Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

(FWD) Gegara Kompasiana, Aku jadi Pengeber Online Batik Cirebon

31 Oktober 2016   12:09 Diperbarui: 3 November 2016   07:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto layar laman Batik Cirebon Online Shop

Kios “Baso Mas Agus”, Pasar Talaga, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 11 Oktober 2016 pukul 15 lebih.

Dering “Basic Bell” terdengar nyaring. Ujung-ujung sumpit yang sudah menjepit mie bercampur saus merah kembali merenggang. Kuluruskan kaki kiriku untuk memudahkan tanganku merogoh ponsel dari kantong kiri celana jeans yang kupakai. “Basic Bell” masih berdering saat ponsel itu keluar dari kantongnya. Bunyinya berbaur dengan alunan lagu dangdut koplo pantura “Wong Lanang Lara Atine”.

Flip ponsel model “V” kubuka. Sekilas kulihat ID pemanggilnya.

“Halo,” sapaku,”Assalamualaikum, Mbak.

“Waalaikum salam, Mas,” balas peneleponku.  Suaranya tidak begitu jelas. “Wong Lanang Lara Atine” lebih berisik dari suara yang keluar dari ponselku. “Bagaimana kabarnya, Mas?”

Obrolan “bla bla bla” yang dibumbui cekikikan pun berlangsung lumayan lama. Sekitar empat menitan. Setidaknya cukup lama untuk membuat mie ayam yang kusantap menjadi dingin. Lagu “Wong Lanang ...” pun sudah berganti dengan lagu yang tidak kutahu judulnya.

“Mau pesan batik lagi nih.” Akhirnya ia menyampaikan maksud dan tujuannya meneleponku. “Motif yang kemarin,” sambungnya.

“Motif ..” kucoba mengingat-ingat. Sayangnya, ingatanku memang sudah tidak lagi panjang.

Kembali tangan kiriku merogoh isi kantong celana. Lantas kukeluarkan smartphone dari dalamnya. Ujung telunjuk kananku pun langsung bergerak-gerak liar menyentuh layar smartphone. Muncullah laman “Batik Cirebon Online Shop”  Pada laman itu aku memajang foto-foto barang dagangan batikkku. Semua foto yang ditampilkan di sana kujepret sendiri.

“Motif “Ciwaringin” ya?” tanyaku sedikit ragu.

Seingatku ia sudah empat kali membeli batik Cirebon dari “lapak” yang kupunya. Katanya, batik-batik yang dibelinya itu akan dijual lagi di toko pakaian miliknya di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kalau tidak salah ingat terakhir kali ia membeli batik motif Ciwaringinan.

Iya,” jawabnya.”Motif yang itu satu. Motif yang sebelah kanannya dua.”

“Oke,” ucapku sambil mengingat pesanannnya.

Setelah segala urusan dagang selesai. Obrolan bla bla bla pun kembali dimulai.

“Sudah dulu ya, Mas,” ucapnya. “Nanti dilanjut lagi.”

Setelah saling mengucapkan salam, komunikasi jarak jauh pun diputus. Sepintas mataku melayang pada layar ponsel jadulku. Siapa tahu di layar itu melintas “This phone will self-destruck in five second”. Kalau saja serentetan kata itu melintas, pasti hape yang kupegang itu langsung kulempar sebelum meledak. Dan, musik panturaan berganti dengan thame song film “Mission Imposible”.

***

Begitulah salah satu episode dalam salah satu seasonperjalanan hidupku. Sebelumnya sama sekali tidak pernah terpikirkan kalau aku jadi pengeber online batik Cirebon. Merencanakan untuk berencana pun tidak pernah tercita-citakan. Ini semua gegara Kompasiana.

Jauh hari sebelumnya, sekitar pertengahan September 2015. Waktu itu datang telepon dari admin Kompasiana. Nur Hasanah namanya.  Mbak Admin itu mengajakku untuk terlibat dalam penulisan buku yang akan diterbitkan oleh sebuah bank swasta. Langsung saja aku jawab “Ya”. Padahal, waktu itu belum tahu honornya. Yang penting “Ya” dulu, honor mah belakangan. Kan #YangPentingHatinya.

Dua pilihan disodorkan, menulis tentang rotan atau batik.Langsung saja kujawab, “batik”. Dari nama usahanya, “Pekauman Jaya”, tercium aroma keraton. Pasti lokasinya masih di sekitar daerah keraton yang jaraknya tidak lebih dari 7 Km dari rumahku.

Setelah kontak dengan pengelola Pekauman Jaya, baru kutahu kalau Pekauman Jaya bukan berada di sekitar daerah istana atau tempat tinggal  raja, tapi astana yang berarti makam. Pekauman Jaya bertempat di Desa Kalitengah, Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Cirebon yang berada di selatan pemakaman Gunung Jati.  

Seperti yang sudah direncanakan, pada 28 September 2015 aku menemui Dian Novalia di rumahnya. Selesai wawancara dan foto-foto, Dian mengajakku keliling tempat usahanya. Dari pengrajin batik berusia 37 tahun itu aku mendapat banyak pengetahuan soal batik beserta proses pembuatannya.

Di tempat usahanya yang sederhana itu, Dian bercerita kalau sebagian dari batik yang dihasilkannya dijual lewat jasa pengeber. Pengeber mengambil batik yang dihasilkan Dian untuk dijual ke berbagai daerah. Entah siapa yang membisikan ke hati kecilku nan polos ini, “Kamu juga bisa jadi pengeber batik.”

Benar juga. Kenapa tidak kucoba. Lantas kutayangkan artikel “Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)?  Eh, gayung pun bersambut. Bukan Jokowi membeli batik yang kujual, tapi di lini masa Facebook melintas foto 3 staf pegawai Gedung Putih Amerika Serikat yang mengenakan batik pemberian Ibu Negara Iriana. Dalam foto yang share oleh Kedubes Amerika Serikat untuk Indonesia.itu, staf Gedung Putih yang berada di tengah memakai batik bermotif Megamendung.

Awalnya sempat manyun. “Bukannya beli, malah pamer foto,” begitu gerutu hati kecilku nan polos ini. Tapi, empat hari kemudian ada seorang teman yang meng-inbox, “Saya pesan batiknya ya.” Detik itu juga manyunberubah jadi senyum. Tidak disangka-sangka, kalau rezeki tidak akan kemana, pesanan pertama itu disusul oleh pesanan-pesanan berikutnya.

Awalnya sempat kelimpungan juga. Apalagi pengetahuan saya soal batik dan bisnisnya masih minim. Ada saja masalah yang ditemui. Ada batik yang sudah dipesan, eh pas datang ke tempat pengrajinnya ternyata baru saja dibeli. Sementara kalau membeli di toko harganya bisa lebih mahal dua kali lipat.

Pas lagi sibuk-sibuknya ngurus pesanan batik, “Basic Bell” berdering. Seorang admin Kompasiana menelepon. Katanya, ada pemenang “Blog Competition: Pesona Budaya” yang mengundurkan diri. Dan, saya dipilih sebagai penggantinya. Katanya, aku ditunggu di Bali tanggal 5 November 2016 untuk mengikuti Eksplorasi Pesona Budaya selama 2 hari 1 malam. Waktu ditelepon sore tanggal 2 November 2016. Jadi, kalau dihitung-hitung, saya hanya mempunyai waktu kurang dari 60 jam.

Siapa sih yang tidak mau ke Bali. Apalagi gratis-tis. Masalah hanya soal keterbatasan waktu. Waktu itu ada 6 pesanan batik. Business or pleasure, begitu yang berkecamuk dalam pikiran sebelum mengambil keputusan. Setan dalam otak berteriak “pleasure” Maklum, bawaan setan kan yang enak-enak. Judi dan mirasantika, contohnya. Dengan penuh keraguan, akhirnya kuputuskan, “Sepertinya tidak bisa, Mbak.”

Menarilnya, artikel “Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)? ditulis bukan untuk dilombakan. Pas mau posting, pas lihat banyak artikel dengan judul yang mengandung kata “Batik”. Cek punya cek, ternyata Kompasiana menggelar “Blog Competition: Pesona Budaya” . Kenapa tidak sekalian saja dilombakan, begitu pikiran saya ketika mau menayangkan artikel itu. Sayangnya, kerena keterbatasan waktu, akhirnya artikel itu ditayangkan tanpa diedit terlebih dahulu.

Benar kata orang tua, kalau rezeki tidak akan kemana-mana. Gegara artikel itu, aku benar-benar jadi pengeber batik. Dan gegara artikel itu juga datang kesempatan berlibur gratis ke Bali. Namun, sayang beribu kali sayang, kesempatan berlibur gratis ke Bali itu melayang.

Ternyata, keputusan menolak tawaran liburan di Bali itu tidak salah karena mencari batik tidak semudah yang dipikirkan. Ada beberapa motif batik yang sulit ditemui. Kadang ada motif yang dicari ketemu, tapi harganya jauh lebih mahal dari yang ditawarkan kepada pemesan. Kalau saja waktu itu menerima ajakan berlibur di Bali, belum tentu motif yang dipesan bisa didapatkan.

Batik memang karya seni. Karenaya harga batik tergantung pada kualitasnya. Sementara kualitas batik dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor pengolahan dan faktor cuaca, faktor moodpembatiknya pun mempengaruhi kualitas batik. Konon, menurut Dian, kalau perasaan pembatik sedang runyam, batik yang dihasilkan pun ruwet tidak karuan. Ada saja kesalahan di sana-sini, tandasnya.

Tidak kusangka dan tidak kuduga, dagang batik online itu masih jelan sampai sekarang. Ada yang membeli untuk dirinya sendiri, ada juga untuk dijual lagi. Biarpun tidak selaris di awal buka “lapak”, ada saja pasanan yang datang setiap bulannya. Lumayan, untungnya bisa buat beli ini-itu.

Kadang telintas dalam pikiran, “Sampai kapan aku ini keliling-keliling?” Kerjaan utama keliling-keliling. Kerjaan sampingan juga keliling-keliling. Tidak mungkin kalau sudah tua masih kuat keliling kampung. Dulu, waktu masih kuliah, kepingin banget punya rumah sederhana berhalaman luas di lereng bukit dengan berlatar belakang petak-petak sawah yang menghijau.

Cuma, mau tidak mau, rumah di lereng bukit itu hanya tinggal impian. Sebabnya tidak lain dan tidak bukan, pertama ketidakadaan dana, kedua kalau berhenti keliling, mau makan apa? Kalau dipikir lagi, sumber masalahnya karena aku tidak mempersiapkan masa tua. Bukan karena aku ini awet muda, tetapi memang tidak pernah memikirkan masa tua. Seharusnya sejak lama aku mempersiapkannya. Minimal mengikuti asuransi yang menjamin hari tua.

Paling tidak, seharusnya aku sudah memikirkan “ladang lain” selain usaha yang kugeluti sekarang. Padahal “ladang lain” itu ada. Misalnya, asuransi plus investasi seperti yang ditawarkan FWD Sprint Retirement

Dengan mengikuti FWD Sprint Retirement aku bisa mengalokasikan sendiri pilihan investasi yang kumau, bisa di pasar uang, surat utang, resadana campuran, atau bisa juga di reksadana saham.

Tapi, ya sudah, sekarang mah jalani saja dulu yang bisa dikerjakan. Kalau ditanya ke depan, pingennya sih punya galeri batik. Di situ aku bisa memajang batik yang kujajakan. Belum terpikirkan lokasinya di mana. Hanya saja, nantinya galeri batikku itu berbeda dengan toko-toko batik yang ada di sentra batik Trusmi. Kalau di Trusmi, banyak toko batik yang menarik calon pembelinya dengan memajang papan bertuliskan “Langsung Dari Pengrajin”. Nah, rencananya aku juga mau memajang papan dengan tulisan “Langsung Dari Jemuran Pengrajinnya.

Bisa dibilang, dagang bukan passion-ku. Dalam soal batik, passion-ku adalah blusukan di kampung-kampung. Seperti yang kutulis dalam artikel “Senang dan Sehat Itu Cuma Butuh Segar”, blusukan sudah menjadi passion-ku sejak masih duduk di bangku SMA. Gegaranya waktu SMA aku sering telat. Karena kalau telat lebih dari 3 kali orang tua dipanggil, muncullah kreativitasku, ketimbang orang tua dipanggil lebih baik bolos sekolah. Cerdas bukan?

Dari passionblusukan itulah aku mencari batik yang dipesan dari satu pengrajin ke pengrajin lainnya di Desa Kalitengah. Di desa yang terletak tidak jauh dari sentra batik Cirebon Trusmi itu aku menemui sejumlah pengrajin batik. Setiap pengrajin rerata memiliki lebih dari 4 pekerja, mulai dari pecanting sampai pencelup.

Pencanting batik biasanya perempuan. Ada yang sudah berkeluarga. Ada juga yang masih sekolah. Hampir semuanya kukenal. Sampai jumlah tahi lalat dan letaknya pun tahu persis. Entah kebiasaan mengamati tahi lalat ini termasuk bagian dari passion atau bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun