Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Pantas Mencela SBY yang Berdoa Kepada Tuhannya?

9 Februari 2017   10:05 Diperbarui: 9 Februari 2017   10:25 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siang itu, 6 Februari 2017, seratusan mahasiswa yang berkumpul di tengah berlangsungnya gelar Jambore Nasional dan Silahturami Mahasiswa di Cibubur, Bogor. Seratusan mahasiswa itu kemudian bermufakat untuk menyampaikan tuntutan ke (mantan) Presiden SBY.

Siang itu juga dengan menggunakan berbagai kendaraan, termasuk bus transjakarta, mereka mendatangi rumah (mantan) Presiden SBY. Di depan kediaman (mantan) Presiden SBY itu, keseratus mahasiswa menyampaikan serentetan tuntutannya. Serangkaian tuntutan itu mereka suarakan dengan keras lewat toa.

Karuan saja (Mantan) Presiden SBY yang juga purnawirawan jenderal empat ini pun terusik. Bagaimana tidak, rumah kediamannya digerudug dan dikepung seratusan orang. UU dilanggar para calon intelektual tersebut. Demikian juga dengan hak azasi manusia yang diinjak-injak.

Membaca jalannya penggerudugan rumah (mantan) Presiden SBY seolah mengembalikan ingatan publik pada film Pengkhianatan G30S/PKI. Dalam film arahan sutradara Arifin C. Noor itu dipertontonkan bagaimana PKI menggelar serangkaian rapat jelang 30 September.

Lantas, sebelum jam-teng, Kesatuan Cakrabirawa menggelar tugas dan membagi regu-regu penuemputan para Jenderal AD. Setelah rampung, dengan truk-truk militer, pasukan Cakrabirawa itu meluncur ke kediaman rumah para Jendral AD. Dan ketika dini hari tiba, terjadilah “penjemputan” paksa para Jenderal AD. Ada yang dibunuh di tempat. Ada  yang dibawa paksa ke Lubang Buaya.

(Mantan) Presiden SBY adalah pensiunan tentara bintang empat. Ada seratusan mahasiswa yang datang dari gelaran acara yang didukung oleh sejumlah komponen Istana yang semakin santer diisukan sebagai sarang komunis. Memang, ada banyak persamaan anatara peristiwa 6 Februari 1965 dengan 30 September 2017. Banyaknya persamaan itu sangat wajar, karena buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah bangkit, itu hoax. Komunis tidak akan bangkit lewat parpol. Apalagi sampai membentangkan bendera bergambar palu arit, memasang stiker “palu arit”, memakai kaos bersablon “palu arit”, dll.

Komunias tidak akan bengkit lewat parpol, karena untuk membuat parpol dibutuhkan banyak modal materi dan imateri. Dan untuk itu kaum pemeluk komunisme tidak memilikinya. Tetapi, penganut paham komunis akan menyusup ke segala arah, termasuk pemerintahan, bahkan sejak masa pemerintahan Soeharto.

Tidak ada yang salah jika ada warga negara Indonesia yang berpaham komunis. Menjadi salah kalau menyebarkannya, karena TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Dalam TAP MPRS itu disebut tentang pembubaran PKI dan melarang penyebaran ajaran-ajaran komunisme, leninnisme, marxisme Larangan terhadap. Ada juga UU No 27/1996 yang mengatur tindakan bagi pelaku penyebar ajaran-ajaran tersebut.

Memahami ajaran komunisme biasanya dimudahkan dengan cara menyebutnya sebagai ajaran anti-Tuhan. Jadi, ingat pada pidato Ketua Umum PDIP Megawati saat HUT ke 44 PDIP yang diucapkannya pada 10 Januari 2017 lalu.

Dalam pidatonya, Megawati mengatakan dengan tegas dan sejelas-jelasnya, “Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan diri mereka sebagai ‘self full filling prophesi’ para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan apa yang pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal notabane mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya.

Bagi bangsa Indonesia yang berazaskan kepada ketuhanan dan memegang teguh Sila Pertama Pancasila, isi dari pidato Megawati sangat menistakan semua ajaran agama yang berlaku di Indonesia. Sebab semua agama memercayai adanya kehidupan setelah dunia fana dan para penyampainya di bumi pertiwi ini, sejak masa nenek moyang, pendeta Bhuda, Walisanga, Khonghucu, Pendeta, dan Pastur pasti belum pernah mengalami kematian. Tetapi, bagi Megawati kesemua penyebar agama itu tidak ubahnya bagaikan peramal.

Kemudian pada saat  merayakan HUT ke 77-nya, Megawati menggelar pertunjukan teater yag ditokohi oleh Butet Kertaradjasa. Di hari yang berbahagia bagi Megawati itu Butet menyindir (Mantan) Presiden SBY. Butet menyindir (mantan) Presiden SBY sebagai sosok yang cengeng.

Bukan hanya itu, Butet pun mencela SBY yang memanjatkan doa kepada Tuhannya. Celaan Butet tersebut langsung disambut gelak tawa terbahak oleh para hadirin, termasuk Megawati dan Jokowi.

Dari pencelaan Butet terhadap doa yang dipanjatkan oleh SBY yang kemudian disambut dengan tawa bahagia Megawati dan Jokowi, maka sangatlah wajar bila para pendukung Jokowi ramai-ramai mencela doa yang dipanjatkan SBY lewat akun Twitter-nya.

Apa salahnya kalau SBY berdoa kepada Tuhan yang diyakini keberdadaannya? Dan kalau pun para pendukung Jokowi tidak mempercayai keberadaan Tuhan, apakah pantas mencela SBY yang sedang memanjatkan doanya?

Entah sejak kapan bangsa Indonesia mencela orang lain yang memanjatkan doanya. Yang pasti kejadian ini terjadi di masa era kekuasaan Jokowi. Kalau para pendukung Jokowi mencela doa yang dipanjatkan SBY. Pertanyaannya, bagaimana keharmonisan berbangsa dapat ditegakkan?

Di Makam Sunan Gunung Jati Cirebon, misalnya, dalam satu tempat mereka berdoa dan berbaur. Mereka berdoa dengan aneka ragam ritualnya. Ada yang memegang buku Yasin, Ada yang menggenggam hio, ada yang memutar tasbih. Di situ tidak ditemukan satu orang pun yang melecehkan cara berdoa penziarah makam lainnya yang berbeda keyakinan. Sungguh harmonis para penziarah itu dalam menyatukan bangsa ini dalam keharmonisan antar umat beragama.

Bandingkan kebiasaan para penziarah makam Sunan Gunung Jati di Cirebon dengan kelakuan para pendukung Jokowi yang mayoritas pro Ahok  yang melecehkan orang yang sedang berdoa kepada Tuhannya ini. Sungguh kontras!

Maka tidak usah heran kalau para pendukung Jokowi ini menistakan agama, melecehkan para ulama. Merendahkan setiap pemeluk agama, mencaci maki, Menghina dina dengan sebegitu nistanya kepada semua yang berbau agama.

Dan kesemuanya itu adalah fakta yang sulit dibantahkah. Dan, sebagai bangsa Indonesia yang ber-Pancasila, apakah kita mau Sila Pertama dan lainnya hanya berfungsi sebagai tempelan semata?

Dan tidak heran juga kalau ada pendukung Jokowi/Ahok yang merendahkan pahlawan pejuang RI dengan sebegitu hinanya. Mungkin bagi para pendukung Jokowi/Ahok itu proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dibatalkan karena terdapat kalimat “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.

Tapi, hadapilah para pendukung Jokowi/Shok yang anti segala macam yang berbau ke-NKRI-an ini dengan sabar. Toh, 2019 tinggal dua tahun lagi. Dan selama selama masa pemerintahan Jokowi sudah banyak terkumpul materi anti-kampanye yang sudah disiapkan kalau Jokowi kembali dicapreskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun