Keberisikan yang terjadi selama hampir dua bulan ini disebabkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Bukan konflik antara agama atau etnis seperti yang coba dikembangkan oleh segelintir orang.
Lihat saja, sejak isu penistaan agama ini meluas, kecaman bukan saja dilontarkan oleh muslim, tetapi juga oleh penganut agama-agama lainnya. Pengecamnya pun datang dari berbagai etnis, termasuk Tionghoa. Kecaman itu bukan baru dilontarkan setelah Ahok ditetapkan sebagai tersangka, tetapi sebelum MUI mengeluarkan pernyataan sikapnya.
Hanya saja saat peristiwa itu terjadi Ahok sudah resmi dicalon-DKI 1-kan oleh 4 parpol; Nasdem, Hanura, Golkar, PDIP. Ditambah lagi dengan sokongan 1 parpol anyar, yaitu PSI. Dan lagi, masa sosialisasi pencalonan Ahok sudah berlangsung sejak pertengahan 2015. Dari situ terbentuklah satu kekuatan politik dan kelompok masa yang berada di belakang Ahok. Pendukung Ahok pun berasal dari berbagai etnis dan latar belakang agama.
Jadi jelas kalau situasi ini hanyalah kasus kriminal biasa yang dilumuri oleh kepentingan politik. Situasi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebhinekatunggalikaan dan tidak ada kaitannya dengan ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Seharusnya, Presiden Jokowi mampu melokalisasi situasi ini hanya pada lingkaran persoalan hukum, bukan malah menggesernya dengan seolah mengesankan adanya ancaman terhadap kebhinekatunggalikaan.
Menariknya, upaya penggeseran isu yang dilakukan oleh Jokowi tersebut kemudian menjadi modal besar bagi pemilik kepentingan di belakang Ahok untuk membenturkan pendukung Aksi 411 dengan pemerintah, TNI, Polri, dan NKRI. Akibatnya, mau tidak mau Jokowi kembali terseret ke persoalan yang semakin membesar ini.
Pemerintah sudah salah memperkirakan dan memahami Aksi 411. Hal ini bisa dilihat dari reaksi Jokowi dan sejumlah petinggi negara, termasuk Panglim TNI dan Kapolri yang wara-wiri sowan ke sejumlah ulama. Ditambah lagi dengan dikunjunginya kantor PBNU dan Muhammadiyah pasca-Aksi 411.
Bisa dibilang, kunjungan Jokowi tersebut sangat tidak lazim mengingat kurang dari seminggu sebelumnya Jokowi sudah mengundang kedua ormas Islam ini ke Istana. Selain itu, saat mengunjungi kantor PBNU, Jokowi mendapat kritik, saran, dan masukan. Artinya, respon Jokowi yang tidak jadi menemui pengunjuk rasa Aksi 411 dinilai salah besar.
Seharusnya Jokowi bercermin dari blunder besarnya saat merespon Aksi 411. Jokowi harus membuka pikiran lebar-lebar dan mendengarkan berbagai masukan dari berbagai pihak. Bukannya malah semakin terseret dalam skenario yang dibangun oleh kepentingan di belakang Ahok.
Kemarin Jokowi dikunjungi oleh Megawati. Megawati menyarankan kepada Jokowi untuk bertemu dengan pimpinan parpol. Dalam situasi yang semakin genting, dialog merupakan kunci untuk keluar dari situasi. Tetapi, yang paling penting adalah membuka dialog dengan pihak yang berseberangan. Itu yang dilakukan Soeharto jelang hari lengsernya.
Beberapa hari sebelum lengser, Soeharto justru mengundang tokoh-tokoh yang menyarankannya untuk mundur. Dari tokoh-tokoh yang bukan kelompok “yes man” itu Soeharto mendapat gambaran situasi yang lebih luas dari yang didapatkan sebelumnya. Soeharto yang awalnya gamang akhirnya memantapkan dirinya untuk mengundurkan diri. Dan, saat temu pewarta, Soeharto mengucapkan kalimat “Ora dadi presiden, ora patheken” setelah dibisiki oleh Cak Nun.
Dalam situasi ini, Megawati bukahlah sosok yang pas untuk memberikan masukan. Bagaimana pun Mega adalah pimpinan parpol yang mendukung pencalonan Ahok. Tidak heran kalau Megawati melontarkan pernyataan yang justru semakin memanasi situasi. Kata Mega, banyak dari pendemo 411 yang tidak tahu persoalan dan hanya ikut-ikutan. Mungkin Mega tidak pernah nongkrong-nongkrong dengan rakyat di teras warung. Karenanya Mega tidak tahu kalau di warung pun ibu-ibu ngerumpi isu penistaan agama ini.
Mega tidak ada bedanya dengan Ahok yang mengaku mengetahui dari media kalau pendemo 411 mendapat bayaran Rp 500 ribu (Padahal tidak ada satu pun media arus utama dan abal-abal yang memberitakan adanya pendemo bayaran, entah kalau media sosial atau koran kuning). Tudingan kalau pendemo dibayar Rp 500 ribu sangat tidak mendasar. Jumlah pendemo justru membengkak pasca Kapolda Metro Jaya mengatakan akan menembak peserta demo yang anarkis. Kalau mereka hanyalah pendemo bayaran, pastinya uang Rp 500 ribu terlaku kecil dengan resiko yang akan dihadapinya.
Masukan yang diterima Jokowi untuk merespon Aksi 411 sudah terbukti salah dan menghasilkan blunder teramat sangat fatal. Ini membuktkan kalau pembisik di sekitar Jokowi tidak memahami situasi dengan benar. Maka, tidak ada salahnya kalau Jokowi mengikuti langkah Soeharto dengan menemui atau mengundang pihak-pihak yang berseberangan.
Aksi 411 bukan saja dihadiri oleh umat Islam, tetapi juga oleh pemeluk agama lainnya. Aksi ini juga dibanjiri oleh peserta yang datang dari berbagai daerah. Bukan hanya itu, aksi-aksi serupa juga digelar di sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Maluku. Emosi Aksi 411 itu telah menjalar ke berbagai daerah.
Demikian juga dengan kemarahan perserta aksi yang kedatangannya tidak dihiraukan oleh Jokowi juga merembet ke segala penjuru tanah air. Suasana batin ini juga yang seharusnya dipahami oleh Jokowi. Artinya, kalau Jokowi dibenturkan atau membenturkan dirinya dengan Aksi 411, sama saja dengan berhadapan dengan mayoritas rakyat Indonesia.
Belakangan muncul rencana Aksi 212 sebagai lanjutan dari Aksi 411. Tidak sedikit yang menganggap aksi lanjutan ini akan mengarah ke makar. Tidak sedikit juga yang memandang aksi ini sebagai bentuk radikalisme. Lantas pemerintah pun disarankan untuk membendungnya. Bukan hanya itu, aparat keamanan pun disarankan untuk menghadapi aksi tersebut dengan menggelar operasi intelijen, kontra intelijen, dan kontra-terorisme. Ada juga seruan untuk membubarkan FPI dan ormas-ormas Islam lainnya yang dianggap radikal.
Paham radikal memang harus dihadapi. Bukan hanya oleh pemerintah dan aparat keamanan, tetapi juga oleh bangsa Indonesia. Tetapi, saat ini ormas-ormas yang dianggap radikal tersebut sedang berada di atas angin. Selain itu, sejak kasus dugaan penistaan agama ini bergulir, mereka sudah membaur dengan berbagai elemen masyarakat lainnya. Karenanya, kalau pemerintah berencana menghabisi ormas-ormas tersebut, maka perlawanan keras pun akan dilancarkan.
Kalau jadi, Aksi 212 akan berlangsung lebih damai dari Aksi 411. Sebab rencananya peserta aksi akan menggelar shalat Jumat dan peringatan maulid Nabi pada 2 Desember 2016. Karena direncanakan damai, tidak ada salahnya kalau Jokowi menunggangi aksi itu dengan turut shalat berjamaah bersama peserta aksi.
Jokowi tidak perlu khawatir akan ditembak sebagaimana yang terjadi pada Soekarno atau akan ada pelaku teror yang menyusup seperti yang terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon. Paspampres pastinya mampu mengantisipasi segala macam ancaman dan pastinya. Demikian juga dengan korlap Aksi 212. Baik Paspampres dan Korlap pastinya sudah berkoordinasi untuk menciptakan suasana damai. Di tambah lagi dengan regu pengawal Panglima TNI dan Kapolri.
Suro diro jayaningrat lembur dening pangastuti. Itulah falsafah Jawa yang ditulis Jokowi dalam akun Facebooknya sekitar dua tahun yang lalu. Aksi 212 adalah kesempatan Jokowi untuk melunatkan situasi yang kian menegang ini. Jokowi pun bisa memanfaatkan kesempatan sholat berjamaah dan Maulid Nabi untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Apalagi, menurut Johan Budi, saat 4 November 2016 lalu Jokowi sudah berencana akan sholat Jumat bersama pendemo.
Aksi 212 merupakan kesempatan bagi Jokowi untuk menunaikan rencananya. Panglima TNI, Kapolri, semua pejabat negara, dan pendemo pastinya akan shalat berjamaah, termasuk puluhan ribu pasukan pengamanan.
Sebagaimana Aksi 411 yang dihadiri oleh berbagai pemeluk agama dan sejumlah peserta yang berdatangan dari berbagai daerah, Aksi 212 pun kurang lebih demikian. Maka, inilah kesempatan bagi Jokowi untuk memperbaiki hubungan yang sudah hancur berkeping-keping ini.
Suro diro jayaningrat lembur dening pangastuti merupakan jalan yang paling sederhana dalam menghadapi situasi yang tidak menentu ini. Negera tidak perlu melancarkan operasi kontra terorisme. Negara pun tidak perlu mengerahkan personel anti-teror. Pemerintah tidak perlu melarang, apalagi melawan Aksi 212, tetapi justru harus membaur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H