Banyak pendukung Jokowi yang juga sekaligus pendukung Ahok menganggap mantan Presiden Suslilo Bambang Yudhoyono seperti gedebog pisang yang tidak punya otak dan hati. SBY diposisikan sebagai seorang yang polos, tidak punya rencana A, B, dan C. Sederhananya, SBY dipandang sebagai orang yang tidak memiliki strategi matang dalam bertindak. Lebih parah lagi, SBY dianggap sebagai orang yang hanya digerakkan oleh hati, bukan dengan otak. Sebaliknya, Jokowi diposisikan sebagai seorang yang cerdas yang telah memperhitungkan secara masak setiap tindakannya.
Dalam soal isu penyadapan, misalnya, pendukung Jokowi dan juga sekaligus fanatikus Ahok mengatakan kalau penyadapan itu tidak ada. Penyadapan hanyalah strategi untuk membongkar politisasi fakwa MUI. Faktanya, sampai sekarang penasehat hukum Ahok, Humphrey Djemat tidak membenarkan tetapi juga tidak menyangkal adanya penyadapan telepon antara SBY dengan Ma’ruf Amien pada tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10.16
WIB. Apapun itu, faktanya saat ini sejumlah fraksi di DPR sedang menggalang pembentukan pansus penyadapan.
Kalau penyadapan atau setidaknya transkirp penyadapan itu ada dan diberikan kepada pihak Ahok, siapa pemberinya? Bisa saja Jokowi yang
membocorkan penyadapan yang dilakukan oleh institusi negara kepada pihak Ahok. Bisa juga institusi negara itu yang secara langung, baik suka rela ataupun karena transaksi jual beli, memberikan hasil sadapan kepada pihak Ahok. Tetapi, bagaimana kalau pihak SBY sendiri yang memberikan sadapan teleponnya kepada pihak Ahok.
Kemungkinan sadapan telepon diberikan oleh pihak SBY kepada pihak Ahok inilah yang tidak dipikirkan oleh pendukung Jokowi/Ahok. Padahal
kemunkinan tersebut tetap ada dan besar peluangnya. Bukankah dengan disampaikannya kesaksian adanya percakapan per telepon SBY-MA oleh
Humphrey mengakibatkan posisi Ahok dan Jokowi menjadi semakin terpojok.
Pernahkan pendukung Jokowi/Ahok memikirkan kemungkinan seperti di atas. Mungkin belum pernah. Bahkan tidak pernah terlintas sama sekali
dalam pikiran mereka. Sebab, bagi pendukung Jokowi/Ahok, SBY hanyalah gedebog pisang yang tidak berotak dan berhati.
Contoh lain, soal spanduk pencapresan Jokowi untuk Pilpres 2019-2024 yang dipasang oleh Golkar. Pemasangan spanduk itu dilakukan oleh
Golkar yang konon diperintahkan oleh ketua umumnya, Setya Novanto. Setnov memerintahkan pemasangan spanduk itu selepasnya dari kasus
rekaman “Papa Minta Saham” dan berhasil menduduki kursi Ketua Umum Golkar. Setelah menjadi Ketum Golkar, Setnov nampak mesra dengan
Jokowi. Jokowi terlihat tidak hanya melupakan “ora sudi” yang pernah diucapkannya saat menanggapi pencatutan namanya oleh Setnov dalam
rekaman “Papa Minta Saham” tetapi juga dekat secara politis dengan Golkar.
Pemasangan spanduk pencapresan Jokowi oleh Golkar pun disambut riang gembira oleh para pendukung Jokowi di mana pun mereka berada. Para
pendukung Jokowi mengangap pemasangan spanduk itu sebagai ketundukkan Golkar di bawah Setnov pada Jokowi.
Para pendukung Jokowi lupa kalau pemasangan spanduk itu dilakukan pada Setember 2016 atau kurang dari dua tahun setelah Jokowi dilantik
sebagai Presiden RI. Jadi, masih ada tiga tahun lagi bagi Jokowi untuk menunaikan tugasnya sebagai Presiden RI 2014-2019.
Dari sisi waktu jelas terlalu dini bagi Jokowi untuk kembali mencapreskan diri. Apalagi, sebelumnya baik Megawati atau pun SBY baru mengampanyekan pencapresannya jelag masa pemilihan presiden. Jadi, pemasangan spanduk pencapresan Jokowi oleh Golkar bisa dikatakan
menjadi yang tercepat dalam sejarah nasional.
Pesan apa yang ingin disampaikan Golkar tentang Jokowi kepada masyarakat? Apakah Golkar menyampaikan pesan kalau Jokowi adalah
Presiden Indonesia yang berhasil menuntaskan tugasnya? Pertanyaannya, bagaimana bisa mengukur keberhasilkan Jokowi yang baru memimpin selama dua tahun dari lima tahun masatugasnya? Pernahkah terlintas dalam pikiran pendukung Jokowi kalau pemasangan spanduk itu tidak lain dari
cara Golkar memberikan pesan kepada masyarakat bahwa Jokowi adalah seorang yang ambisius mengejar jabatannya?
Demikian juga dengan tekanan-tekanan yang diberikan kepada FPI dan kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Apakah tekanan-tekanan itu
dilakukan oleh Jokowi yang menurut pendukungnya tengah melawan ormas radikal? Ataukah untuk memanasi suhu politik dengan tujuan mengacaukan jalannya pemerintahan Jokowi?
Pernahkah terpikirkan oleh para pendukung Jokowi tentang arah “membalnya" bola jika FPI dan ormas Islam lainnya terus ditekan? Arahnya tidak lain dan tidak bukan selain mencelat ke warga keturunan Tionghoa. Arah mencelatnya bola ini sudah bisa terbaca dari provokasi-provokasi yang menyebar di dunia nyata dan dunia maya. Apakah ini yang dikehendaki oleh Jokowi? Atau oleh lawan politik Jokowi?
Menariknya, tekanan-tekanan kepada FPI CS itu dilakukan secara vulgar hingga mudah diserap oleh orang awam sekalipun. Contohnya adalah
bentrok terbuka antara massa FPI dengan massa GMBI di depan Kapolda Jabar. Apa kepentingan massa GMBI berada di Mapolda Jabar untuk
berhadapan dengan massa FPI? Tidak ada kepentingan sama sekali. Tetapi, kok bisa massa GMBI yang datang dari berbagai daerah di Jabar
berada di Mapolda? Dan parahnya lagi, Kapolda Jabar Irjen. Anton Charliyan diketahui sebagai Dewan Pembina GMBI.
Demikian juga dengan kedatangan TKA ilegal asal China. TKA ilegal asal China sudah ada sejak masa pemerintahan sebelumnya, tetapi baru pada
masa pemerintahan Jokowi persoalan ini membesar, kalau tidak mau dikatakan dibesarkan. TKA ilegal asal China ditangkap di berbagai kota. Kalau dihitung jumlahnya sudah belasa ribu TKA ilegal China yang ditangkap. Diberitakan juga ada TKA ilegal asal China yang menjadi
petani di Bogor. Menariknya, TKA ilegal asal Chna itu memiliki SIM dan NPWP.
Tapi, dari serentetan peristiwa, ada satu pertanyaan, siapa agen penyalur TKA ilegal asal China tersebut. Kok bisa, orang China datang ke Indonesia langsung ditempatkan di sejumlah perusahaan Logikanya, pasti ada agen penyalurnya. Pertanyaannya, kenapa agen penyalur ini tidak pernah diusik? Apakah terkait dengan pemasukan uang yang berjumlah besar?
Dalam kasus e-KTP ganda atau palsu, kenapa sikap Bawaslu DKI sejalan dengan Djarot, sebaliknya bertentangan dengan lawan Djarot? Bukankah
laporan adanya e-KTP ganda itu ditanyakan oleh kubu Agus dan Anies? Kenapa pula Bawaslu DKI mengancam akan memidanakan setiap pelapor
adanya e-KTP palsu atau ganda ini karena dianggap menyebarkan berita hoax?
Dan, masih banyak kejanggalan lainnya yang terlalu vulgar dipertontonkan kepada masyarakat. Salah satunya perlakuan KPK terhadap Ahok. Baru dalam kasus dugaan korupsi RS Sumber Waras, KPK memasukkan unsur adanya niat jahat. KPK lupa korupsi adalah kejahatan kerah putih yang banyak dilakukan oleh orang cerdas. Para koruptor yang cerdas itu pastinya berpikir bagaimana menutupi ulah korupnya. Kalau unsur niat jahat itu diberlakukan, maka KPK hanya bertindak setelah ada laporan hasil penyadapan. Bukankah ini yang terjadi dalam penuntasan korupsi sekarang ini?
Kemudian dalam kasus reklamasi, pada 5 April 2016 KPK mengatakan dengan tegas ada nama tersangka baru yang akan diumumkan. Ketegasan
KPK ini kembali diulang pada 25 April 2016. Nyatanya, sampai 6 Februari 2017 belum satu pun nama tersangka baru yang diumumkan. Belum lagi kasus diskresi, kasus jual beli lahan Cengkareng dan Kedutaan Besar Inggris. Jadi jangan harap KPK di bawah pimpinan Agus Rahardjo ini akan menindaklanjuti kasus-kasus korupsi yang terkait Ahok? Pertanyaannya ada apa di balik enggannya KPK mengusut tuntas kasus-kasus yang membelit Ahok tersebut?
Kemudian yang paling menarik adalah pemeriksaan Sylviana Murni oleh Polri. Sampai sekarang tidak jelas siapa yang melaporkan Sylvi dan kapan kasus ini dilaporkan kepada Polri. Tetapi secara vulgar Polri begitu cekatan memeriksa Sylvi yang juga rival Ahok pada Pilgub DKI 2017. Sebaliknya, dugaan korupsi Bansos senilai 10 triliun yang dilakukan Ahok yang dilaporkan oleh Budgeting Metropolitan Watch sejak 8 Desember 2016 masih didiamkan. Polri seolah tidak menggubris adanya laporan yang menyebut nama Ahok, padahal pelapornya jelas tanggal pelaporannya juga jelas. Perbedaan perlakuan yang sangat vulgar antara Sylvi dengan Ahok ini menimbulkan pertanyaan, ada apa di balik semua ini?
“Ada apa di balik semua ini?” pastinya akan memunculkan banyak jawaban. Apakah Ahok memang dilindungi oleh institusi penegak hukum? Ataukah dijadikan umpan untuk menggembosi Jokowi? Dengan adanya kesan kalau Ahok dilindungi, maka akan memunculkan persepsi adanya ketidakadilan pada masa pemerintahan Jokowi. Dan, di mana-mana, di belahan dunia mana pun, ketidakadilan akan ditebus dengan revolusi atau people power.
Sebagaimana kepada SBY, para pendukung Jokowi selalu memandang para anti-Jokowi sebagai kelompok orang yang tidak punya otak dan berhati.
Saat peristiwa Aksi 212 pada 2 Desember 2016, para pendukung Jokowi menuliskan sebuah skenario kalau pengunjuk rasa akan terdiam jongkok
di tempat begitu militer menodongkan senjatanya. Kalau ada yang bangkit melawan, peluru pun akan menyalak.
Skenario di atas sangat diyakini oleh para pendukung Jokowi/Ahok. Padahal dalam kenyataannya, peope power sangat berbeda dari pemberontakan militer. Pemberontakan militer bisa ditumpas oleh militer pro pemerintah, sedangkan people power tidak. Dalam menghadapi people power, penguasa lebih memilih untuk mundur.
Lihat saja bagaimana Soeharto di Indonesia yang memilih lengser, Ben Ali di Tunisia, Muhammad Mubarak di Mesir, Thaksin Shinawatra di Thailan, dll yang lebih mundur dari kursi kekuasaannya ketimbang menghadapi gelombang people power. Lantas dari mana dasar para pendukung Jokowi/Ahok percaya kalau Jokowi akan membantai people power dengan senjata yang dibeli dari pajak rakyatnya sendiri.
Lantas bagaimana dengan slogan Dwitunggal Jokowi-Ahok yang digaung-gaungkan oleh pendukung Jokowi/Ahok? Bagaimana Jokowi didwitunggalkan dengan Ahok yang kontroversial sehingga menimbulkan banyak serangan dan serangan pada Ahok sama artinya dengan serangan
kepada Jokowi. Dalam kasus penistaan agama ini, jelas Ahok adalah pelakunya, tetapi serangan-serangan juga diarahkan kepada Jokowi. Siapa yang membangun slogan Dwitunggal Jokowi-Ahok ini? Jawabanya pendukung keduanya. Tetapi siapa yang menciptakannya, pendukung atau lawan politik Jokowi?
Demikian juga dengan situs-situs yang dikenal pro Jokowi/Ahok. Tulisan-tulisan dalam situs tersebut begitu memuja keduanya. Sebaliknya, dengan kasar para penulis menghujat menghina dinakan dengan sebegitu nistanya setiap yang dianggap lawan Jokowi/Ahok. Siapa di balik situs-situs penyebar hoax bermuatan kebencian terhadap suatu kelompok tersebut? Siapa di balik penyandang dananya, pendukung Jokowi/Ahok atau pendukung lawan politik dari keduanya?
Itulah sedikit pertanyaan bagi para pendukung Jokowi/Ahok sebelum memuja junjungannya dan menghujat dengan begitu menghinainstakannya
semua pihak yang berseberangan dengan Jokowi/Ahok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI