Siapa yang salah atau di mana letak kesalahannya kalau ada warga yang tidak mendapatkan C6?
Sebenarnya, informasi tentang ada warga yang tidak mendapat form C6 atau Surat Undangan Mencoblos di TPS sudah beredar sehari sebelum hari pencoblosan. Informasi ini menyebar di setiap akun-akun pendukung Paslon Gubernur DKI Jakarta. Sebagaimana pengalaman di masa Pemilu 2014, lembaran C6 atau surat undangan mencoblos. Sudah dibagikan oleh PPS kepada KPPS seminggu sebelum hari pencoblosan.
Lembaran C6 dicetak pada kertas sejenis HVS. Satu lembar seukuran kertas folio terdiri dari 2 C6 untuk 2 pemilih berdasarkan data pada DPT. Setelah diisi dengan NIK, Nama, Alamat, Tanggal dan Lokasi TPS, dan ditandatangani oleh Ketua KPPS, barulah lembar C6 dibagi dua. Selanjutnya dibagikan kepada masing-masing pemilih.
Untuk setiap TPS dengan, misalnya 500 pemilih sesuai DPT, KPPS mendapatkan 250 lembar C6. Lembaran C6 ini tidak bernomor seri juga tidak berstempel. Jadi, kalau terjadi kesalahan tulis atau rusak, KPPS bisa mengganti dengan memfotocopynya.
Karena lembar C6 bisa difotocopy atau diperbanyak oleh KPPS, maka sangat tidak mungkin kalau Form C6 habis. Kalau ada anggota KPPS yang mengatakan itu, artinya dia BERBOHONG. Pengisian C6 berdasarkan DPT. Dengan demikian, tidak mungkin kalau ada pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak mendapat C6. Dan, itu aturannya.
Sekitar 3 hari jelang hari pencoblosan, C6 harus sudah disampaikan kepada pemiliknya. Sementara, C6 yang belum diserahterimakan ke pemiliknya disimpan oleh Ketua KPPS. Setelah itu, lewat berbagai cara, petugas KPPS mengumumkan kepada warga yang belum mendapatkan C6 untuk mengambilnya ke Ketua KPPS.
Jadi, selama 3 hari jelang hari H pencoblosan, Ketua KPPS banyak didatangi warga yang belum menerima C6. Pertama, Ketua KPPS mencari C6 yang ditanyakan di kumpulan C6 yang belum diserakterimakan. Kalau tidak ditemukan, Ketua KPPS memeriksanya pada lembaran DPT. Kalau tidak terdaftar dalam DPT, Ketua KPPS menyarankan warga untuk tetap menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP antara pukul 12.00-13.00.
Persoalannya, DPT yang diterima oleh KPPS sudah terdapat banyak masalah. Misalnya, ada NIK yang kalau diperhatikan pada DPT berurutan dengan NIK lainnya. Tetapi, nama pemilih pada DPT tidak dikenali oleh warga yang tinggal di sekitar alamat yang tercantum dalam DPT. Karena si pemilik tidak ditemukan, maka C6 disimpan oleh Ketua KPPS.
Ada juga warga yang beralamat jauh dari lokasi TPS, masih di 1 Kelurahan dengan lokasi TPS, tetapi berbeda RW. Padahal NiK warga yang berbeda RW tersebut berurutan dengan warga lainnya. Nah, untuk kasus ini, sebagai Ketua KPPS, saya memutuskan untuk tidak menyampaikan C6 kepada pemiliknya. Karena sesuai dengan UU-nya, TPS harus berlokasi dekat dengan alamat pemilih.
Jadi, sangat mungkin ada warga yang tidak mendapatkan C6-nya karena alamat pada DPT berjauhan dengan lokasi TPS. Meski pun NIK-nya tercantum dalam daftar pemilih pada Web KPU. Persoalannya, ada sejumlah TPS yang melayani pemilih dari 1,5 RT. Ya, 1,5 RT. Sebab pemilihnya berasal dari 100 % warga RT X dan 50 % warga RT Y. Sementara, 50 % warga RT Y lainnya memilih di TPS sebelah.
Gegara persoalan pembagian warga yang tidak “saklek”, selama 3 hari jelang hari H, ada sejumlah warga dari RW yang berasal dari RT Y yang menanyakan C6-nya. Kalau C6 tidak ditemukan dan si warga juga tidak terdaftar dalam DPT, maka si warga dipersilakan untuk menanyakannya ke Ketua TPS sebelah.