Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Golput 30%, Kenapa Surat Suara Masih Kurang?

22 Februari 2017   10:37 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:33 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau Form C6 bisa digandakan dengan cara difotocopy, berarti ini salah satu cara untuk menggandakan pemilih,” kata seorang teman lewat WA.

Dijawab, “Kalau hanya mengisi C6 dengan identitas fiktif sih boleh-bolah saja. Tidak ada yang melarang. Tetapi, begitu penggunanya mendaftar di TPS, petugas TPS akan mencocokkan C6 dengan DPT. Kalau C6 yang dibawa tersebut ditemukan, petugas TPS akan melanjutkan ke tahap selanjutnya dengan memberi surat suara.

Dan, DPT bukan hanya dicocokan oleh petugas TPS, tetapi juga oleh saksi. Karena masing-masing saksi juga mencocokan C6 dengan DPT yang dipegangnya.”

“Bagaimana kalau C6 milik saya dipakai orang lain, apa itu bukan bentuk kecurangan?”

Soal C6 pernah ditulis waktu masa Pileg 2014. Dalam artikel itu, diungkapkan kalau C6 yang tidak dapat disampaikan ke pemiliknya bisa dijual oleh petugas KPPS kepada kontestas pemilu. Di TPS tempat saya, ada 6 lembar C6 yang tidak bisa diserahkan ke pemiliknya.

2 lembar C6 karena alamat pemilih berada jauh dari TPS, masih satu kelurahan tetapi beda RW. 4 lembar C6 tidak diserahkan karena pemiliknya tidak ditemukan dan nama pemiliknya tidak dikenal oleh warga yang tinggal di sekitarnya.

Bagaimana kalau pemilik C6 itu ada, dalam artian terdaftar dalam DPT, tetapi C6 miliknya digunakan oleh orang lain? Semua pemegang C6 bisa mencoblos tanpa perlu meninjukkan KTP-nya. Jadi, C6 milik Si A bisa digunakan oleh Si B untuk mencoblos.

Tetapi, modus seperti ini mudah terungkap. Sebab, kalau Si A melapor adanya dugaan penyalahgunaan C6 miliknya, petugas akan mudah memeriksanya pada lembar-lembar C6 yang sudah dibundel dan dimasukkan ke dalam kotak suara. Kalau kemudian petuga menemukan C6 milik Si A, berarti memang benar terjadi penyalahgunaan C6.

Pertanyaannya, apa sudah ada yang melaporkan penyalahgunaan C6?

Dalam pemilu, segala bentuk kecurangan pasti ada. Hanya saja, apakah kecurangan tersebut logis atau tidak? Mudah terungkap atau tidak? Kecurangan itu sohib dari bohong atau hoax.

Untuk bisa bohong, curang, atau nge-hoax harus benar-benar dipikirkan secara matang agar kecurangannya, kebohongannya, dan ke-hoax-annya tidak mudah terungkap. Semakin seseorang itu pakar soal bohong, curang, atau ngehoak, semakin jarang orang tersebut melakukannya. Tukang bohong atau ngehoax berbeda jauh dengan pakarnya.

Kemudian, lagi-lagi ada yang mempersoalkan tentang ketidakberesan pada data rekapitulasi sementara KPU yang diunggah lewat situsnya. Coba cek di Google, menurut IT KPU, siapa caleg pada Pilleg 2009 yang mendapat suara tertinggi.

Jawabannya, pasti Caleg Nomor 1 Partai Demokrat Dapil II Sulawesi Selatan Muhammad Jafar Hafsah dengan perolehan suara 111.226.214 suara atau sekitar ¾ suara dari total DPT di seluruh Indonesia.

Apakah hasil tabulasi IT KPU yang menempatkan Jafar akan dipakai sebagai hasil resmi KPU? Jawabannya, tidak. Apakah suara yang diperoleh Jafar menurut IT KPU merupakan bukti terjadinya kecurangan? Jawabannya juga tidak.

Sejak dulu kala, hasil resmi pemilu yang diakui hanyalah data manual, bukan elektronik.

Nah, ini yang juga bikin bingung banyak netizen. Jumlah golput sekitar 30 %, kok kertas suara bisa kurang.

Jumlah golput dihitung dari jumlah pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak suaranya. Jadi kalau dalam 1 TPS tercatat ada 100 jumlah pemilih menurut DPT dan pengguna suara pada TPS tersebut terdata 75 pemilih, maka jumlah golput adalah 25 orang.

Sementara, jumlah total surat suara adalah jumlah DPT ditambah 2,5 %. Jadi kalau ada 100 pemilih di TPS tersebut, maka surat suara yang diterima adalah 100 ditambah 2,5 % atau 103.

Sedangkan jumlah pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT atau pengguna KTP tidak bisa diketahui sebelum tahap pencoblosan usai.

Jadi, logika kurangnya surat suara sangat sederhana. Di TPS 01 ada 100 pemilih berdasarkan DPT. Jumlah surat suara 103 lembar. 75 dari 100 warga yang tercatat dalam DPT menggunakan hak pilihnya di TPS tersebut. Berarti jumlah golput di TPS tersebut ada 25 pemilih.

Dengan demikian surat suara bersisa 28 lembar. Kalau TPS itu kedatangan 30 pemilih yang menggunakan KTP, maka TPS tersebut akan kekurangan 2 lembar surat suara.

Jadi, logika peristiwa ini sangat sederhana. Kalau di satu TPS pengguna KTP lebih besar dari angka golput plus 2,5 % DPT, maka TPS tersebut akan kekurangan surat suara.

Bagaiman kalau sewaktu rekapitulasi di KPUD DKI, ternyata jumlah total pemilih (Pengguna C6, C5, dan KTP) pada Pilgub DKI 2009 lebih kecil dari jumlah DPT. Dengan begitu, apa mungkin surat suara masih kurang.

Kekurangan surat suara tidak bisa dilihat dalam skala provinsi, bahkan skala kelurahan pun tidak bisa. Karena kekurangan surat suara terjadi per TPS. Paling luas RW.

Di TPS A yang berlokasi di Kelurahan L, RW 01 terjadi kekurangan surat suara, sebaliknya di TPS B di kelurahan yang sama (L) tepi beda RW (RW 02) justru kelebihan surat suara.

Kenapa bisa demikian? Karena TPS yang kekurangan surat suara harus mengarahkan pemlih menuju TPS terdekat asal masih 1 RW. Jadi, bisa saja terjadi kekurangan surat suara di sejumlah TPS di satu RW. Sementara di RW sebelahnya justru kelebihan surat suara.

Dan, kalau mau mau mengungkap adanya bentuk kecurangan pemilu dengan menggunakan modus kekurangan suara, penyelidik harus turun ke TPS. Periksa mulai dari C1, petugas KPPS, sampai saksi.

Tapi, kalau pada C1 tercatat jumlah total pemilih (C6, C5, dan KTP) sama dengan jumlah surat suara terpakai (jumlah total surat suara dikurangi jumlah surat suara yang rusak), maka di TPS tersebut bisa dinyatakan bebas dari bentuk kecurangan.

Jadi, kurangnya surat suara belum tentu bisa disebut sebagai penggembosan suara atau pembungkaman suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun