Mau curcol saja.
Pertama, terima kasih kepada para sahabat yang telah mengirimi saya dengan berbagai informasi tentang (indikasi) kecurangan Pilgub DKI 2017. Saya ini blogger Kompasiana yang secara kebetulan pernah dipilih sebagai Ketua KPPS pada saat Pemilu 2014 lalu. Jadi baru dua kali pemilu yang melibatkan saya, Pileg 2014 dan Pilpres 2014. Cuma, mungkin karena, saya banyak menulis tentang masalah-masalah terkait pemilu banyak teman yang berpikir kalau saya tahu banyak. Padahal, yang saya ketahui hanya praktek pemilu di TPS dan berbagai indikasi kecurangan pemilu yang mungkin terjadi.
Sejak kemarin sore banyak informasi yang masuk lewat email dan akun media sosial yang saya miliki. Umumnya, bertanya tentang kebenaran foto-foto dan video yang beredar di media sosial. Ada juga yang mengirimi foto tentang server KPUD DKI Jakarta yang mendadak ngadat di saat Paslon Anies-Sandi sedang memimpin dengan perolehan suara di atas 50 %.
Sever KPU ngadat juga pernah terjadi pada saat Pilpres 2009. Gegara ngadat itu, KPU segera menghentikan operasinya. Soal server KPUD DKI Jakarta yang mendadak ngadat tidak usah dipikirkan. Apalagi sampai mencari ahli IT untuk menyelidikinya. Kenapa? Karena perhitungan suara yang resmi diakui oleh KPU adalah yang dicatat secara manual, bukan secara sistem elektronik.
Sistem manual ini berasal dari Form C1 tiap TPS. Form C1 per TPS ini kemudian direkapitulasi oleh petugas PPS di kelurahan. Selanjutnya direkapitulasi secara berjenjang di kecamatan, kota, dan Propinsi DKI Jakarta. Maka kalau pun pada server KPUD DKI Jakarta ditemukan penyimpangan, tidak akan mempengaruhi hasil perolehan suara masing-masing paslon. Jadi, mending awasi perjalanan rekapitulasi perolehan suara di setiap jenjang.
Sebelumnya, foto-foto yang beredar di media sosial itu bukan Form C1 Pleno. Form ini dipajang di TPS saat tahap penghitungan suara dimulai. Dan setelah selesai petugas KPPS mempersilahkan kepada siapa pun untuk mengambil foto atau video.
(Beredarnya foto-foto hasil perolehan suara tiap TPS ini juga sebagai bantahan kepada Umar Abbuh yang mengaku mendapat informasi dari intelijen. Katanya, informasi yang didapatnya secara rahasia itu didapat dari TNI/Polri. Ditambahkannya lagi, kalau informasi yang didapat TNI. Polri itu akurat karena hanya TNI dan Polri yang mendapat akses untuk mengambil foto di TPS).
Salah satu foto yang dikirim adalah Form C1 Pleno TPS 015 Kel. Kembangan, Kec. Kembangan, Jakbar. Dalam foto itu nampak suara Paslon Nomor 1 hanya Nol alias tidak ada yang mencoblosnya, Paslon Nomor 2 meraup 461 suara, dan Paslon Nomor 3 meraih 2 suara. Atas, foto tersebut banyak yang menyebutkan kejanggalannya. Katanya, “Apa saksi Paslon Nomor 1 tidak mencoblos tanda gambar Paslon yang didukungnya?
Kalau dilihat lebih lanjut dari foto tersebut nampak jelas Jumlah Seluruh Suara Sah tercatat 463, sementara Suara Tidak Sah tercatat 0 (nol).
Dari foto itu dapat disimpulkan kalau seluruh pemilih pada TPS tersebut mencoblos surat suaranya dengan benar dan tidak ada pemilih yang salah dalam melakukan pencoblosan. Artinya, saksi dari Paslon Nomor 1 pun mencoblos surat suaranya dengan benar. Hanya saja, ia tidak memilih Paslon Nomor 1, tetapi antara Paslon Nomor 2 atau Paslon Nomor 3.
Jadi, tidak ada kejanggalan pada foto perolehan suara TPS 015 di Kel. Kembangan tersebut. Selain itu terlihat juga ada tanda tangan milik saksi Paslon Nomor 1 yang bernama Panki. Sederhananya, tidak ada yang janggal kalau salah satu paslon tidak memperoleh satu pun suara, meski paslon tersebut mengirimkan saksinya.
Selanjutnya tentang foto surat suara yang memperlihatkan adanya lubang pada foto Paslon Nomor 2. Katanya, surat suara yang sudah dilubangi tersebut akan dimasukkan ke dalam kotak suara.
Kemungkinan surat suara tersebut dimasukkan ke dalam suarat suara tetap ada. Tetapi, satu saja surat suara suara yang dimasukkan secara diam-diam, apa lagi terang-terangan ke dalam surat suara, akan merusak pelaksanaan pemilu di TPS tersebut secara keseluruhan. Kenapa? Karena akan terjadi selisih jumlah surat suara.
Bagamana mungkin surat suara yang dipakai di TPS tersebut tercatat 400, tetapi jumlah suara sah tercatat 401. Belum lagi kalau menyandingkannya dengan jumlah pemilih, jumlah suara, dan lainnya. Ini hanya satu dari ketidakmungkinan kecurangan pemilu dengan cara memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.
Soal video yang memperlihatkan seorang yang kebingungan saat ditanyai posisi rumahnya, hal itu belum bisa dipastikan sebagai bentuk kecurangan. Pertama, seorang yang ditanya, apalagi dengan tekanan massa seperti itu, pasti akan mempengaruhi kemampuan berpikirnya. Tetapi, dari video tersebut jelas menunjukkan kalau orang ber-KTP tersebut tidak dikenali oleh warga yang menanyainya, meski antara warga penanya dan pemilik KTP tinggal di satu RW *menurut KTP yang ditanya). Dari sini bisa disimpulkan kalau orang tersebut tidak masuk dalam DPT dan menggunakan hak suaranya di TPS yang berada jauh dari alamat tempat tinggalnya yang tercantum dalam KTP.
Karena sesuai dengan Keputusan MK, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak suaranya di RT/RW yang sesuai dengan KTP-nya. Jadi, asal masih dalam satu RW, pemilih bisa mencoblos di TPS mana pun.
Sebetulnya warga patut menanyakan, kenapa orang tersebut tidak mencoblos di TPS yang dekat dengan alamar rumahnya. Kenapa patut ditanyakan? Karena salah satu pintu masuk untuk mencurangi pemilu lewat pemalsuan KTP adalah dengan memanfaatkan Keputusan MK.
Masih banyak lagi informasi tentang kecurangan pemilu yang beredar di media sosial dan dikirimkan kepada saya. Tapi, baru empat yang bisa dituliskan di sini. Karena selebihnya hanya bisa dijawab tidak tahu.
Contohnya, informasi tentang adanya TPS yang kekurangan surat suara sehingga banyak calon pemilih yang tidak bisa menggunakan hak suaranya. Kurangnya surat suara pada TPS ada 2 kemungkinan. Pertama, surat suara memang sudah tidak sesuai dengan jumlah DPT (Total jumlah urat suara yang diterima TPS =Jumlah DPT +2,5 %).
Kedua, surat suara untuk TPS tersebut tertukar dengan surat suara untuk TPS lainnya. Karena jumlah surat suara yang diterima TPS =Jumlah DPT +2,5 %, maka jumlah surat suara untuk TPS dengan DPT 500 pastinya berbeda dengan TPS dengan DPT 700.
Nah, apa pun kemungkinannya, kesalahan ada pada KPPS. Tapi, kalau ditanya apakah kurangnya jumlah surat suara itu terkait kecurangan pemilu, jawabannya jelas tidak tahu.
Ada juga informasi tentang “pendaftaran” pengguna KPT sebelum pukul 12.00. Kalau hanya “pendaftaran”, tidak menjadi soal. Kan, si pemilih hanya menyetorkan KTP-nya. Tidak jelas kapan KTP itu dicatat oleh petugas KPPS. Tapi, yang terpenting pencoblosan bagi pengguna KTP baru dilakukan antara pukul 12.00 -13.00.
Lantas, di mana letak kecurangannya. Jadi, tidak semua yang “kelihatannya” curang itu bisa disebut sebagai kecurangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI