Wajar kalau KPU belum juga menerbitkan peraturan yang menindaklanjuti Keputusan MK tersebut karena kondisi lapangan di Indonesia yang berbeda-beda. Di Kota Cirebon, misalnya, di salah satu RW terdapat 10 RT. Pada Pemilu 2014, KPU mendirikan 4 buah TPS di RW tersebut. Jelas, KPU membagi TPS berdasarkan RW.
Menurut DPT pada TPS 22, misalnya, terdapat pemilih yang keseluruhannya berasal dari RT 01 dan separuhnya berasal warga RT 02. Sementara separuh dari pemilih di RT 02 terdaftar di TPS 23. (Sebelumnya, dalam artikel ini ditulis potensi mobilisasi massa dengan memanfaatkan celah pemilu lewat penggunaan KPT (Tiga Info Hoax dan Empat Celah Kecurangan Pemilu yang Harus Diwaspadai Ketiga Paslon Cagub DKI).
Di daerah, seorang yang tinggal di satu RT masih bisa mengenali tetangga-tetangganya yang tinggal di RT yang ada di sekitarnya. Tapi, bagaimana dengan DKI Jakarta yang jumlah penduduknya lebih banyak dan hubungan antar tetangga kurang rapat.
Kondisi di mana sesama tetangga kurang saling mengenal inilah yang menjadi celah untuk melakukan kecurangan pemilu lewat penggandaan KTP. Karena, menurut Keputusan MK, selama masih berada di RW yang sesuai dengan alamatnya, maka ia berhak menggunakan hak pilihnya.
Sebenarnya, masalah penggandaan e-KTP ini bisa diatasi oleh Kemendagri dengan mengirimkan sejumlah petugas Dukcapil-nya untuk berkoordinasi dengan petugas KPPS. Petugas Dukcapil inilah yang akan memeriksa keaslian KTP.
Masalahnya, ada Faktor X yang mewarnai pemeriksaan e-KTP yang dilakukan oleh Dukcapil ini. Dan, Faktor X tersebut adalah kecurigaan pada Mendagri yang bersikap tidak netral atau mendukung paslon tertentu. Inilah faktor yang berpotensi membuat Pilkada DKI menjadi rusuh. Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI