Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kalau Tidak Mau Jadi Uka-Uka, Ikuti Ritual Ini Saat Bermedsos

12 September 2016   23:21 Diperbarui: 17 Januari 2024   18:15 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://twitter.com/estiningsihdwi/media

Contoh yang paling mudah dipahami dalam hal ini adalah tentang takbir keliling. Larangan takbir keliling di jalanan ibu kota sudah ada sejak masa pemerintahan Sutiyoso dan dilanjutkan oleh penerusnya, Fauzi Bowo. Tetapi, ketika Jokowi menyampaikan imbauannya untuk tidak menggelar takbir keliling, serentetan kecaman langsung terlontar. Tidak hanya itu pelintiran-pelintiran serta penyesatan informasi pun beredar di dunia maya. Bahkan ada situs online yang mengatakan Jokowi memerintahkan tembak di tempat bagi yang kedapatan menggelar takbir keliling. Artikel tentang contoh kasus ini bisa dibaca di sini.

Ketiga. Kalau memang ujaran kebencian itu berdasarkan agama, kenapa pengharaman terhadap calon pemimpin berubah-ubah tergantung kepentingan politik? Misalnya, pengharaman terhadap pemimpin perempuan. Pengharaman terhadap pemimpin perempuan ini bukan saja berubah-ubah dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun yang sama pun pengharaman ini berbeda-beda untuk setiap daerahnya. 

Demikian juga dengan pengharaman terhadap calon pemimpin non-muslim yang diberlakukan berbeda-beda untuk setiap daerahnya. Contohnya, penghalalan memilih caleg PKS non-muslim di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Sementara, dalil-dalil kedaruratan yang disampaikan oleh kader-kader PKS mudah sekali dipatahkan sebab pencalegan adalah hak partai, dan bukan kewajiban.

Keempat. Selain disasarkan kepada tokoh-tokoh politik, penyesatan-penyesatan informasi pun gencar disarangkan kepada ormas Islam yang dianggap berseberangan posisi. Misalnya kepada Nahdlatul Ulama (NU). Ujaran kebencian itu tidak saja disasarkan kepada NU sebagai organisasi, tetapi juga kepada tokoh-tokoh NU, terutama kepada Gus Dur. 

Sejumlah ucapan Gus Dur dipelitir sedemikian rupa hingga menimbulkan kebencian terhadap Presiden RI ke 4 itu. Kebencian terhadap NU itu kemudian tertangkap lewat video berisi ancaman yang dilontarkan oleh ISIS. Lewat video yang diunggahnya lewat Youtube, anggota jaringan ISIS asal Indonesia Salim Mubarok At Tamimi atau yang lebih dikenal dengan Abu Jandal Al Yemeni Al Indonesi mengancam akan membinasakan Baser NU.

Kelima. Tidak semua umat Islam mendukung permusuhan terhadap penganut ajaran lain. Jumlah umat Islam yang mengobarkan kebencian atas dasar SARA tidak banyak. Hanya karena suara mereka yang keras dan lantang serta mengatasnamakan Islam, seolah segelintir umat Islam ini mewakili miliaran umat Islam lainnya.

Dan, sebenarnya, tidak sedikit dari kader-kader PKS yang menentang konten-konten penyesatan informasi yang disebarluaskan oleh PKSpiyungan dan Fan Page Jonru. Kegeraman kader-kader partai dakwah ini terekam dalam obrolan di Facebook.

Karena itu, untuk menegaskan kalau ujaran kebencian itu hanya berdasarkan keberpihakan politik dan bukan agama, netizen jangan takut untuk mencantumkan nama partai politik yang dimaksud. Penyebutan pihak-pihak itu tidak bisa diartikan sebagai penyudutan, pemojokan, pendiskriditan, atau apapun istilahnya, terhadap kelompok politik tertentu. Apalagi kalau pemberitaan terkait hal ini sudah luas diberitakan oleh sejumlah media arus utama.

Netizen tidak mungkin hanya menyampaikan himbauannya untuk merawat kebhinekaan tanpa menyertakan fakta yang sebenarnya. Menutupi fakta atau menutupi sebagian dari informasi bisa dikatakan sebagai sikap kekanak-kanakan yang justru tidak sehat bagi upaya melawan penyesatan informasi. Justru dengan mengungkapkannya secara terbuka, kita telah berupaya membuktikan kalau ujaran kebencian yang disampaikan lewat penyesatan informasi itu bukan didasari oleh faktor agama, tapi pilitik, bahkan uang.

Di dunia maya, konten-konten penyebar kebencian menyebar luas dengan cepat secara viral. Penyebarannya pun sudah masuk ke grup-grup yang beranggotakan pelajar SMP dan SMA. Sementara, upaya BNPT lewat situs Damai.id kurang mendapat respon netizen. Pada setiap artikel yang diunggah pada situs tersebut hanya diklik rerata di bawah 200. Padahal, situs Damai.id merupakan salah satu saluran dalam melancarkan deradikalisasi. kontra ideologi, kontra radikalisasi, kontra-propaganda, dan kontra-narasi.

Akhirnya Artikel Ini Ditutup Juga
Melawan penyesatan informasi yang disebar lewat media sosial sama saja dengan merawat kerukunan antar umat beragama. Ungkapkan saja perlawanan itu di jejaring sosial. Netizen pun bisa menuliskannya di Kompasiana. Admin Kompasiana pun pastinya mendukung upaya pelurusan terhadap penyesatan informasi ini. Buktinya, dulu, hampir pada setiap artikel yang menuliskan pelurusan informasi sesat, admin mengganjarnya dengan label Headline dan Trending Article.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun