Demokrasi one man one vote adalah soal persepsi. Sehebat apapun seseorang kalau dipersepsikan buruk maka ia sulit mendapat suara. Demikian juga dengan sebaliknya. Itulah kenapa ada kampanye. Ada kampanye positif. Ada kampanye negatif. Ada juga kampanye hitam. Dalam kampanye para calon dan timsesnya berperang opini untuk membangun persepsi.
Cukup dengan persepsi seseorang tokoh bisa diangkat sebagai presiden, dimenangkan dalam pemilu, atau bahkan digulingkan dari kekuasaannya. Persepsi yang dilemparkan kepada publik pun tidak perlu mengandung nilai-nilai kebebaran apalagi pembuktian secara hukum.
Ada yang tahu apa sebenarnya kesalahan Soekarno? Ada yang bisa membuktikan kasus KKN yang dituduhkan kepada Soeharto? Lantas, kenapa Gus Dur sampai dijatuhkan? Apa kesalahan Gus Dur? Kemudian bagaimana dengan peran pesakitan yang dilakoni SBY saat mengalahkan Megawati dalam Pilpres 2004? Apakah benar SBY didzolimi Megawati?
Karenanya, dalam sistem demokrasi di Indonesia, persepsi sangat menentukan dalam perjalanan karier politik seseorang. Kalah dalam memenangkan duel pembentukan persepsi, habis pula kiprah politiknya.
Masalahnya, keberhasilan dari perang persepsi tidak bisa terbaca hanya dari satu sudut, apalagi kalau berlandasan keberpihakan yang membigotkan diri. Semua sisi harus diperhatikan dan dicermati. Berkeping-keping fakta harus dirangkai. Atau, setidaknya bisa juga dengan menggunakan teori cermin “Kalau saya adalah dia kira-kira apa yang dia pikirkan?”
Lantas, bagaimana dengan Jokowi yang diberitakan meninggalkan Istana Negara sebelum kedatangan pengunjuk rasa. Artikel ini juga menjadi kelanjutan dari artikel tetang persepsi “Dwitunggal Jokowi-Ahok yang diposting sebelumnya.
Istana bukanlah wilayah yang steril dari persaingan antar kelompok dan antar kepentingan. Dan tidak semua orang yang berada di lingkungan Istana mendukung RI 1. Ada orang-orang yang disusupkan. Ada orang-orang yang direkrut untuk menjadi kaki tangan. Maka dari itu, celaka dua belas kalau orang yang disusupkan atau direkrut itu justru menjadi orang kepercayaan RI 1.
Malam hari sebelum 4 November 2016, Jokowi mengatakan kalau ia akan menemui pendemo. Niat Jokowi ini kemudian diteruskan oleh Polri. Kepada media, Polri mengumumkan kalau presiden bersedia menerima 25 delegasi pendemo. Tidak jelas, selain Habib Riziek, siapa lagi nama-nama ke-25 delegasi pendemo itu.
Sebelum tengah hari, Jokowi meninggalkan Istana untuk meninjau sebah proyek di Bandara Soekarno-Hatta. Di sana Jokowi sempat shalat Jumat. Artinya, Jokowi sudah meninggalkan Istana setidaknya pada pukul sebelas waktu setempat.
Selepas Jumatan ratusan ribu demonstran bergerak dari Istiqlal menuju Istana Negara. Kalau melihat perbandingan kapasitas Istiqlal yang dapat menampung 200 ribu jamaah, maka kalau melihat jamaah yang meluber hingga jalan, dapat diperkirakan jumlah pengunjuk rasa melebihi 250 ribu.
Di depan Istana pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya. Semuanya berjalan tertib. Memang sempat terjadi sejumlah provokasi, tetapi pendemo berhasil mengatasinya. HMI yang berbuat anarkis, misalnya, diusir oleh pendemo.
Sampai sore hari, Jokowi belum juga muncul. Entah ke mana dan di mana Jokowi. Sangat tidak mungkin seorang presiden meninjau sebuah proyek hingga lebih dari 5 jam. Pasti ada sesuatu. Konon, menurut Pramono Anung, Jokowi menelepon sampai empat kali. Presiden ingin kembali ke Istana dan menemui demonstran sesuai janjinya. Tetapi, masih menurut Pramono, Danpaspampres mengatakan ketidakmungkinan Jokowi kembali mengingat kondisi lalu lintas di sekitar Istana yang dikepung demonstran.
Pada sore hari Wiranto yang ditanyai wartawan melontarkan kemarahannya. Kemarahan Wiranto kepada wartawan ini sangat tidak biasa. Entah karena alasan apa Wiranto marah.
Kemudian beredar berita tentang Wapres Jusuf Kalla dengan didampingi oleh sejumlah menteri menerima delegasi pendemo. Sayangnya hanya 3 delegasi pendemo yang bersedia menemui JK. Sementara, 22 delegasi lainnya menolak untuk bertemu JK.
“Kemana Jokowi?” dan “Kenapa tidak mau menemui pendemo?” Begitu pertanyaan netizen. Netizen pun mulai melontarkan kecamannya kepada Jokowi. Jokowi dianggap sebagai pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Pemimpin yang tidak mampu memilah skala prioritas. Persepsi buruk untuk Jokowi bertambah.
Di sejumlah media bertebaran foto Jokowi saat tengah meninjau proyek. Jokowi diperlihatkan berada di bangunan proyek. Tidak terlihat ada pengawalan, pejabat negara, penanggung jawab proyek, wartawan, dan yang lainnya. Sendirian!
Foto Jokowi yang sedang sendirian tersebut dijajarkan dengan foto kerumunan masa pendemo yang menyemut. Sangat kontras. Kecaman dan hujatan kembali terlontarkan. Jokowi LDR (Lari Dari Kenyataan) cuit salah seorang netizen lewat akun Twitter-nya.
Dari kejadian tersebut sudah terbaca kalau ada kemungkinan kepergian Jokowi dari Istana memang bukan merupakan skenario yang sudah direncanakan sejak awal. Keluarnya Jokowi terlihat begitu mendadak. Sementara, ketidakjelasan keberadaannya sempai sore hari berhasil membentuk persepsi kalau Jokowi menghindari pendemo. Artinya, Jokowi telah mengingkari janji yang belum sahari diucapkanya. Lagi, persepsi buruk berhasil ditanamkan.
Jokowi sudah kehilangan kewibawaannya sebagai pemimpin bangsa, sebagai kepala negara, dan sebagai bapak dari rakyatnya. Dari sisi persepsi, sudah bisa dinyatakan dengan tegas kalau sejak sore itu Jokowi sudah tamat.
Entah siapa pembisik yang berhasil mempengaruhi Jokowi untuk meninggalkan Istana sebelum demonstran datang. Dan, hanya dalam tempo sehari pembusukan terhadap Jokowi berlangsung cepat. Sebuah operasi senyap yang sangat gilang-gemilang.
Apalagi sehari sebelumnya pemerintah memblokir sebelas situs. Untuk apa pemblokiran itu? Seberapa mengancamnya situs-situs itu terhadap stabilitas nasional jelang aksi 411? Sayangnya tidak semua ISP menuruti pemerintah. Ada sejumlah ISP yang masih membiarkan beberapa situs beraktivitas. Tentu saja tindakan pemblokiran ini semakin menambah persepsi buruk bagi Jokowi. Jokowi distempel sebagai penguasa otoriter.
Wajar kalau Jokowi diserang oleh lawan politiknya. Wajar kalau lawan politik membentuk persepsi buruk terhadap Jokowi. Tetapi, tidak wajar kalau pendukung Jokowi malah ikut membentuk persepsi buruk tentang Jokowi.
Dalam kasus Archandra Tahar, misalnya, pendukung Jokowi menuding pihak yang menginginkan Archadra dipecat adalah sekelompok mafia. Dan, kata pendukungnya, Jokowi tidak akan tunduk kepada mafia. Ternyata, Archandra dipecat. Artinya, Jokowi tunduk kepada mafia. Lebih lucu lagi, mafia yang dimaksud oleh pendukung Jokowi adalah kelompok yang berada dalam kabinet. Lha, kalau begitu logikanya Jokowi dibantu para mafia.
Membela kesalahan sama artinya dengan menambah kesalahan. Itulah kenapa setelah rekaman cabul Donald Trump beredar, tidak seorang pun dari pendukungnya yang berkomentar membelanya. Malah, Republik seoalah membuang badan dalam kasus ini. Mereka tahu membela suatu kesalahan hanya akan memperpanjang polemik. Kalau polemik itu berdampak positif tentunya menungtungkan. Tapi, kalau sebaliknya, sudah tentu harus dihindari dan dihentikan. Caranya dengan tidak mengomentari. Apalagi sampai beradu opini.
Jelas, dalam perang persepsi, Jokowi sudah kalah total. Kalau Jokowi dan para pendukungnya tidak melakukan manuver tajam dengan mengubah strategi komunikasinya, bisa dipastikan Jokowi akan luluh lantak dalam Pilpres 2019 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H