Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Medsos, Apakah Polri Berani Menindak Para Pendukung Jokowi?

3 Januari 2017   09:51 Diperbarui: 5 Februari 2017   20:40 2242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis pekan lalu, 29 Desember 2016, Jokowi menggelar rapat terbatas terkait media sosial. Dalam rapat itu, Jokowi memerintahkan aparat penegak hukum untuk menindak tegas dan keras pengguna medsos yang melontarkan ujaran kebencian dan fitnah.

Pertanyaannya, kenapa harus menggelar rapat lagi? Apa ada yang salah sampai masalah ini dirapatkan lagi? Dan pertanyaan terpentingnya, berapa kali rapat lagi yang akan digelar untuk membahas masalah ini?

Hukum sudah ada. Polisi tinggal pakai KUHP, UU ITE, UU Pornografi, dan atau lainnya. Bahkan, pada Oktober 2015 Kapolri Jenderal Badrodin Haiti sudah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri soal ujaran kebencian atau hate speech. Salah satu yang diatur dalam SE tersebut adalah prosedur polisi agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan konflik sosial yang meluas. Jadi, apa yang kurang dari penegakan hukum terhadap pelaku hate speech di dunia maya ini?

Dari sisi masyarakat, laporan atas ujaran kebencian sudah sering dilayangkan, baik melaporkannya secara fisik maupun lewat internet. Bisa dibilang masyarakat sudah aktif melaporkan setiap konten yang dinilai mengandung ujaran kebencian. Bisa jadi, sekarang ini laporan masyarakat tersebut sudah menyesaki folder milik Polri. Masalahnya, bagaimana tidak lanjut dari kepolisian sendiri?

Dalam kasus “Pahlawan Kafir” yang dilontarkan Dwi Estiningsih lewat akun Twitter-nya, misalnya, polisi terkesan pasif. Polisi menunggu laporan masyarakat, baru kemudian menindaklanjutinya. Padahal, polisi harusnya menangani kasus ini tanpa ada laporan masyarakat. Bagaimana pun dalam cuitan Dwi yang dikenal sebagai kader PKS itu mengandung beberapa unsur yang disebutkan dalam KUHP, UU ITE, dan SE Hate Speech.

Luar biasa negeri yang mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari sebelas adalah pahlawan kafir,” cuit Dwi mengomentari pilihan pahlawan dalam uang kertas baru. Okelah, kata kafir dalam cuitan itu bisa diterima mengingat kata tersebut terdapat dalam kitab suci yang dianut oleh Dwi.

Tapi, bagaimana dengan cuitan ini, “Iya sebagian kecil dari non muslim berjuang, mayoritas pengkhianat, Untungnya sy belajar #sejarah”. Apakah ada catatan sejarah seperti yang cecuitkan Dwi? Kalau tidak ada, artinya cecuit kader PKS itu bukan saja mengadung unsur hoax, tetapi juga mengandung ujaran kebencian yang berpotensi memecah persatuan bangsa.

Menariknya, dalam soal gambar pahlawan yang terdapat pada uang baru ada dua pahlawan yang dipermasalahkan, Cut Meutia yang berasal dari Aceh dan Frans Kaisiepo yang berasal dari Papua. Apakah dua pahlawan tersebut dipermasalahkan hanya karena kebetulan atau ada unsur kesengajaan?

Okelah, laporan yang masuk ke laci polisi soal kasus “medsos” ini kelewat banyak. Karena itu sangat wajar kalau polisi pilih-pilih kasus. Polisi harus bisa memprioritaskan laporan-laporan yang berdampak terhadap kerusakan sosial. Untuk itu polisi jangan hanya menunggu laporan masyarakat. Karena laporan masyarakat yang terkait isu SARA justru berpotensi memicu perpecahan anak bangsa. Di sini negara harus hadir tanpa harus dipanggil.

Lebih dari sebulan yang lalu akun @tbayupatti mengatai Kyai Ma’ruf Amin melakukan kawin ala binatang. Ujaran penuh kebencian ini menyebar luas di ranah medsos. Karuan saja ujaran pendukung Ahok ini membuat gerah netizen yang memiliki hubungan emosional dengan Kyai Ma’ruf.

Cuitan pendukung Ahok yang dianggap menghinadinakan ulama ini pun kemudian dilaporkan lewat akun-akun medsos yang dikelola Polri. Tetapi, sampai sekarang belum ada tindakan hukum terhadap pemilik akun @tbayupatti ini.

Masalahnya, bukan pada didiamkannya laporan masyarakat atas cuitan akun @tbayupatti, tetapi munculnya persepsi ketidakadilan dalam masyarakat. Maka tidak heran, ketika Jokowi memerintahkan Polri untuk menindak tegas pelaku kejahatan medsos, banyak netizen yang meragukan efektifitas perintah tersebut. Hal ini karena netizen beranggapan Polri tidak mungkin sanggup menindak tegas ulah kriminal medsos yang dilakukan oleh para pendukung Jokowi.

Jokowi mengatakan 132 juta atau sekitar 52 % penduduk Indonesia termasuk kategori pengguna internet aktif. Dan 129 juta di antaranya memiliki akun medsos aktif. Maka tidak heran kalau penyalahgunaan internet sangat berpotensi mengancam persatuan bangsa. Tidak heran juga kalau Jokowi memerintahkan Polri untuk menindak tegas pelaku kejahatan medsos.

Masalahnya, dalam sejumlah isu-isu penting, aparat hukum justru terkesan melakukan pembiaran. Contohnya, kasus larangan jilbab oleh BUMN yang dicuitkan oleh Dwi, pelintiran jumlah TKA asal Tiongkok, cuplikan Jokowi Undercover” yang selama setahun berkeliaran di Facebook., dll. Belum lagi kasus beras plastik yang sempat ditangani Polri, tapi sudah tidak jelas lagi kelanjutannya.

Isi cuitan Dwi harus dituntaskan. Tetapi, laporan atas akun @tbayupatti pun harus ditindaklanjuti. Bukankah dua ujaran yang dicuitkan oleh pemilik akun tersebut sama-sama berpotensi memecah belah bangsa. Kalau Polri hanya menuntaskan kasus Dwi, tanpa menindaklanjuti laporan atas @tbayupatti, maka persepsi masyarakat kalau hukum di era Jokowi sangat tebang pilih akan semakin menguat.

Lepas dari itu, ada satu pertanyaan yang menggelitik. Kenapa Polri terkesan kurang sigap dalam menangani ujaran-ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik sosial? Bukankah banyak dari pengujar kebencian itu beridentitas jelas atau mudah ditelusuri. Apalagi salah satu netizen yang dikenal kerap melontarkan fitnah pernah diundang oleh Kapolri pada akhir November 2016 lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun