Bandara Internasional Frankfurt, Jerman, 2 Maret 2011. Seorang pemuda bergurat wajah Albania berdiri di pelataran parkir Bandara Internasional Frankfurt, Jerman. Sesekali dipandanginya sebuah bus yang diparkir tidak jauh darinya. Pada badan bus itu tertulis “United States Air Force”.
Saat ia mengalihkan pendangannya, dilihatnya seorang berseragam tentara angkatan udara Amerika yang akan melintasinya. Sebelum tentara itu melewatinya, pemuda itu buru-buru menghampiri. Basa-basi singkat pun berlangsung. Dimintanya sebatang rokok kepada tentara Amerika yang dihampirinya tadi. Kemudian sebatang rokok pun berpindah tangan. Sambil menyulut ujung rokok yang diterimanya, pemuda itu bertanya, “Pernah ditugaskan di Afghanistan?”
“Yes,” jawab tentara Amerika tadi. Kemudian tentara itu berbalik dan meninggalkan si pemuda.
Tanpa membuang waktu, pemuda itu segera menarik sepucuk pistol dari balik bajunya. Dibidikkannya pistol itu ke arah kepala belakang tentara yang baru beberapa langkah menjauhinya.
“Allahu akbar!” seru pemuda tadi. Bersamaan dengan seruan nama Tuhan dari mulutnya, telunjuk tangan kanannya itu menarik picu FN P35.
“Dor!” Peluru kaliber 9 mm meluncur deras. Dalam sekedipan mata, peluru itu menembus batok kepala belakang tentara Amerika tadi. Satu korban telah jatuh.
Bukannya melarikan diri, pemuda itu justru berlari ke arah bus bertuliskan “United States Air Force” milik Angkatan Udara Amerika. Lewat pintu depan, ia melompat masuk. Begitu berada di dalam, pemuda tadi langsung melepaskan serentetan tembakan ke arah supir dan penumpang bus. Tiga korban kembali jatuh.
Kemudian pemuda itu menodongkan pistol yang digenggamnya ke penumpang lainnya. Mencari sasaran baru. Sekali lagi jari telunjuknya menarik picu. Tapi, kali ini menembak tidak semudah sebelumnya. Pistol buatan Belgia yang digenggamnya terlepas dan jatuh. Bersamaan dengan itu, ia pun diringkus.
Pemuda itu bernama Arid Uka. Pada malam itu, ia telah membunuh dua tentara Amerika, Senior Airman Nicholas Alden dan Airman First Class Zachari Cuddeback dan melukai dua penumpang bus lainnya.
Hasil penyelidikan polisi Jerman mengungkapkan kalau Uka yang saat itu berusia 21 tahun tidak tercatat sebagai anggota dari jaringan teroris manapun. Ia pun tidak pernah direkrut, apalagi dibina di kamp teroris manapun. Aksi penembakan yang dilakukannya di Bandara Frankfurt itu pun dilakukannya tanpa bantuan orang lain alias lone wolf.
Dalam pemeriksaan, Uka mengaku kalau ia terdorong untuk berjihad setelah aktif mengakses internet, khususnya Facebook. Lewat jejaring sosial buah karya Mark Zuckerberg itu, ia aktif dalam diskusi keagamaan. Karyawan Deutsche Post itu sama sekali tidak menyadari kalau dalam diskusi yang berlangsung selama berminggu-minggu itu dirinya tengah dibina oleh sekelompok teroris yang beroperasi di Jerman. Proses perekrutan serta pembinaan seperti yang dilakukan terhadap Uka inilah yang kemudian dikenal sebagai Jihad Ver. 2.0.
Kepada polisi yang memeriksanya, Uka mengaku kalau penembakan itu dilakukannya lantaran dendam. Ia marah ketika menyaksikan video pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Amerika yang bertugas di Irak terhadap perempuan setempat. Ia begitu meyakini kalau video yang disaksikannya itu benar-benar terjadi. Namun, ternyata, video yang disaksikan Uka lewat Youtube itu hanyalah cuplikan dari adegan sebuah film kampanye anti-perang buatan sineas Amerika.
Ada sejumlah fakta menarik yang didapat dari peristiwa di atas. Salah satunya adalah video yang ditonton Uka dari Youtube. Video yang aslinya adalah cuplikan dari adegan film dipelintir seolah-olah rekaman dari peristiwa yang sebenarnya. Dalam kasus Uka ini jelas ada upaya penyesatan informasi untuk menimbulkan kebencian. Dari sini bisa disimpulkan, Uka adalah pelaku aksi penembakan, tetapi, Uka juga merupakan korban dari propaganda Jihad Ver. 2.0.
(Informasi tentang Arid Uka diramu dari Wikipedia.org dan sumber-sumber lainnya)
Software Jihad Ver. 2.0 sudah Ter-install di Indonesia
Mendengar kata 'Uka', pastinya banyak dari kita yang teringat pada kata 'uka-uka'. Kata ulang yang tidak jelas asal-usulnya ini dipopulerkan oleh Tora Margen dalam program 'Gentayangan' yang ditayangkan oleh MNCTV. Dalam acara yang populer pada tahun 2004 itu, pemirsa mendapat suguhan berupa terekamnya penampakan makhluk gaib yang bergentayangan di sekitar peserta uji nyali. Ada yang percaya kalau para demit itu benar-benar tertangkap kamera. Sebaliknya, ada pula yang menganggap penampakan itu hanyalah trik digital belaka. Baru setelah beberapa tahun berselang, pemirsa mendapati berbagai kejanggalan pada 'Masih Dunia Lain', program yang menjadi pesaing 'Gentayangan'. Lewat kejanggalan-kejanggalan itu, terungkap pulalah kalau kemunculan makhluk halus itu tidak lebih dari sekedar rekayasa alias hoax.
Kalau lewat 'Gentayangan' dan 'Masih Dunia Lain', segala macam trik digunakan untuk membangun kepercayaan pemirsa akan kemunculan para demit di sekitar lokasi uji nyali. Sementara dalam peristiwa penembakan di Frankfurt, penyesatan informasi dimanfaatkan untuk menimbulkan kebencian pada diri Uka kepada bangsa Amerika. Selain adanya penyesatan informasi, dalam kasus Uka pun nampak jelas adanya tahap pengkondisian di mana Islam digambarkan dalam situasi terjajah, teraniaya, terdzolimi, dan lain sebagainya.
Pengkondisian yang sama pun tengah berlangsung di negara ini. Lewat internet, netizen dengan mudah mendapat bahan bacaan tentang umat Islam Indonesia yang digambarkan dalam kondisi terdzolim. Puisi 'Islam Indonesia Dihancurkan' karya Nandang Burhanudin bisa dijadikan salah satu contohnya. Puisi itu menyebar lewat jejaring sosial dan sejumlah situs online. Dari puisi tersebut tersirat dengan jelas kalau pendzoliman terhadap umat Islam itu dituduhkan dilakukan oleh etnis Tiongkok yang mayoritas non-muslim dan pemerintah Jokowi yang mewakili NKRI.
Sama dengan yang terjadi di Jerman. Pengkondisian tentang umat Islam yang tengah didzolimi itu diramu dengan memasukkan unsur penyesatan informasi. Ada foto hoax hasil manipulasi digital yang disebar lewat jejaring sosial. Ada pengaburan informasi. Ada pelintiran berita. Dan, masih banyak lagi bentuk penyesatan lainnya. Ujung-ujungnya sama, tujuannya sama, untuk menciptakan benturan di antara kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.
Terungkapnya aktivitas pentolan jaringan ISIS Indonesia Badrun Naim yang aktif menjaring anggota baru lewat internet telah membuktikan kalau software Jihad Ver. 2.0 ini tengah bekerja aktif di Indonesia. Aktivitas berinternet kelompok teroris dan pendukungnya ini tidak main-main. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terjadi lonjakan jumlah situs pro-terorisme dari 2.650 situs pada 2013 menjadi 9.800 situs pada 2015. Celakanya, situs-situs pemasok propaganda terorisme itu banyak dikonsumsi oleh anak-anak muda. Contoh kasus Jihad Ver. 2.0 ini sudah terjadi yaitu pada percobaan pengeboman Gereja Santo Yosep di Medan pada 28 Agustus 2016 lalu. Melalui internet, pelaku mempelajari terorisme yang berkaitan dengan gerakan teroris ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi. Dari hasil pemeriksaan diketahui kalau Ivan dibina dan dibaiat lewat fasilitas chatting.
Di Indonesia, bicara soal terorisme tidak mungkin bisa lepas dari bicara tentang kebencian terhadap SARA. Keduanya berada pada satu sisi mata uang yang sama. Hal ini disebabkan para pelaku aksi teror mengklaim gerakannya berdasarkan perintah agama dan menganggap penganut agama lainnya sebagai penghalang atau penentang.
Dua Contoh Penampakan Informasi Sesat yang Berseliweran di Medsos
Jika diamati, selama empat tahun belakangan ini pengguna medsos di Indonesia kerap mendapati penampakan informasi sesat yang berpotensi merusak persatuan bangsa. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:
Beberapa hari jelang bulan Ramadhan 1437 H setahun yang lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjadi sasaran amuk sejumlah netizen. Menteri yang dikenal aktif di media sosial ini dituding sesat, kafir, antek Kristen, antek zionis, antek Yahudi, Dajjal, dan berbagai sebutan lainnya. Gegaranya, Lukman men-twitt, “Warung-warung tidak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa.” Apa yang salah dengan dua kalimat yang dicuitkan lewat akun @lukmansaifuddin pada 5 Juni 2015 itu?
Ternyata, kata 'juga' pada kalimat terakhir dihilangkan. Dengan demikian, isinya menjadi, “Warung-warung tidak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa.”
Hanya satu kata yang dihilangkan, tetapi maknanya menjadi jauh berbeda. Sebab tanpa kata 'juga', kicauan Lukman itu berarti menyuruh umat Islam yang berpuasa untuk menghormati mereka yang tidak berpuasa. Tetapi, dengan kata 'juga' yang dalam KBBI bermakna 'saling', maka kicauan Lukman itu berarti mengingatkan umat Islam yang berpuasa dan pemeluk agama lain untuk saling menghormati.
Dan, sekalipun Lukman telah meluruskannya lewat tagar #ubahtwit pada 8 Juni 2015 dan sejumlah media seperti KOMPAS.com pun telah mempublikasinya, tetapi kecaman dan hujatan yang dialamatkan kepadanya tidak juga menyurut. Bahkan, seminggu setelah #ubahtwit dicicitcuitkan, Mahfudz Siddiq yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR RI masih saja mendesak Menag untuk meminta maaf.
“Seperti pernyataan menteri agama yang meminta umat Islam yang akan berpuasa untuk bertoleransi kepada masyarakat lain yang tidak berpuasa. Ini menurut saya di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini, di mana masyarakat akan mudah marah, kurang bijak dan oleh karena itu ke depan hal-hal seperti ini sebaiknya dihindari,” ujar Mahfudz di Jakarta, Minggu (14/6).
“Kalau mencermati reaksi umat, mestinya Menag segera minta maaf, agar memasuki ramadan, umat menjadi lapang dan tidak merasa marah. Mudah-mudahan itu hanya kesalahan lidah saja,” tandasnya seperti yang dikutip oleh Tribunnews.com.
Apakah Mahfudz tidak melihat langsung twitt asli Lukman? Apakah saat mendesak Menag meminta maaf Mahfudz belum mengetahui penjelasan Lukman lewat tagar #ubahtwit? Ataukah Mahfudz dengan sengaja dan kesadaran penuh ingin terus memanasi situasi untuk menimbulkan kebencian kepada pemerintah, Lukman secara pribadi, dan non-muslim?
Enam bulan sebelumnya, sebuah foto yang pertama kali diunggah oleh akun Twitter @estiningsihdwidan akun Facebook Dwi Estiningsih menghebohkan lini masa. Menurut pengunggahnya, selembar kertas yang ada dalam foto itu berisikan persyaratan penerimaan calon pegawai di sebuah BUMN pada tahun 2014. “Tato boleh. Kutek boleh. Rambut disemir juga boleh. Jilbab syar’i lewat...” begitu cecuit @estiningsihdwi yang menyertai unggahan fotonya.
Kehebohan di medsos itu pun kemudian merembet ke media arus utama. Sejumlah situs berita online memberitakannya lengkap dengan komentar sejumlah tokoh penting, termasuk politisi Senayan Hidayat Nur Wahid (HNW). Wakil Ketua MPR itu mendesak Menteri BUMN Rini Soemarno mengklarifikasinya.
“Harus diklarifikasi, apa benar ada pelarangan seperti itu?” kata HNW di Komplek Parlemen, Senayan pada 17 Desember 2014. “Apa relevasi larangan jilbab, janggut, dan celana dalam bekerja,” pungkasnya seperti yang dikutip Republika.co.id.
Beruntung Indonesia memiliki Kompasiana. Lewat blog keroyokan ini, ditayangkan sebuah artikel yang menunjukkan banyaknya kejanggalan pada foto yang menghebohkan tersebut. Di antaranya, ”Tidak janggut (khusus laki-laki”, “Kumis Rapi (laki-laki”, dan ini yang paling konyol “Jerawat tidak menetap dan tidak bany...”.
Artikel yang ditayangkan di Kompasiana pada 18 Desember 2014 itu kemudian tersebar lewat media sosial. Ada yang men-copas-nya dengan menautkan link. Ada pula yang men-copas-nya tanpa memberikan link. Sejumlah media online pun kemudian menuliskannya. Sebaliknya, ada juga media yang menghapus beritanya, contohnya Republika.co.id yang menghapus respon HNW.
Sekalipun banyak netizen yang menanyakan kebenaran soal foto kontroversial itu, @estiningsihdwi tidak meresponnya. Ia hanya mau menanggapi akun-akun yang mendukungnya, salah satunya @fahiraidris. Barulah pada 18 Desember 2014, pemilik akun @estiningsihdwi membeberkan penjelasannya. Kicaunya, “Foto itu asli, benar adanya yaitu form dan catatan untuk asesor (penilai). Bukan pengumuman. Saya ulangi bukan selebaran atau sejenisnya.”
Oke, foto itu merupakan penampakan form catatan untuk seorang penilai. Tetapi, bagaimana dengan sederet kata-kata konyol yang ada pada form tersebut? Wajarkah? Kemudian, kenapa setiap kata-kata konyol yang ada pada form tersebut dicetak tebal seperti sengaja menarik perhatian? Lantas, soal jerawat, kalau bukan untuk memancing tawa, bukannya cukup ditulis 'tidak berjerawat'. Dan, serentetan kata 'jerawat tidak menetap' pastinya hanya keluar dari pikiran yang diselimuti suasana penuh canda. Apa ada di dunia ini jerawat yang bisa berpindah-pindah tempat?
Selain itu, sekalipun banyak pengguna media sosial yang meminta diunggahkan foto lainnya, tapi baik akun @estiningsihdwi atau pun akun FB Dwi Estiningsih, tidak memenuhi permintaan itu. “Ini satu-satunya foto yang saya tweet. ....” Keengganan @estiningsih untuk mengunggah foto-foto lainnya semakin menguatkan dugaan kalau ia hanya menerima kiriman foto. Dan, foto yang diterimanya pun hanya satu.
Kerancuan lain dari penjelasan @estiningsihdwi adalah bantahannya kalau ia tidak menyasar Rini sebagai Menteri BUMN, tetapi di saat yang hampir bersamaan ia mengatakan rekrutmen pegawai tersebut terjadi pada pemerintahan baru di tahun 2014. Siapa Menteri BUMN di pemerintahan baru pada 2014 selain Rini Sumarno? (Penjelasan belibet @estiningsihdwi soal foto yang diunggahnya bisa dibaca di sini.
Sebagai catatan. Kasus konten parodi yang dipelintir sebagai muatan 'lurus' juga terjadi beberapa hari sebelum @estiningsihdwi mengunggah foto kontroversialnya. Ketika itu situs PKSpiyungan.org menayangkan “Hemat Air, MenPAN Diminta Hanya Perbolehkan PNS Mandi Seminggu Sekali”. Karuan saja, akibat dari tayangan itu, MenPAN-RB Yuddy Chrisnandi di-bully habis-habisan. Aneh bukan, padahal dari judulnya saja sudah terbaca 'diminta', artinya penghematan air yang ujung-ujungnya 'Mandi Seminggu Sekali' itu bukan gagasan Yuddy. Berbeda jauh kalau pada judulnya tertulis 'meminta'. Apapun itu, mandi seminggu sekali bagi masyarakat Indonesia terbilang sangat aneh.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata PKSpiyungan men-copas artikel tersebut dari Posronda.netyang dikenal sebagai situs satir. Dan sekalipun dalam sejumlah komentar netizen mengingatkan kalau artikel di Posronda.net itu hanyalah satir dan pengelola Posronda.net pun telah mencatumkan disclaimer di bawah artikel tersebut, tetapi pengelola situs PKSpiyungan.org tidak menggubrisnya apalagi sampai menghapus postingannya. (Artikel tentang mandi seminggu sekali bisa dibaca di sini.)
Kasus #ubahtwit dan kasus parodi persyaratan penerimaan calon pegawai BUMN hanyalah dua dari setumpuk kasus yang berpotensi merusak kebhinekaan bangsa Indonesia. Masih berentetan kasus lainnya yang berseliweran di lini masa. Jika diperhatikan, konten dengan muatan kebencian yang berbau SARA ini meningkat tajam sejak memasuki putaran kedua Pilgub DKI 2012. Tren ini terus meningkat saat mendekati masa Pemilu 2014. Tidak berhenti sampai di situ, begitu memasuki tahun 2015 konten berisi penyesatan ini semakin menjamur seiring dengan bertambahnya situs online baru.
Dari kedua contoh di atas, bisa dikatakan kalau bergentayangannya penampakan konten berisi penyesatan informasi di media sosial sudah memakan korban. Dan ini yang paling menarik. Ternyata korban, katakanlah demikian karena kita tidak tahu motif yang sebenarnya, tidak mengenal usia, tingkat pendidikan, dan status sosial. Buktinya, Mahfudz dan HNW. Keduanya berusia matang, sama-sama berpendidikan tinggi, bahkan HNW bergelar Doktor. Baik Mahfudz dan HNW sama-sama menduduki jabatan penting di negara ini. Selain itu, keduanya pun dikenal sebagai petinggi dari Partai Keadilan Sejahtera. Demikian juga dengan pemilik akun Twitter @estiningsihdwi dan akun FB Dwi Estiningsih yang diketahui berlatar pendidikan S2 dan pernah mencalonkan diri sebagai caleg lewat PKS.
Jika tidak dilawan, penyesatan informasi yang disebarluaskan lewat medos itu akan melahirkan Uka-Uka baru yang akan bergentayangan mencari mangsanya. Menariknya, menurut Direktur Penindakan BNPT Petrus Golose, untuk menjaring anak-anak muda, para pelaku terorisme pun memanfaatkan situs-situs porno.
Persoalannya, Bagaimana Cara Membentengi Netizen agar Tidak Menjelma Jadi 'Uka-uka'?
Sebenarnya, caranya sangat mudah. Setidaknya ada tiga lelakon atau ritual yang bisa dilakukan oleh netizen agar tidak menjelma menjadi Uka-Uka.
Pertama, kalau mendapati penampakan informasi yang dirasa miring, jangan malas untuk googling. Cari informasi pembading terkait isu yang dirasa miring tersebut. Cukup dengan mengetikkan sejumlah kata kunci pada kotak pencarian Google, netizen akan mendapatkan sejumlah informasi alternatif sebagai bahan pembanding. Dengan cara itu, netizen bisa mengetahui apakah kebenaran dari informasi yang melintas di lini masanya. Dalam kasus 'menghormati yang tidak berpuasa' misalnya, netizen bisa meng-googling, kemudian mengklik akun Twitter @lukmansaifuddin. Dari akun milik Lukman itu, netizen bisa melihat secara langsung kicauan aslinya.
Kedua, buka mata lebar-lebar. Tidak diperlukan tingkat ketajaman penglihatan tertentu untuk melakukannya. Cukup amati beberapa titik tertentu. Dalam foto 'parodi persyaratan penerimaan calon pegawai BUMN', misalnya, dengan mudah kejanggalan-kejanggalan itu terlihat. Apalagi pada kata-kata konyol pada foto itu terlihat jelas karena dicetak dengan huruf-huruf tebal.
Ketiga, ini cara yang paling mudah. Bertanyalah.
(Sebenarnya masih ada tiga cara lainnya. Hanya saja karena mau tidak mau harus disertai contoh kasus, maka hasilnya akan membuat artikel ini menjadi panjang sepanjang jalan kenangan.)
Tiga cara di atas sudah bisa dikatakan sangat ampuh untuk membentengi diri sendiri dari penampakan informasi sesat. Tetapi, tidak cukup untuk melindungi netizen lainnya. Satu-satunya “ritual” agar netizen lainnya tidak terpengaruh oleh penyesatan informasi adalah dengan mengungkapkannya. Tuliskan saja sanggahan atas penyesatan informasi itu lewat akun-akun media sosial atau menuliskannya di Kompasiana.
Ini Tumpukan Bukti kalau Penyesatan Informasi itu bukan Didasari oleh Faktor Agama, tapi Politik
Selain itu, melawan penyesatan informasi yang berpotensi mengakibatkan benturan antar pemeluk agama tidak cukup hanya dengan melakoni ritual-ritual di atas. Netizen pun harus meyakini kalau penyesatan informasi yang beraroma menyebar kebencian itu bukan dilandasi oleh faktor agama, tetapi politik atau faktor lainnya.Ada sejumlah bukti kalauujaran kebencian itu tidak terkait dengan faktor agama?
Pertama, peningkatan penyebarannya meningkat tajam saat memasuki momen-momen politik, seperti putaran kedua Pilgub DKI 2012, Pemilu 2014, dan Pilgub DKI 2017. Ambil contoh putaran kedua Pilgub DKI 2012. Pada putaran pertama belum ada ujaran kebencian yang digelontorkan kepada pasangan Jokowi-Ahok. Serangan berbau SARA yang dilancarkan kepada pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra itu baru terjadi setelah putaran kedua. Dan, sudah menjadi rahasia umum kalau ujaran kebencian bermuatan SARA pada waktu itu banyak dilontarkan oleh akun-akun yang diduga sebagai kader dan simpatisan PKS.
Kalau ditelusuri lebih jauh, ternyata serangan berbau SARA yang banyak dilancarkan oleh akun-akun yang diduga sebagai kader dan simpatisan PKS itu terjadi setalah serangkaian pertemuan antara Jokowi dan HNW tidak menghasilkan kesepakatan. Menurut Tempo.co, gagalnya kesepakatan tersebut dikarenakan mahar senilai Rp 50 milyar yang dimintakan HNW ditolak oleh Jokowi.
Seandainya keduanya mencapai kesepakatan alias mahar yang dimintakan HNW dibayarkan oleh Jokowi, apakah pada putaran kedua Pilgub DKI 2012 disemarakkan oleh ujaran-ujaran yang berbau SARA? Dari sini jelas, ujaran kebencian bukan hanya karena kepentingan politik, tapi juga uang, “It’s all about the money”. Selain itu, jumlah situs-situs penyebar propaganda terorisme yang juga berisikan konten-konten kebencian atas SARA pun meroket pada 2014. Tidak tanggung-tanggung jumlah situs-situs tersebut melonjak hampir hampir 400 % atau empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Kedua, pelaku-pelaku penyebar konten bermuatan bermuatan pun umumnya berlatar belakang dunia politik. Sasarannya pun tokoh-tokoh politik yang berseberangan posisi, seperti Lukman, Rini, Yuddy, dan pastinya Jokowi. Timbul pertanyaan, kalau penyesatan informasi itu didasari oleh faktor agama, kenapa sasarannya bukan tokoh-tokoh penganut agama lain?
Contoh yang paling mudah dipahami dalam hal ini adalah tentang takbir keliling. Larangan takbir keliling di jalanan ibu kota sudah ada sejak masa pemerintahan Sutiyoso dan dilanjutkan oleh penerusnya, Fauzi Bowo. Tetapi, ketika Jokowi menyampaikan imbauannya untuk tidak menggelar takbir keliling, serentetan kecaman langsung terlontar. Tidak hanya itu pelintiran-pelintiran serta penyesatan informasi pun beredar di dunia maya. Bahkan ada situs online yang mengatakan Jokowi memerintahkan tembak di tempat bagi yang kedapatan menggelar takbir keliling. Artikel tentang contoh kasus ini bisa dibaca di sini.
Ketiga. Kalau memang ujaran kebencian itu berdasarkan agama, kenapa pengharaman terhadap calon pemimpin berubah-ubah tergantung kepentingan politik? Misalnya, pengharaman terhadap pemimpin perempuan. Pengharaman terhadap pemimpin perempuan ini bukan saja berubah-ubah dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun yang sama pun pengharaman ini berbeda-beda untuk setiap daerahnya.
Demikian juga dengan pengharaman terhadap calon pemimpin non-muslim yang diberlakukan berbeda-beda untuk setiap daerahnya. Contohnya, penghalalan memilih caleg PKS non-muslim di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Sementara, dalil-dalil kedaruratan yang disampaikan oleh kader-kader PKS mudah sekali dipatahkan sebab pencalegan adalah hak partai, dan bukan kewajiban.
Keempat. Selain disasarkan kepada tokoh-tokoh politik, penyesatan-penyesatan informasi pun gencar disarangkan kepada ormas Islam yang dianggap berseberangan posisi. Misalnya kepada Nahdlatul Ulama (NU). Ujaran kebencian itu tidak saja disasarkan kepada NU sebagai organisasi, tetapi juga kepada tokoh-tokoh NU, terutama kepada Gus Dur.
Sejumlah ucapan Gus Dur dipelitir sedemikian rupa hingga menimbulkan kebencian terhadap Presiden RI ke 4 itu. Kebencian terhadap NU itu kemudian tertangkap lewat video berisi ancaman yang dilontarkan oleh ISIS. Lewat video yang diunggahnya lewat Youtube, anggota jaringan ISIS asal Indonesia Salim Mubarok At Tamimi atau yang lebih dikenal dengan Abu Jandal Al Yemeni Al Indonesi mengancam akan membinasakan Baser NU.
Kelima. Tidak semua umat Islam mendukung permusuhan terhadap penganut ajaran lain. Jumlah umat Islam yang mengobarkan kebencian atas dasar SARA tidak banyak. Hanya karena suara mereka yang keras dan lantang serta mengatasnamakan Islam, seolah segelintir umat Islam ini mewakili miliaran umat Islam lainnya.
Dan, sebenarnya, tidak sedikit dari kader-kader PKS yang menentang konten-konten penyesatan informasi yang disebarluaskan oleh PKSpiyungan dan Fan Page Jonru. Kegeraman kader-kader partai dakwah ini terekam dalam obrolan di Facebook.
Karena itu, untuk menegaskan kalau ujaran kebencian itu hanya berdasarkan keberpihakan politik dan bukan agama, netizen jangan takut untuk mencantumkan nama partai politik yang dimaksud. Penyebutan pihak-pihak itu tidak bisa diartikan sebagai penyudutan, pemojokan, pendiskriditan, atau apapun istilahnya, terhadap kelompok politik tertentu. Apalagi kalau pemberitaan terkait hal ini sudah luas diberitakan oleh sejumlah media arus utama.
Netizen tidak mungkin hanya menyampaikan himbauannya untuk merawat kebhinekaan tanpa menyertakan fakta yang sebenarnya. Menutupi fakta atau menutupi sebagian dari informasi bisa dikatakan sebagai sikap kekanak-kanakan yang justru tidak sehat bagi upaya melawan penyesatan informasi. Justru dengan mengungkapkannya secara terbuka, kita telah berupaya membuktikan kalau ujaran kebencian yang disampaikan lewat penyesatan informasi itu bukan didasari oleh faktor agama, tapi pilitik, bahkan uang.
Di dunia maya, konten-konten penyebar kebencian menyebar luas dengan cepat secara viral. Penyebarannya pun sudah masuk ke grup-grup yang beranggotakan pelajar SMP dan SMA. Sementara, upaya BNPT lewat situs Damai.id kurang mendapat respon netizen. Pada setiap artikel yang diunggah pada situs tersebut hanya diklik rerata di bawah 200. Padahal, situs Damai.id merupakan salah satu saluran dalam melancarkan deradikalisasi. kontra ideologi, kontra radikalisasi, kontra-propaganda, dan kontra-narasi.
Akhirnya Artikel Ini Ditutup Juga
Melawan penyesatan informasi yang disebar lewat media sosial sama saja dengan merawat kerukunan antar umat beragama. Ungkapkan saja perlawanan itu di jejaring sosial. Netizen pun bisa menuliskannya di Kompasiana. Admin Kompasiana pun pastinya mendukung upaya pelurusan terhadap penyesatan informasi ini. Buktinya, dulu, hampir pada setiap artikel yang menuliskan pelurusan informasi sesat, admin mengganjarnya dengan label Headline dan Trending Article.
Lewat media sosial, netizen bisa memperoleh banyak informasi. Tetapi, di antara bermilyar informasi yang bertebaran itu tidak sedikit informasi sesat yang menyisip. Ada dialog antara agen FBI Fox Mulder dengan mitranya Dana Scully yang terkenal dalam serial The X File.
“Mulder, the truth is out there,” ucap Scully, “...but so are lies.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H