Dalam tiga minggu belakangan ini persepsi tentang SBY sebagai penunggang kuda Aksi 411 yang digelar pada 4 November 2016 dan Aksi 212 yang bakal dilangsungkan pada 2 Desember 2016. Persepsi ini semakin menguat dengan disebarkannya berbagai macam “bukti” yang diopinikan sebagai petunjuk keterlibatan Cikeas.
Kalau hanya bermain dalam tataran opini, semua orang bisa beropini. Dan lewat opininya, setiap orang dapat membangun persepsi. Dan, dalam medan tempur ini, Cikeas dengan mudah merontokkan serangan-serangan yang disasarkan kepadanya, sekaligus menyerang balik.
Tuduhan kepada SBY sebagai dalang dari Aksi 411 mengemuka justru setelah SBY menanggapi rumor tentang laporan intelijen tentang keterlibatan dirinya dalam aksi tersebut. Tanggapan SBY yang dikemukakan sehari setelah pertemuan Jokowi-Prabowo di Hambalang pada 31 Oktober 2016 itu dipersepsikan sebagai bentuk dukungan kepada aksi 411, sekaligus desakan kepada kepolisian untuk segera memproses Ahok.
Kalau dicermati, tidak ada yang salah dengan pernyataan SBY tersebut. SBY benar, hukum harus ditegakkan atas tindakan Ahok yang dianggap menistakan agama. SBY pun benar kalau negara tidak menindak Ahok, sampai lebaran kuda pun aksi unjuk rasa tidak akan berhenti. Bagaimana pun sebagai mantan Kasolpol ABRI di era Orde baru, SBY pastinya memahami benar karakter bangsa ini.
Panasnya situasi politik saat ini dipicu oleh insiden pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 Oktober 2016. Keesokan harinya, pidato Ahok yang diberitakan oleh Arah.com tersebut sudah menjadi perbincangan hangat netizen. Situasi memanas setelah video pidato Ahok yang diunggah oleh Pemprov DKI menyebar lewat jejaring sosial. Barulah pada 5 atau 6 Oktober 2016 postingan Buni Yani masuk ke dalam kancah sosial media.
Beberapa hari kemudian sejumlah elemen masyarakat melaporkan ucapan Ahok yang dianggap menistakan agama tersebut kepada polisi. Sayangnya, polisi menolak laporan tersebut dengan dalih tidak disertai keputusan resmi dari MUI.
Ketegangan yang sempat mengendur setelah MUI mengeluarkan keputusannya itu hanya bertahan beberapa jam. Pada hari yang sama dengan dikeluarkannya keputusan MUI, TV One menayangkan ILC yang menghadirkan Nusron Wahid. Dalam program yang ditayangkan secara langsung tersebut, Nusron dianggap secara membabi buta menyerang ulama. Pernyataan Nusron ini seolah komando bagi pendukung Ahok atau Ahoker untuk menyerang MUI dan ulama.
Di sisi lain, kepolisian dianggap lamban dalam menangani kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang saat itu sudah diajukan sebagai calon Gubernur DKI oleh PDIP, Nasdem, Hanura, dan Golkar. Kepolisian berdalih tindakan hukum terhadap calon kepala daerah baru bisa diproses setelah masa pilkada selesai.
Tetapi, publik berpikir lain. Publik menduga kelambanan kepolisian tersebut dikarenakan adanya usaha untuk melindungi, bahkan membebaskan Ahok dari jerat hukum. Masyarakat pun kemudian membandingkan sikap KPK dalam menuntaskan kasus Sumber Waras dan Reklamasi.
Dalam kasus Sumber Waras, KPK mendadak menjadi tukang sulap yang menghadirkan “niat jahat” sebagai penentu kasus korupsi. Dengan adanya unsur niatjahat tersebut, kasus dugaan korupsi Sumber Waras dihentikan meskipun sebelumnya BPK menyatakan terdapat enam penyimpangan dalam dalam satu siklus transaksi.
Sementara, dalam kasus reklamasi KPK seolah enggan melanjutkannya. Pada 5 April 2016 KPK menyatakan ada tersangka baru dalam kasus reklamasi. Pernyataan itu kembali ditegaskan oleh KPK dua puluh hari kemudian. Tetapi, sampai berbulan-bulan lamanya, tidak seorang pun nama tersangka baru yang diumumkan KPK.
Melihat sikap KPK dalam menangani kasus yang diduga melibatkan Ahok, sangat wajar kalau masyarakat menganggap kepolisian pun membebaskan Ahok dalam dugaan kasus penistaan agama. Maka, pada 14 Oktober 2016 rakyat di Jakarta dan sejumlah daerah turun ke jalan menuntut aparat menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.
Kalau melihat tayangan dan foto video Aksi 1410, dan membandingkannya dengan kapasitas Stadion GBK yang berkapasitas 100 penonton, bisa diperkirakan masa yang turun di Jakarta mencapai lebih dari 100 ribu. Demikian juga dengan jumlah masa yang turun di sejumlah daerah yang begitu menyemut.
Jumlah pengunjuk rasa dalam Aksi 1410 jelas lebih besar dan lebih masif dibanding unras 1998 yang berujung pada pelengseran Soeharto. Jika pada 1998 unras hanya digelar di ibu kota dan sejumlah kota besar, Aksi 1410 dilakukan di berbagai daerah dari Aceh sampai Maluku. Bukan saja hanya di kota-kota besar, tetapi sampai pelosok.
Sayangnya, sekalipun unjuk rasa sudah berskala nasional, Jokowi sebagai kepala negara belum juga menanggapi. Publik justru menganggap Jokowi mencoba mengalihkan isu penistaan agama dengan menyodorkan isu pungli dan pelantikan Archandra Tahar sebagai Wamen ESDM.
Jika benar Jokowi mencoba mengalihkan isu, tentu strategi ini salah besar. Pertama, sebuah isu hanya bisa dialihkan oleh isu yang lebih besar. Kedua, pengalihan isu hanya bisa dilakukan jika didukung oleh media. Isu penistaan agama jelas lebih besar dari isu pungli ataupun pelantikan Archandara yang ke-WNI-annya masih dipertanyakan tersebut. Kemudian, di era internet dan media sosial sekarang ini pengalihan isu tidak mudah lagi dilakukan. Ini terbukti, sekuat apapun media arus utama menyoroti kerusakan taman dan sisi negatif dari Aksi 1410, perhatian masyrakat tetap saja terfokus pada penegakan hukum.
Kemungkinan besar, strategi yang dijalankan adalah membiarkan kasus penistiaan agama ini didinginkan dengan cara memperlambat proses hukumnya. Bersamaan dengan itu isu-isu baru disodorkan sehingga perlahan isu ini dilupakan.
Usai Aksi 1410, bergulir rencana Aksi 411 yang digelar pada 4 November 2016. Jika pada 1410 masa pendemo terpencar di sejumlah daerah, pada 411 masa pendemo terfokus di Istana Negara. Jika pada 1410 sasaran unras adalah Polri, pada 411 Presiden Jokowi yang menjadi pusatnya. Jokowi yang digadang-gadang oleh pendukungnya dan Ahoker sebagai dwitunggal dari Ahok dianggap sebagai pelindung Ahok.
Melihat derasnya gerakan 411 yang semakin mengarah ke Presiden, kelompok yang berkepentingan dengan Istana (sebut saja Kelompok X) baru menyadari kesalahannya. Kelompok X tahu persis jika upaya pengalihan isu gagal. Demikian juga dengan upaya mendinginkan kasus ini.
Jokowi harus diselamatkan. Kelompok X pun kemudian mencoba merekayasa situasi dengan menyebarkan opini kalau Aksi 411 bermuatan politis, bukan lagi penegakan hukum seperti yang digaungkan oleh pendemo. Nama SBY pun kemudian disisipkan dalam laporan intelijen. Laporan inilah yang kemudian disebar ke sejumlah pejabat berwenang. Sementara itu, laporan itu sengaja dibocorkan kepada SBY untuk memancing reaksinya.
Selagi menunggu reaksi SBY, Jokowi diarahkan untuk menemui Prabowo di Hambalang. Belum cukup menemui Prabowo, Jokowi pun mengundang ulama NU dan Muhammadiyah ke Istana. Tindakan Jokowi tersebut kemudian dipoles seolah Jokowi meninggalkan SBY dalam menghadapi situasi nasional yang semakin meruncing. Mau tidak mau, opini SBY sebagai penunggang kuda Aksi 411 pun semakin menguat.
SBY menjadi pihak yang paling mudah dikorbankan mengingat ia adalah bapak dari Cagub DKI Agus Yudhoyono yang tengah bersaing dengan Ahok. Selain itu, Masjelis Dzikir Nurusaalam yang berafiliasi dengan Partai Demokrat termasuk salah satu ormas yang mendesak MUI mengeluarkan keputusannya. Tidak hanya itu, Kelompok X pun menyeret Ketua MUI Ma’ruf Amin yang juga pernah menduduki Wantimpres di masa SBY.
SBY yang terusik akhirnya membantah laporan intelijen yang menyebut keterlibatan dirinya dalam Aksi 411. Mendapati reaksi SBY, pendukung Jokowi yang sekaligus Ahoker seolah mendapat angin untuk menguatkan persepsi tentang posisi SBY dalam Aksi 411.
Aksi 411 yang diperkirakan dihadiri oleh lebih dari 1 juta pengunjuk rasa pun berlangsung damai. Hanya saja, lepas Magrib terjadi bentrokan antara sejumlah “pendemo” dengan aparat keamanan di depan Istana. Gas-gas air mata pun ditembakkan sehingga membuat situasi semakin ricuh. Sementara di penjaringan terjadi aksi penjarahan.
Kemudian Presiden Jokowi menggelar temu perwarta. Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan adanya aktor politik di belakang aksi 411 yang berakhir rusuh. Sekalipun Jokowi tidak menyebut aktor politik yang dimaksudnya, tetapi, opini publik mengarah ke sosok SBY.
Kericuhan yang terjadi di depan Istana dan penjarahan di Penjaringan ini menjadi fokus pemberitaan media yang selama ini dianggap pro-Ahok. Sehari setelah Aksi 411 yang diberitakan berakhir rusuh tersebut sejumlah spanduk bertuliskan “SBY Provokator: NKRI Harga Mati” disebar di sejumlah titik di ubu kota dan diviralkan lewat media sosial.
Persepsi yang mengatakan SBY sebagai aktor kerusuhan pun semakin menguat dan seolah tidak terbantahkan setelah beredarnya foto layar percakapan WhatApp akun Choel Mallarangeng yang diopinikan seolah tengah membincangkan masalah logistik untuk demo 2511 yang rencananya digelar pada 25 November 2016.
Benarkah SBY menunggangi Aksi 411 demi kepentingan politiknya dan pemenangan Agus?
Aksi 411 memang berakhir ricuh. Tetapi, kericuhan tersebut berskala kecil sehingga tidak mungkin menimbulkan goncangan besar. Kerusuhan itu pun hanya melibatkan sekelompok orang dengan jumlah yang terbilang kecil. Padahal, kalau SBY mendalangi akasi tersebut seharusnya kerusuhan terjadi dengan skala yang lebih besar.
Demikian juga dengan penjarahan yang terjadi di Penjaringan. Penjarahan tersebut lebih mirip dengan ulah geng motor yang merampok minimarket ketimbang upaya untuk meletuskan kembali kerusuhan 1998.
Kalau dicermati, skala bentrokan yang terjadi di depan Istana tidak terlalu mengkhawatirkan. Malah, skala bentrokan tersebut malah lebih kecil ketimbang bentrokan yang biasanya terjadi antara mahasiswa dengan aparat di Makassar. Jadi, bisa dibilang, bentrokan yang terjadi saat Aksi 411 itu hanya dibesar-besarkan saja.
Kalau memang SBY menunggangi Aksi demo dan berencana menggulingkan Jokowi, seharusnya terjadi kerusuhan yang dampaknya lebih merusak. Bukankah sebelumnya diserukan kepada pendemo ajakan untuk membuat surat wasiat dan ada sekelompok pendemo yang dibaiat untuk berjihad sampai mati.
Kemudian, soal percakapan WA. Apakah benar akun Choel Mallarangen yang terlibat dalam percakapan itu milik Choel, boss Fox Indonesia yang juga adik dari Andi Mallarangeng? Lantas, apakah “logistik” yang dimaksud dalam percakapan itu berarti dana untuk Aksi 2511?
Percakapan akun Choel soal “logistik” ini kemudian dikuatkan dengan pernyataan Ahok yang mengatakan adanya informasi tentang pengakuan pendemo yang menerima bayaran sebesar Rp 500 ribu. Ahok mengatakan informasi itu didapatnya dari media. Tetapi, ternyata tidak ada satu pun media online, baik itu media arus utama maupun media abal-abal yang memberitakannya. Mungkin Ahok mendapatkannya dari media cetak abal-abal atau medsos. Mungkin!
Apa yang terjadi sebenarnya?
Mudah sekali jawabannya. Setelah video “penistaan agama” beredar luas timbul kekecewaan pada Ahoker. Rasa kecewa yang bisa disebut sebagai energi negatif ini tidak bisa dibalik menjadi energi positif. Kekecewaan ini harus dikelola dengan baik. Satu-satunya cara paling mudah adalah dengan menggesernya menjadi kemarahan dan kebencian. Ini mirip dengan seorang murid yang kecewa karena tidak lulus UN lantas dihasut untuk merusak sekolah dan memukuli gurunya.
Dengan mengelola kekecewaan menjadi kemarahan, pendukung Ahok diarahkan untuk melawan. Tidak heran kalau Ahoker meluapkan kemarahannya kepada MUI, ulama, dan SBY yang dianggapnya sebagai musuh. Apalagi ditambah opini yang memposisikan Ahok dan pendukungnya sebagai pihak yang didzolimi. Maka terciptalah militansi Ahoker. Itulah yang terjadi.
Lantas, kenapa SBY yang dikorbankan?
Jawabannya juga sangat sederhana. Dalam berbagai kesempatan SBY kerap melontarkan sindirannya kepada Jokowi. Sindiran SBY ini mendapat respon dari pendukung Jokowi yang sebagian besar mendukung Ahok. Dari sini sudah terbentuk dua kutub yang saling berhadapkan. Maka, tidaklah sulit untuk menggeser kekecewaan atas ulah Ahok menjadi kemarahan kepada SBY.
Dengan adanya kekecewaan yang digeser menjadi kemarahan para ahoker ini, SBY dan pendukungnya tidak perlu menanggapinya secara serius. Dan yang terpenting, SBY jangan memerosokkan dirinya ke dalam pusaran adu domba yang semakin kencang ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI