Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

C6 Tidak Diterima dan Surat Suara Habis, di Mana Salahnya?

17 Februari 2017   21:14 Diperbarui: 18 Februari 2017   15:55 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kompas.com

Siapa yang salah atau di mana letak kesalahannya kalau ada warga yang tidak mendapatkan C6?

Sebenarnya, informasi tentang ada warga yang tidak mendapat form C6 atau Surat Undangan Mencoblos di TPS sudah beredar sehari sebelum hari pencoblosan. Informasi ini menyebar di setiap akun-akun pendukung Paslon Gubernur DKI Jakarta. Sebagaimana pengalaman di masa Pemilu 2014, lembaran C6 atau surat undangan mencoblos. Sudah dibagikan oleh PPS kepada KPPS seminggu sebelum hari pencoblosan.

Lembaran C6 dicetak pada kertas sejenis HVS. Satu lembar seukuran kertas folio terdiri dari 2 C6 untuk 2 pemilih berdasarkan data pada DPT. Setelah diisi dengan NIK, Nama, Alamat, Tanggal dan Lokasi TPS, dan ditandatangani oleh Ketua KPPS, barulah lembar C6 dibagi dua. Selanjutnya dibagikan kepada masing-masing pemilih.

Untuk setiap TPS dengan, misalnya 500 pemilih sesuai DPT, KPPS mendapatkan 250 lembar C6. Lembaran C6 ini tidak bernomor seri juga tidak berstempel. Jadi, kalau terjadi kesalahan tulis atau rusak, KPPS bisa mengganti dengan memfotocopynya.

Karena lembar C6 bisa difotocopy atau diperbanyak oleh KPPS, maka sangat tidak mungkin kalau Form C6 habis. Kalau ada anggota KPPS yang mengatakan itu, artinya dia BERBOHONG. Pengisian C6 berdasarkan DPT. Dengan demikian, tidak mungkin kalau ada pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak mendapat C6. Dan, itu aturannya.

Sekitar 3 hari jelang hari pencoblosan, C6 harus sudah disampaikan kepada pemiliknya. Sementara, C6 yang belum diserahterimakan ke pemiliknya disimpan oleh Ketua KPPS. Setelah itu, lewat berbagai cara, petugas KPPS mengumumkan kepada warga yang belum mendapatkan C6 untuk mengambilnya ke Ketua KPPS.

Jadi, selama 3 hari jelang hari H pencoblosan, Ketua KPPS banyak didatangi warga yang belum menerima C6. Pertama, Ketua KPPS mencari C6 yang ditanyakan di kumpulan C6 yang belum diserakterimakan. Kalau tidak ditemukan, Ketua KPPS memeriksanya pada lembaran DPT. Kalau tidak terdaftar dalam DPT, Ketua KPPS menyarankan warga untuk tetap menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP antara pukul 12.00-13.00.

Persoalannya, DPT yang diterima oleh KPPS sudah terdapat banyak masalah. Misalnya, ada NIK yang kalau diperhatikan pada DPT berurutan dengan NIK lainnya. Tetapi, nama pemilih pada DPT tidak dikenali oleh warga yang tinggal di sekitar alamat yang tercantum dalam DPT. Karena si pemilik tidak ditemukan, maka C6 disimpan oleh Ketua KPPS.

Ada juga warga yang beralamat jauh dari lokasi TPS, masih di 1 Kelurahan dengan lokasi TPS, tetapi berbeda RW. Padahal NiK warga yang berbeda RW tersebut berurutan dengan warga lainnya. Nah, untuk kasus ini, sebagai Ketua KPPS, saya memutuskan untuk tidak menyampaikan C6 kepada pemiliknya. Karena sesuai dengan UU-nya, TPS harus berlokasi dekat dengan alamat pemilih.

Jadi, sangat mungkin ada warga yang tidak mendapatkan C6-nya karena alamat pada DPT berjauhan dengan lokasi TPS. Meski pun NIK-nya tercantum dalam daftar pemilih pada Web KPU. Persoalannya, ada sejumlah TPS yang melayani pemilih dari 1,5 RT. Ya, 1,5 RT. Sebab pemilihnya berasal dari 100 % warga RT X dan 50 % warga RT Y. Sementara, 50 % warga RT Y lainnya memilih di TPS sebelah.

Gegara persoalan pembagian warga yang tidak “saklek”, selama 3 hari jelang hari H, ada sejumlah warga dari RW yang berasal dari RT Y yang menanyakan C6-nya. Kalau C6 tidak ditemukan dan si warga juga tidak terdaftar dalam DPT, maka si warga dipersilakan untuk menanyakannya ke Ketua TPS sebelah.

Jadi, begitu persoalan C6 yang tidak sampai ke kepemiliknya. Dengan demikian, satu-satunya kesalahan yang ditemukan dalam persoalan C6 ini adalah ketika ketua KPPS mengatakan kalau C6 habis. Karena KPPS tidak mungkin kehabisan C6.

Tetapi, salah juga kalau ada warga menanyakan C6 kepada Ketua RW atau ketua RT. Bukankah Ketua RT maupun Ketua RW belum tentu anggota KPPS. Jadi, belum tentu keduanya mengetahui pasti soal C6 ini. Sekalian menjawab soal isu adanya TPS yang kehabisan surat suara. Jumlah surat suara untuk TPS sama dengan jumlah DPT+2,5. Jadi kalau DPT  pada TPS tersebut adalah 500, maka surat suara yang diterimanya sekitar 513.

Surat suara untuk TPS ini bisa jadi habis. Kalau, surat suara untuk TPS dengan jumlah DPT 500 tertukar dengan surat suara untuk TPS dengan jumlah DPT 400. Surat suara juga mungkin habis kalau jumlah pemilih di TPS tersebut lebih dari jumlah DPT+2,5 %. Kalau ada kasus demikian, pemilih disarankan untuk pindah ke TPS sebelah yang masih berlokasi di satu RW.

Atau bisa juga kurang kalau, jumlah pemilih yang menggunakan C5 (lima) dan KTP melebihi jumlah golput. Bisa juga surat suara kurang kalau banyak pemilih yang meminta ganti surat suara yang diterimanya. Tapi, bagaimana kalau ada KPPS yang mengatakan surat suara habis padahal surat suara itu disembunyikannya. Pertanyaannya, berapa surat suara yang disembunyikan? Dan sekalipun hanya 1 surat suara yang disembunyikan pasti akan ketahuan saat pengisian C1.

Misalkan, Ketua KPPS dengan jumlah DPT 500 mengatakan surat suara sudah habis. Artinya, sesuai angka pada kolom-kolom C1, jumlah surat suara yang terpakai dan rusak harus sama dengan 513. Kalau tiba-tiba muncul surat suara yang disembunyikan, angka surat suara yang disembunyikan itu mau ditambahkan di mana? Karena dengan tambahan 1 surat suara yang disembunyikan itu, jumlah total surat suara menjadi 514..

Jadi, sangat tidak mungkin menyembunyikan surat suara, apalagi sampai segepok seperti pada foto yang memviral.

Kecurangan dalam pemilu itu sangat besar. Ada banyak celah yang bisa dimainkan. Dan celah curang itu sah alias tidak akan melanggar hukum. Tetapi, kecurangan itu bukan seperti yang banyak berseliweran di media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun