Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalau Jurus Saktinya Cuma "Asal Bukan Ahok", Jangan Harap Bisa Menang

21 September 2016   10:32 Diperbarui: 21 September 2016   10:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilgub DKI 2017 bakal game over sebelum hari pencoblosan, kalau yang menjadi lawan Ahok adalah Risma atau Ridwan Kamil. Sayangnya, Risma lebih memilih Surabaya ketimbang Surabaya. Sementara Ridwan sudah diminta Jokowi untuk tidak turun di Jakarta. Tetapi, justru dengan tidak turunnya dua senjata sakti mandraguna itu, Pilgub DKI bakal hidup sampai hari pencoblosan. Malah, besar kemungkinan berlangsung alot sampai dua putaran. Dengan catatan, ada 3 pasangan calon yang tampil.

Sama dengan pilpres, pileg, dalam pilkada pun ketokohan calon akan lebih menentukan ketimbang parpol. Fungsi parpol bisa dikatakan hanya sebagai agen penyalur kandidat atau calon saja. Terbukti dalam sejumlah pilkada banyak parpol yang mengusung calon non kader. Sementara dalam pileg tidak sedikit anggota parpol yang baru kemaren sore daftar bisa ikut nyaleg. Begitu juga dengan pilpres, Jusuf Kalla bisa menduduki posisi wakil presiden meski pencalonannya tidak didukung oleh partainya.

Demikian juga dengan Pilgub DKI 2019. Pemilih PDIP belum tentu memilih Ahok. Pemilih Gerindra pun belum tentu mencoblos gambar pasangan yang diajukan oleh Gerindra. Demikian juga dengan PKS. PKS hanya solid di tingkat kader dan simpatisan. Tetapi, pemilih PKS tidak otomatis bakal memilih pasangan yang didukung oleh PKS.

Meski demikian, ada sesuatu yang menarik dari Pilgub DKI 2017. Pada pilgub yang digelar di ibu kota negara ini terjadi polarisasi yang sulit untuk dicairkan. Bukan polarisasi parpol, tetapi polarisasi Jokowi dan non-Jokowi. Polarisasi ini sudah terbentuk sejak putaran kedua Pilgub DKI 2012. Polarisasi ini kembali mengkristasl pada Pilpres 2014. 

Sepertinya, polarisasi ini sengaja diawetkan. Tujuannya sudah pasti, Pemilu 2019. Dan cara pengawetannya pun terbilang sederhana. Misalnya, dengan terus mengopinikan adanya kecurangan dalam Pilpres 2014. Kemudian, di saat-saat tertentu dilontarkan pernyataan kalau Prabowo akan maju untuk Pilpres 2019.  Dengan demikian kondisi polarisasi saat Pipres 2014 dapat terus terjaga. Dan, tidak perlu diuraikan lebih jauh lagi kalau situasi Pilpres 2014 berbeda jauh dengan Pilpres 2009 dan Pilpres 2004. Kondisi psikologis gagal move on inilah yang akan terus dipertahankan.

Dengan memolarisasikan  Jokowi dan non-Jokowi. Dan Ahok diposisikan sebagai perwujudan Jokowi sedang lawannya adalan non-Jokowi. Maka, hasil Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 bisa dijadikan acuannya. Hasil Pilgub DKI 2012 menunjukkan Jokowi-Ahok menang tipis 53,8 % atas Foke yang meraih 48,18 %. Sementara, hasil Pilpres 2014 untuk DKI Jakarta menunjukkan hasil yang hampir sama. Jokowi-JK mendapatkan 53 % suara. Sedangkan Prabowo-Hatta dipilih oleh 47 % warga Jakarta. Perolehan suara yang hampir mirip ini membuktikan kalau polarisasi yang terbangun sejak putaran kedua Pilgub 2012 antara pemilih Jokowi dan non-Jokowi sanggup dipertahankan sampai Pilpres 2014.

Dengan mengacu pada data di atas, Ahok yang digambarkan sebagai wujud Jokowi seharusnya dapat memanangi Pilgub DKI 2017. Tetapi, sayangnya, tidak semua pemilih Jokowi mendukung Ahok. Bahkan, sebagaimana yang diberitakan, kantong-kantong suara Jokowi saat Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 secara terang-terangan menolak mencalonan Ahok. Mereka menilai karakter kepemimpinan Ahok berbeda jauh, bahkan bertolak belakang dengan Jokowi. Dari sini bisa dibaca, akan ada pergeseran suara besar-besaran dari kutub Jokowi ke kutub lawannya atau “kutub” golput.

Kemungkinan bergesernya suara kutub Jokowi ke “kutub” ketiga alias golput sangat mungkin terjadi kalau lawan Ahok nantinya dinilai memiliki sejumlah masalah. Alasannya, pemilih menganggap baik Ahok dan lawannya podo wae alias sami mawon aka sama saja.

Memang benar, ada pemilih Foke dan Prabowo yang pada Pilgub DKI 2017 nanti akan memilih Ahok-Djarot. Tetapi, jumlahnya pasti tidak akan sebesar pergeseran pemilih Jokowi. Kembali lagi ke data perolehan suara Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 yang menunjukkan tingkat kesolidan pendukung non-Jokowi.

Di samping itu, ada sejumlah pemilih yang menggunakan rasionalitasnya saat menentukan pilihan. Ketika Jokowi dihadapkan dengan Foke atau Prabowo, mereka menilai Jokowi lebih baik dari keduanya. Kelompok ini pun pasti akan menggunakan nalarnya untuk memilih antara Ahok atau lawannya.

Dengan demikian, untuk memenangkan Pilgub DKI 2017, seruan “Asal Bukan Ahok” tidak bisa dijadikan modal. Kualitas calon lawan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Kualitas calon ini pastinya bukan hanya dilihat dari elektabilitasnya. Sebab sebelum pendaftaran ke KPU tingkat elektabilitas tidak bisa dijadikan sebagai patokan. Buktinya dalam sejumlah pilkada, calon yang sebelum pendaftaran hanya memiliki elektabilitas rendah dapat keluar sebagai pemenang. Jokowi dan Ganjar Pranowo, misalnya.

Untuk memenangi pemilu, nilai jual menjadi unsur terpenting yang harus dipertimbangkan. Kalau tidak memiliki nilai jual, atau bahkan memiliki cacat produksi, bisa dipastikan calon tersebut bakal gagal memenangi pemilu. Nilai jual ini bisa didapat dari berbagai unsur, salah satunya rekam jejak. Seorang calon yang memiliki rekam jejak buruk pastinya bakal sulit untuk dijajakan. Apalagi ke pemilih Jakarta yang diketahui memiliki tingkat keterbukaan informasi dan rasionalitas tinggi.  

Perlu juga diperhatikan, saat ini lawan Ahok semakin tidak bisa lagi menjual kesantunan. Terlebih setelah kasus OTT yang dilakukan KPK terhadap Irman Gusman yang selama ini dikenal sangat santun. Kalau lawan Ahok masih saja menjual figur jagonya dengan stemple “santun”, pasti akan menjadi makanan empuk bagi kubu Ahok.

Sandiaga Uno memang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi di bawah Ahok dan Risma (setelah nama Ridwan Kamil tidak lagi dimasukkan). Tetapi, sekalipun  sudah jor-joran sosialisasi selama lebih dari satu tahun dan beriklan di sejumlah stasiun televisi dalam beberapa minggu ini, elektabilitas Sandi masih belum juga keluar dari satu digit. Kondisi ini mirip dengan yang dialami oleh Aburizal Bakrie jelang Pilpres 2014. Bisa dikatakan, selama setahun ini Sandi gagal mendongkrak tingkat keterpilihannya. Padahal selama setahun ini sangat jarang Sandi mendapat serangan dari lawannya.

Sudah bisa diprediksikan dalam kontestasi Pilgub DKI 2017 ini akan terjadi saling serang antar pasangan calon berikut pendukungnya. Segala macam kampanye negatf pastinya akan mewarnai jalannya pemilu.  Sandi yang memiliki masalah dengan rekam jejaknya karena diduga terlilit dalam sejumlah kasus, termasuk dugaan pelecehan seksual, pastinya akan menjadi bulan-bulanan kubu lawannya.

Kalau, tingkat elektabilitas Sandi bukan kartu mati. Tidak demikian dengan dugaan pelecehan yang ditudingkan kepada kader Gerindra ini. Dugaan kasus ini benar-benar menjadi kartu mati bagi Sandi. Bagaimana mungkin menyandingkan terduga kasus pelecehan seksual dengan Anies Baswedan yang dikenal sebagai seorang pendidik? Pasti kedua sosok itu akan sangat bertolak belakang.

Kalau Anies yang dimajukan, Yoyok Riyo menjadi menjadi pendamping yang tepat. Tetapi, sebenarnya kalau pun diajukan sebagai calon DKI 1 sosok Yoyok pun sudah bisa mengalahkan Ahok. Banyak faktor pembeda antara Yoyok dengan Ahok yang membuat Yoyok menjadi layak jual dan dapat memenangi persaingan.

Dalam sejumlah survei, biasanya kepada responden ditanyakan alasan memilih suatu produk. Kemudian interviewer akan melanjutkan pertanyaannya, misalnya “Kenapa Mas Jati lebih memilih merek rokok Tjap Kutjing daripada  merek Cap Meong?” Dari jawaban responden itu bukan saja akan  diketahui  faktor-faktor yang membedakan antara satu produk dengan produk lainnya, tetapi juga didapat unsur-unsur yang membuat posisi satu produk lebih layak jual ketimbang produk lainnya. Inilah yang disampaikan Hermawan Kartajaya saat menjadi pemateri di hadapan peserta Sekolah Calon Kepala Daerah yang digelar oleh PDIP pada awal September lalu.  

Jadi, kesimpulannya, kalau mengacu pada gagal move on nya pemilih Jakarta sejak putaran kedua Pilgub DKI 2012 dan terjadinya pergeseran pemilih Jokowi ke kutub lainnya, siapapun lawan Ahok akan keluar sebagai pemenangnya. Asal, lawan Ahok itu bukan figur yang memiliki rekam jejak yang buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun