Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pencapresan Gatot Nurmantyo Akan Hadapi Mitos dan Langkah Politik Jokowi

7 Maret 2017   09:31 Diperbarui: 8 Mei 2017   14:25 8939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gatot Nurmantyo (Foto Dok Kompas.com)

Sesuai aturan, Gatot Nurmantyo akan memasuki masa pensiunnya pada Maret 2018. Namun demikian, sudah banyak yang menggadang-gadang Panglima TNI ini untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019. Pertanyaannya, seberapa kinclong kilau jenderal bintang empat ini jika dicapreskan pada 2019?

Sebelumnya, menyambung artikel sebelumnya tentang manuver ugal-ugalan Jokowi yang nekad memaksakan berlakunya presidential threshold (PT) meski pemilu sudah digelar serentak pada 2019 nanti.

Dengan asumsi PT diberlakukan pada Pemilu 2019, maka tidak ada satu pun parpol yang dapat mencalonkan jagoannya tanpa dukungan parpol lainnya. PDIP dengan 18,95 % raihan suara dan berhasil menduduki 109 kursi DPR RI pun tidak dapat mengajukan bakal capers-cawapresnya tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya.

Kenapa Gatot Nurmantyo Lebih Layak Didukung Ketimbang Jokowi dan Prabowo?

Karena semua parpol harus mendapatkan dukungan parpol lainnya untuk dapat mengajukan capres-cawapresnya, maka berbagai persoalan akan muncul. Selain masalah klasik yang sudah mendarah daging dalam setiap gelaran Pilres, pada Pemilu 2019 nanti akan muncul persoalan baru terkait PT.

Persoalan itu adalah timbulnya konflik kepentingan para caleg yang harus mengampanyekan pencapresan kader parpol lain. Misalnya, untuk dapat memenuhi ambang batas PT, Partai A yang memiliki capres X harus berkoalisi dengan Partai B.

Karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden digelar serentak pada hari yang sama, maka caleg Partai B mengampanyekan pencalegan dirinya, kemenangan parpolnya, sekaligus mengampanyekan kemenangan capres X yang notabene kader partai A.

Jadi, pada masa kampanye 2019 nanti, Ketua Umum Partai Golkar akan bersafari demi kemenangan partainya juga kemenangan Jokowi yang merupakan kader PDIP. Kemudian kader Golkar Nurul Arifin, akan mengampanyekan pencalegan dirinya, kemenangan partainya, dan juga kemenangan kader PDIP.

Bayangkan juga betapa bingungnya Metro TV yang di saat bersamaan harus memenangkan Nasdem sekaligus mengampanyekan pencapresan kader parpol lainnya. Apakah mungkin Metro TV kembali menyerang PDIP seperti pada masa Pileg 2014? Pada waktu itu Metro TV berulang kali menayangkan rekaman Prabowo Subianto yang tengah membacakan puisi “Boleh Bohong Asal Santun”.

Nah, konflik kepentingan ini dapat diatasi kalau gabungan parpol yang berkoalisi tidak mengajukan capres yang merupakan kader partai. Di sinilah sosok Gatot yang bukan kader partai manapun memiliki daya tarik lebih ketimbang Jokowi maupun Prabowo. Dengan mengajukan putra Tegal ini sebagai capres, maka para caleg dan parpol terbebas dari konflik kepentingan.

Kemudian muncullah pertanyaan yang sangat sederhana. Kenapa masih mendukung Jokowi dan Prabowo yang merupakan kader PDIP dan Gerindra, kalau ada tokoh non-parpol.

Mitos yang Bakal Dihadapi Gatot Nurmantyo Kalau Dicapreskan

Sekalipun masih menjabat sebagai Panglima TNI, sosok Gatot ini menarik karena oleh sebagian masyarakat diposisikan berhadapan dengan Presiden Jokowi. Persepsi ini sangat menguntungkan Gatot jika nantinya berhadapan langsung dengan Jokowi.  Persoalannya, bagaimana cara untuk tetap menempatkan Gatot pada “orbitnya”?

Menempatkan Gatot tetap di garis edarnya di masa pensiunnya bukanlah persoalan mudah. Karena selama ini, mantan Panglima TNI yang masih bersinar hanya Jenderal (Purn) Wiranto. Bahkan, mantan Panglima TNI asal AD seperti Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, Jenderal (Purn) Djoko Santoso, dan Jenderal (Purn) Moeldoko nyaris tidak pernah terdengar beritanya lagi.

Persoalan menarik lainnya adalah, belum pernah ada Presiden RI yang pernah menjabat sebagai Panglima TNI. SBY yang belum pernah memegang pucuk komando di TNI malah sanggup dua kali mengalahkan Wiranto, mantan Panglima ABRI sekaligus mantan atasannya di kemiliteran. Di sini jelas, pernah menjabat sebagai Panglima TNI bukanlah jaminan bagi Gatot untuk memenangi Pilpres 2019.

Tetapi, itu baru mitos. Bahkan, mitos itu baru dikreasikan lewat artikel ini.

Kalau melihat masa awal pensiunnya yang jatuh pada Maret 2018, maka masa pensiun Gatot hanya berselang 1 tahun dari pagelaran Pemilu 2019. Jadi, pada saat menyerahkan tongkat komando kepada penggantinya, Gatot belum kehilangan momentum untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya.

Sebelumnya pun, hanya Laksamana Agus Suhartono yang pensiun jelang setahun sebelum pemilu digelar. Agus memasuki masa pensiunnya sebagai Panglima TNI pada 30 Agustus 2013 atau hanya berselang beberapa bulan sebelum Pemilu 2014 dilangsungkan.

Meski, sama-sama berselang setahun dari pagelaran pasta demokrasi, Gatot lebih beruntung ketimbang Agus. Gatot mendapatkan momentum yang tidak dimiliki oleh Panglima TNI lainnya. Titik awal momentum itu jatuh ke tangan Gatot sejak aksi-aksi massa yang digelar selama Oktober 2016-Desember 2016.  

Apa Langkah Jokowi untuk Menghambat Gatot Nurmantyo?

Sebagai capres petahana, Jokowi tentunya memegang penuh kekuatan politik. RUU Pemilu dengan pasal-pasal PT yang menabrak akal sehat manusia waras di mana pun adalah salah satu contohnya. Dimasukkannya aturan ambang batas persyaratan capres-cawapres merupakan cara cerdik Jokowi untuk menghambat munculnya capres-capres yang berpotensi menyainginya.

Selain pemberlakuan PT, Jokowi pun akan menggunakan segala kekuasaannya untuk menghambat munculnya sosok yang dapat menyainginya, apalagi sampai berpotensi mengalahkannya.

Demikian juga dengan nasib pencapresan Gatot. Sebagai capres potensial, langkah Gatot sangat tergantung pada pilihan politik Jokowi. Karena Jokowi bisa saja menghambat pencapresan Gatot dengan cara memperpanjang masa dinasnya dan baru memilih Panglima TNI pengganti setelah masa Pemilu 2019 berakhir.

Tentu saja Gatot dapat mengajukan pengunduran diri sebelum memasuki masa pensiunnya. Atau bisa juga menolak perpanjangan masa tugas yang ditetapkan Presiden Jokowi.Tetapi, pengunduran diri atau pun penolakan terhadap perpanjangan masa dinas bukanlah pilihan terbaik. Bahkan, jika dikaitkan dengan pencapresannya, pilihan Gatot tersebut merupakan blunder politik.

Di sinilah persoalan terbesar jika Gatot akan dibakalcalonpresidenkan. Sebagai Panglima TNI, pencalonan Gatot terkerangkeng oleh langkah politik Jokowi. Dan, kalau berkaca pada diberlakukannya PT pada RUU Pemilu yang menghambat munculnya capres-capres potensial, tidak menutup kemungkinan Jokowi pun akan menyingkirkan Gatot dari bursa Capres 2019 dengan cara memperpanjang masa jabatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun