Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

(FWD) Gegara Kompasiana, Aku jadi Pengeber Online Batik Cirebon

31 Oktober 2016   12:09 Diperbarui: 3 November 2016   07:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto layar laman Batik Cirebon Online Shop

Di tempat usahanya yang sederhana itu, Dian bercerita kalau sebagian dari batik yang dihasilkannya dijual lewat jasa pengeber. Pengeber mengambil batik yang dihasilkan Dian untuk dijual ke berbagai daerah. Entah siapa yang membisikan ke hati kecilku nan polos ini, “Kamu juga bisa jadi pengeber batik.”

Benar juga. Kenapa tidak kucoba. Lantas kutayangkan artikel “Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)?  Eh, gayung pun bersambut. Bukan Jokowi membeli batik yang kujual, tapi di lini masa Facebook melintas foto 3 staf pegawai Gedung Putih Amerika Serikat yang mengenakan batik pemberian Ibu Negara Iriana. Dalam foto yang share oleh Kedubes Amerika Serikat untuk Indonesia.itu, staf Gedung Putih yang berada di tengah memakai batik bermotif Megamendung.

Awalnya sempat manyun. “Bukannya beli, malah pamer foto,” begitu gerutu hati kecilku nan polos ini. Tapi, empat hari kemudian ada seorang teman yang meng-inbox, “Saya pesan batiknya ya.” Detik itu juga manyunberubah jadi senyum. Tidak disangka-sangka, kalau rezeki tidak akan kemana, pesanan pertama itu disusul oleh pesanan-pesanan berikutnya.

Awalnya sempat kelimpungan juga. Apalagi pengetahuan saya soal batik dan bisnisnya masih minim. Ada saja masalah yang ditemui. Ada batik yang sudah dipesan, eh pas datang ke tempat pengrajinnya ternyata baru saja dibeli. Sementara kalau membeli di toko harganya bisa lebih mahal dua kali lipat.

Pas lagi sibuk-sibuknya ngurus pesanan batik, “Basic Bell” berdering. Seorang admin Kompasiana menelepon. Katanya, ada pemenang “Blog Competition: Pesona Budaya” yang mengundurkan diri. Dan, saya dipilih sebagai penggantinya. Katanya, aku ditunggu di Bali tanggal 5 November 2016 untuk mengikuti Eksplorasi Pesona Budaya selama 2 hari 1 malam. Waktu ditelepon sore tanggal 2 November 2016. Jadi, kalau dihitung-hitung, saya hanya mempunyai waktu kurang dari 60 jam.

Siapa sih yang tidak mau ke Bali. Apalagi gratis-tis. Masalah hanya soal keterbatasan waktu. Waktu itu ada 6 pesanan batik. Business or pleasure, begitu yang berkecamuk dalam pikiran sebelum mengambil keputusan. Setan dalam otak berteriak “pleasure” Maklum, bawaan setan kan yang enak-enak. Judi dan mirasantika, contohnya. Dengan penuh keraguan, akhirnya kuputuskan, “Sepertinya tidak bisa, Mbak.”

Menarilnya, artikel “Pak Jokowi, Kapan Kenakan Batik Cerbonannya (Karena Sekarang Saya Pengeber Batik)? ditulis bukan untuk dilombakan. Pas mau posting, pas lihat banyak artikel dengan judul yang mengandung kata “Batik”. Cek punya cek, ternyata Kompasiana menggelar “Blog Competition: Pesona Budaya” . Kenapa tidak sekalian saja dilombakan, begitu pikiran saya ketika mau menayangkan artikel itu. Sayangnya, kerena keterbatasan waktu, akhirnya artikel itu ditayangkan tanpa diedit terlebih dahulu.

Benar kata orang tua, kalau rezeki tidak akan kemana-mana. Gegara artikel itu, aku benar-benar jadi pengeber batik. Dan gegara artikel itu juga datang kesempatan berlibur gratis ke Bali. Namun, sayang beribu kali sayang, kesempatan berlibur gratis ke Bali itu melayang.

Ternyata, keputusan menolak tawaran liburan di Bali itu tidak salah karena mencari batik tidak semudah yang dipikirkan. Ada beberapa motif batik yang sulit ditemui. Kadang ada motif yang dicari ketemu, tapi harganya jauh lebih mahal dari yang ditawarkan kepada pemesan. Kalau saja waktu itu menerima ajakan berlibur di Bali, belum tentu motif yang dipesan bisa didapatkan.

Batik memang karya seni. Karenaya harga batik tergantung pada kualitasnya. Sementara kualitas batik dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain faktor pengolahan dan faktor cuaca, faktor moodpembatiknya pun mempengaruhi kualitas batik. Konon, menurut Dian, kalau perasaan pembatik sedang runyam, batik yang dihasilkan pun ruwet tidak karuan. Ada saja kesalahan di sana-sini, tandasnya.

Tidak kusangka dan tidak kuduga, dagang batik online itu masih jelan sampai sekarang. Ada yang membeli untuk dirinya sendiri, ada juga untuk dijual lagi. Biarpun tidak selaris di awal buka “lapak”, ada saja pasanan yang datang setiap bulannya. Lumayan, untungnya bisa buat beli ini-itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun