Kepada polisi yang memeriksanya, Uka mengaku kalau penembakan itu dilakukannya lantaran dendam. Ia marah ketika menyaksikan video pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Amerika yang bertugas di Irak terhadap perempuan setempat. Ia begitu meyakini kalau video yang disaksikannya itu benar-benar terjadi. Namun, ternyata, video yang disaksikan Uka lewat Youtube itu hanyalah cuplikan dari adegan sebuah film kampanye anti-perang buatan sineas Amerika.
Ada sejumlah fakta menarik yang didapat dari peristiwa di atas. Salah satunya adalah video yang ditonton Uka dari Youtube. Video yang aslinya adalah cuplikan dari adegan film dipelintir seolah-olah rekaman dari peristiwa yang sebenarnya. Dalam kasus Uka ini jelas ada upaya penyesatan informasi untuk menimbulkan kebencian. Dari sini bisa disimpulkan, Uka adalah pelaku aksi penembakan, tetapi, Uka juga merupakan korban dari propaganda Jihad Ver. 2.0.
(Informasi tentang Arid Uka diramu dari Wikipedia.org dan sumber-sumber lainnya)
Software Jihad Ver. 2.0 sudah Ter-install di Indonesia
Mendengar kata 'Uka', pastinya banyak dari kita yang teringat pada kata 'uka-uka'. Kata ulang yang tidak jelas asal-usulnya ini dipopulerkan oleh Tora Margen dalam program 'Gentayangan' yang ditayangkan oleh MNCTV. Dalam acara yang populer pada tahun 2004 itu, pemirsa mendapat suguhan berupa terekamnya penampakan makhluk gaib yang bergentayangan di sekitar peserta uji nyali. Ada yang percaya kalau para demit itu benar-benar tertangkap kamera. Sebaliknya, ada pula yang menganggap penampakan itu hanyalah trik digital belaka. Baru setelah beberapa tahun berselang, pemirsa mendapati berbagai kejanggalan pada 'Masih Dunia Lain', program yang menjadi pesaing 'Gentayangan'. Lewat kejanggalan-kejanggalan itu, terungkap pulalah kalau kemunculan makhluk halus itu tidak lebih dari sekedar rekayasa alias hoax.
Kalau lewat 'Gentayangan' dan 'Masih Dunia Lain', segala macam trik digunakan untuk membangun kepercayaan pemirsa akan kemunculan para demit di sekitar lokasi uji nyali. Sementara dalam peristiwa penembakan di Frankfurt, penyesatan informasi dimanfaatkan untuk menimbulkan kebencian pada diri Uka kepada bangsa Amerika. Selain adanya penyesatan informasi, dalam kasus Uka pun nampak jelas adanya tahap pengkondisian di mana Islam digambarkan dalam situasi terjajah, teraniaya, terdzolimi, dan lain sebagainya.
Pengkondisian yang sama pun tengah berlangsung di negara ini. Lewat internet, netizen dengan mudah mendapat bahan bacaan tentang umat Islam Indonesia yang digambarkan dalam kondisi terdzolim. Puisi 'Islam Indonesia Dihancurkan' karya Nandang Burhanudin bisa dijadikan salah satu contohnya. Puisi itu menyebar lewat jejaring sosial dan sejumlah situs online. Dari puisi tersebut tersirat dengan jelas kalau pendzoliman terhadap umat Islam itu dituduhkan dilakukan oleh etnis Tiongkok yang mayoritas non-muslim dan pemerintah Jokowi yang mewakili NKRI.
Sama dengan yang terjadi di Jerman. Pengkondisian tentang umat Islam yang tengah didzolimi itu diramu dengan memasukkan unsur penyesatan informasi. Ada foto hoax hasil manipulasi digital yang disebar lewat jejaring sosial. Ada pengaburan informasi. Ada pelintiran berita. Dan, masih banyak lagi bentuk penyesatan lainnya. Ujung-ujungnya sama, tujuannya sama, untuk menciptakan benturan di antara kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Terungkapnya aktivitas pentolan jaringan ISIS Indonesia Badrun Naim yang aktif menjaring anggota baru lewat internet telah membuktikan kalau software Jihad Ver. 2.0 ini tengah bekerja aktif di Indonesia. Aktivitas berinternet kelompok teroris dan pendukungnya ini tidak main-main. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terjadi lonjakan jumlah situs pro-terorisme dari 2.650 situs pada 2013 menjadi 9.800 situs pada 2015. Celakanya, situs-situs pemasok propaganda terorisme itu banyak dikonsumsi oleh anak-anak muda. Contoh kasus Jihad Ver. 2.0 ini sudah terjadi yaitu pada percobaan pengeboman Gereja Santo Yosep di Medan pada 28 Agustus 2016 lalu. Melalui internet, pelaku mempelajari terorisme yang berkaitan dengan gerakan teroris ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi. Dari hasil pemeriksaan diketahui kalau Ivan dibina dan dibaiat lewat fasilitas chatting.
Di Indonesia, bicara soal terorisme tidak mungkin bisa lepas dari bicara tentang kebencian terhadap SARA. Keduanya berada pada satu sisi mata uang yang sama. Hal ini disebabkan para pelaku aksi teror mengklaim gerakannya berdasarkan perintah agama dan menganggap penganut agama lainnya sebagai penghalang atau penentang.
Dua Contoh Penampakan Informasi Sesat yang Berseliweran di Medsos
Jika diamati, selama empat tahun belakangan ini pengguna medsos di Indonesia kerap mendapati penampakan informasi sesat yang berpotensi merusak persatuan bangsa. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
Beberapa hari jelang bulan Ramadhan 1437 H setahun yang lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjadi sasaran amuk sejumlah netizen. Menteri yang dikenal aktif di media sosial ini dituding sesat, kafir, antek Kristen, antek zionis, antek Yahudi, Dajjal, dan berbagai sebutan lainnya. Gegaranya, Lukman men-twitt, “Warung-warung tidak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa.” Apa yang salah dengan dua kalimat yang dicuitkan lewat akun @lukmansaifuddin pada 5 Juni 2015 itu?