari pernyataan Fadli bisa ditarik kesimpulan bahwa Prabowo diberhentikan dengan hormat pada November 1998 pada saat Dansesko tersebut tidak berada di tanah air sejak September 1998.

Artinya, Prabowo tidak menginjakkan kakinya di Sesko selama lebih dari 30 hari. Sementara, menurut Pasal 87 KUHPM, tidak hadir dan tidak sah lebih dari 30 hari pada waktu damai dan lebih dari 4 hari pada waktu perang termasuk perbuatan disersi.

Maka, muncul pertanyaan, apakah pemberhentian Prabowo dengan hormat itu dikarenakan rekomendasi DKP atau karena Dansesko Prabowo telah meninggalkan tugasnya selama lebih dari 30 hari?

Dan, kalau pun pemberhentian Prabowo dengan hormat tersebut bukan karena keduanya atau lainnya, namun perbuatan Prabowo yang meninggalkan tugasnya selama lebih dari 30 yang termasuk perbuatan disersi tetap saja menarik untuk digoreng dalam Pilpres 2019 nanti.

Jika dibanding dengan isu pelanggaran HAM berat yang lebih berat untuk dipahami oleh masyarakat kebanyakan, isu disersi atau bolos lebih mudah dicerna. Bahkan, anak PAUD pun sanggup memahaminya.

Dengan penjelasan Fadli yang sedemikian gamblang tersebut, sudah semestinya dalam Pilpres 2019 nanti para rival Prabowo tidak lagi mendaur ulang isu pelanggaran HAM, tetapi isu disersi atau membolos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun