Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Inilah Kerancuan Keputusan MK yang Berpotensi Timbulkan Rusuh pada Pilgub DKI 2017

9 Februari 2017   20:45 Diperbarui: 9 Februari 2017   22:56 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kemungkinan terjadinya kerusuhan di sejumlah TPS pada Pilgub DKI 2017 sangat besar. Bahkan, potensi sudah diprediksikan sejak September 2017. Masalahnya, dari mana saja potensi kerusuhan di TPS itu timbul dan dapat merembet sehingga menggagalkan pemilu. Dan, pastinya belum ada seorang pun yang mengaitkan Keputusan MK dengan potensi rusuh pemilu.

Dari berbagai penelusuran, ternyata potensi rusuh itu bisa timbul dari Keputusan MK yang mengabulkan gugatan uji materil terhadap Pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan oleh dua warga DKI Jakarta, yakni Mohammad Umar Halimuddin dan Siti Hidayati. Keduanya menggugat tentang penggunaan KTP dalam Pilkada (Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Dalam putusannya, MK menyatakan setiap pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat mengguakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP. Namun demikian, MK menambahkan ada sejumlah syarat bagi pemilih yang menggunakan KTP. Syarat pertama, warga menunjukkan KTP dan KK yang masih berlaku atau nama sejenisnya. Kedua, penggunaan hak pilih tersebut hanya dapat dilakukan di TPS yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.

(Dalam pelaksanaannya, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT tidak diwajibkan menunjukan KK-nya, pemilih hanya diwajibkan menunjukkan KTP-nya).

Lantas, di mana potensi masalah yang bisa ditimbulkan oleh Keputusan MK tersebut? Masalahnya ada pada syarat kedua yaitu penggunaan hak pilih tersebut hanya dapat dilakukan di TPS yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.

Keputusan MK ini menjadi rancu, sebab dalam 1 RW yang terdiri dari 10 RT bisa terdapat 5 TPS. Maka, pada Hari-H Pemilu, seorang yang tinggal di satu RW dapat menggunakan hak pilihnya di TPS mana pun sepanjang masih berlokasi di RW yang alat yang tertera dalam KTP.

Seorang yang pada KTP-nya beralamat di RT 01/RW 02 dapat mencoblos surat suara di TPS 22 yang didirikan di RT 10/RW 02. Meskipun jarak antara RT 01 dengan TPS 22 berjauhan.

Caontohnya, Joko (sebut saja demikian) tinggal di RT 01/RW 02. Dalam DPT, identtas Joko tidak tercantum. Untuk dapat menggunakan hak suaranya, Joko harus menggunakan KTP pada pukul 12.00.13.00. Di dekat rumah Joko, yaitu di RT 01 terdapat TPS 15. Tetapi, karena Keputusan MK tersebut Joko dapat mencoblos di TPS 22 yang berada di RT 10 hanya karena masih berlokasi di RW yang sama, yaitu RW 02. Dan, tentu saja petugas KPPS di TPS 22 tidak bisa menolak KTP milik Joko.

Sederhananya, pemllih yang tidak masuk DPT dapat memilih di TPS mana pun sepanjang masih berada di RW yang sama sesuai dengan RW yang tertera pada KTP-nya.

Namun, di sinilah rancunya Keputusan MK tersebut. Seharusnya keputusan MK juga mengacu pada jarak antara alamat yang tertera pada KTP dengan lokasi TPS. Karena menurut aturan lokasi TPS harus berada dekat pemukuman penduduk.  

Sebenarnya, KPU sudah diminta untuk menerbitkan peraturan yang merujuk pada Keputusan MK tersebut. Peraturan ini sangat penting dalam pelaksanaan, karena salah satunya dapat mengantisipasi potensi adanya pemilih ganda. Sayangnya, (sependek pengetahuan penulis) sampai Pemilu 2014, KPU belum menerbit kan peraturan yang menindaklanjuti Keputusan MK tersebut.

Wajar kalau KPU belum juga menerbitkan peraturan yang menindaklanjuti Keputusan MK tersebut karena kondisi lapangan di Indonesia yang berbeda-beda. Di Kota Cirebon, misalnya, di salah satu RW terdapat 10 RT. Pada Pemilu 2014, KPU mendirikan 4 buah TPS di RW tersebut. Jelas, KPU membagi TPS berdasarkan RW.

Menurut DPT pada TPS 22, misalnya, terdapat pemilih yang keseluruhannya berasal dari RT 01 dan separuhnya berasal warga RT 02. Sementara separuh dari pemilih di RT 02 terdaftar di TPS 23. (Sebelumnya, dalam artikel ini ditulis potensi mobilisasi massa dengan memanfaatkan celah pemilu lewat penggunaan KPT (Tiga Info Hoax dan Empat Celah Kecurangan Pemilu yang Harus Diwaspadai Ketiga Paslon Cagub DKI).

Di daerah, seorang yang tinggal di satu RT masih bisa mengenali tetangga-tetangganya yang tinggal di RT yang ada di sekitarnya. Tapi, bagaimana dengan DKI Jakarta yang jumlah penduduknya lebih banyak dan hubungan antar tetangga kurang rapat.

Kondisi di mana sesama tetangga kurang saling mengenal inilah yang menjadi celah untuk melakukan kecurangan pemilu lewat penggandaan KTP. Karena, menurut Keputusan MK, selama masih berada di RW yang sesuai dengan alamatnya, maka ia berhak menggunakan hak pilihnya.

Sebenarnya, masalah penggandaan e-KTP ini bisa diatasi oleh Kemendagri dengan mengirimkan sejumlah petugas Dukcapil-nya untuk berkoordinasi dengan petugas KPPS. Petugas Dukcapil inilah yang akan memeriksa keaslian KTP.

Masalahnya, ada Faktor X yang mewarnai pemeriksaan e-KTP yang dilakukan oleh Dukcapil ini. Dan, Faktor X tersebut adalah kecurigaan pada Mendagri yang bersikap tidak netral atau mendukung paslon tertentu. Inilah faktor yang berpotensi membuat Pilkada DKI menjadi rusuh.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun