Sejak hari H Pilgub DKI 2017 sudah banyak beredar informasi tentang kecurangan pemilu. Informasi tersebut disebarkan oleh akun-akun media sosial masing-masing pendukung Paslon Gubernur.
Untuk menguatkan jika informasi yang disebarkannya akurat, akun-akun tersebut menyertakannya dengan foto atau video. “A Picture is wort a thousand word” atau “No pic’s hoax”. Mungkin itulah kata-kata mutiara yang menjadi pedoman bagi penyebar informasi tentang adanya kecurangan pemilu.
Tetapi, kalau diamati dengan jeli, sederet foto atau sejumlah video yang beredar tidak dapat menunjukkan bukti telah terjadinya kecurangan dalam Pilgub DKI 2017.
Misalnya, ada foto tumpukan surat suara di bawah meja petugas KPPS. Foto tersebut disebut sebagai bukti kalau petugas KPPS sengaja menyembunyikan surat suara agar tidak dipakai untuk mencoblos atau akan dicoblos sendiri untuk memenangkan salah satu pasangan. Jelas informasi tersebut mudah sekali dipatahkan.
Pertama, surat suara yang diletakkan di bawah meja petugas KPPS bukan berarti dimaksudkan untuk disembunyikan. Saat pemilu berlangsung, ada ratusan surat suara yang harus diisi dengan sejumlah data, seperti Provinsi, Kota/Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan, dan nomor TPS.
Belum lagi, Ketua KPPS harus menuliskan namanya dan menandatanganinya. Jadi, meletakkan suarat suara di bawah meja adalah salah satu cara untuk mengurangi berkas yang ada di atas meja.
Kedua, bagaimana mungkin surat suara itu akan dicoblos sendiri oleh petugas KPPS? Kalau tuduhan tersebut benar, maka akan mudah terungkap. Data pemilu dalam Form C1 sangat detail. Di situ dicantumkan, antara lain jumlah total pemilih (pengguna C6, pengguna C5, dan pengguna KTP) dan jumlah surat suara terpakai.
Taruhlah ada surat suara yang dicoblos oleh petugas KPPS, pasti akan membuat surat suara terpakai lebih besar dari jumlah pemilih. Konsekuensinya, petugas KPPS harus menambah jumlah pemilih. Penambahan jumlah pemilih yang pastinya fiktif ini tidaklah mudah, sebab pelaksanaan pemilu di TPS dihadiri juga oleh saksi setiap paslon.
Jika pun ada petugas KPPS yang nekad sembunyi-sembunyi mencoblos surat suara sendiri, maka akan terjadi perbedaan antara C1 yang dipegang petugas KPPS dengan salinan C1 yang dipegang saksi. Dan, perbedaan ini akan terungkap saat rekapitulasi di tingkat PPS.
Demikian juga dengan foto surat suara dengan lubang pada gambar Paslon Nomor 2 yang diinformasikan sebagai bentuk kecurangan. Katanya surat suara yang sudah dilubangi tersebut akan dimasukkan ke dalam kotak suara oleh petugas KPPS.
Kalau ada petugas KPPS yang nekat melakukannya, maka praktek kecurangan itu akan mudah terungkap saat rekapitulasi di tingkat PPS karena jumlah total suara harus sama dengan jumlah DPT + 2,5 %. Kalau ada surat suara yang dimasukkan ke dalam kotak suara berarti jumlah total surat suara melebihi jumlah DPT+2,5 %.
Lebih jauh, dengan memasukkan surat suara yang sudah dicoblos pasti akan mengubah kolom jumlah suara pada Form C1, tetapi juga pada kolom jumlah surat suara, jumlah pemilih, dan jumlah suara sah. Jadi, dugaan adanya surat suara berlubang yang dimasukkan ke dalam surat suara bisa dinyatakan sebagai informasi hoax.
Kemudian, beredar pula dua foto yang diinformasikan sebagai penggelembungan suara Paslon Nomor 2 di TPS 36 Kelurahan Bukit Duri. Dalam dua foto yang beredar tersebut diinformasikan suara Paslon Nomor 2 di TPS 36 digelumbungkan dari 61 menjadi 261 saat rekapitulasi suara di Kecamatan.
Jangankan masyarakat awam, akun @nazarsjamsuddin yang diketahui milik Guru Besar UI Profesor Nazaruddin Sjamsuddin yang juga mantan Ketua KPU saat Pemilu 2004 saja terkecoh dengan informasi tersebut.
“Yang ngetik, matanya sudah lamur kali ya. Kalo gak diperbaiki, kita doakan agar matanya lamur permanen,” cuit akun Twitter @nazarsjamsuddin.
Kalau saja pemilik akun @nazarsjamsuddin lebih teliti, dia pastinya akan melihat kalau pada lembar kertas rekapitulasi di Kecamatan Tebet tersebut tidak berlogo. Artinya bukan lembar kertas resmi KPUD DKI Jakarta.
Kemudian, foto itu sudah memviral sejak sehari setelah Hari-H Pilgub DKI Jakarta, dan saat itu PPK yang ada di tingkat kecamatan belum meilakukan rekapitulasi. Rekapitulasi baru dilakukan di tingkat PPS.
Nah, ini yang paling seru. Ada rekaman video yang mempertontonkan antrean panjang calon pemilih di TPS. Ada dua rekaman video yang beredar dengan TPS yang berbeda. Seru karena masing-masing pendukung paslon menuding paslon lawannya melakukan praktek kecurangan.
Dalam berita yang dipublikasikan oleh Tempo.co, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco yang juga Ketua Mahkamah Kehormatan DPR menduga antrean tersebut sebagai bentuk mobilisasi massa. Sementara kubu Paslon Nomor 2 mengatakan antrean tersebut akibat dari dilarangnya warga oleh saksi Paslon untuk menggunakan hak suaranya.
"Jika selama ini kecurangan didominasi dalam proses rekapitulasi berjenjang yang dimanipulasi, pada pilkada DKI Jakarta sekarang yang paling mengkhawatirkan adalah migrasi pemilih. Akibatnya, ada penggelembungan jumlah pemilih di tingkatan TPS," kata Sufmi di Jakarta, Minggu, 19 Februari 2017.
Memang benar, antrean puluhan calon pemilih lewat pukul 12.00 adalah sebuah kejadian yang aneh atau di luar kewajaran. Sebab, umumnya antrean pemilih terjadi antara pukul 08.00 sampai pukul 11.00. Tetapi, kejadian panjangnya antrean tersebut sampai sekarang belum diketahui penyebabnya.
Pertanyaannya, bagaimana Sufmi mengkhawatirkan antrean tersebut sebagai bentuk migrasi atau mobilisasi massa. Bukankah tidak dilakukan pemeriksaan terhadap identitas warga yang mengantri di TPS tersebut.
Kalau, warga yang mengantri tersebut memegang KTP yang beralamat di RW di mana TPS tersebut berlokasi, maka tidak bisa disebut migrasi atau mobilisasi massa. Karena sesuai dengan Keputusan MK, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat mencoblos di TPS mana pun selama masih berada di 1 RW.
Demikian juga dengan tudingan yang dilontarkan oleh pendukung Paslon Nomor 2 yang menyebut adanya penolakan oleh saksi kepada warga yang akan memilih.
Penolakan oleh saksi jelas melanggar aturan. Kalau saksi keberatan, maka ia bisa berkomunikasi dengan petugas KPPS. Jika dalam komunikasi tersebut tidak ditemukan solusi, maka saksi dapat menerbitkan Berita Acara.
Tetapi, sampai saat ini belum jelas awal mula terjadinya kericuhan di TPS tersebut. Mungkin masih dalam penyelidikan.
Kemudian Sufmi pun melanjutkan,
"Saya melihat video antrean pemilih yang masih sangat panjang yang disebutkan di wilayah Mall of Indonesia, Kelapa Gading. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 13.15.WIB. Benar atau tidaknya video tersebut harus diverifikasi bersama," lanjut politisi Gerindra tersebut.
Sayang Sufmi tidak menjelaskan antrean itu untuk apa. Kalau antrean itu untuk mencoblos, menurut KPU, tetap sah. Tetapi, kalau antrean tersebut untuk mendaftar sebagai pemilih, jelas tidak sah. Karena yang dimaksud dengan sampai pukul 13.00 adalah batas waktu pendaftaran pemilih.
Dari, banyaknya informasi yang beredar di media sosial dan media arus utama, bisa dikatakan Pilgub DKI 2017 banyak mengalami masalah. Bahkan, ada sejumlah pelanggaran yang dilaporkan kepada Bawaslu DKI. Tetapi, baik masalah maupun pelanggaran belum tentu menunjukkan adanya kecurangan.
Namun demikian, sepertinya, tidak ada satu pun paslon yang akan menggugat hasil Pilgub DKI 2017 ke Mahkamah Konstitusi karena tidak adanya bukti yang mencukupi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI