Ternyata, kata 'juga' pada kalimat terakhir dihilangkan. Dengan demikian, isinya menjadi, “Warung-warung tidak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa.”
Hanya satu kata yang dihilangkan, tetapi maknanya menjadi jauh berbeda. Sebab tanpa kata 'juga', kicauan Lukman itu berarti menyuruh umat Islam yang berpuasa untuk menghormati mereka yang tidak berpuasa. Tetapi, dengan kata 'juga' yang dalam KBBI bermakna 'saling', maka kicauan Lukman itu berarti mengingatkan umat Islam yang berpuasa dan pemeluk agama lain untuk saling menghormati.
Dan, sekalipun Lukman telah meluruskannya lewat tagar #ubahtwit pada 8 Juni 2015 dan sejumlah media seperti KOMPAS.com pun telah mempublikasinya, tetapi kecaman dan hujatan yang dialamatkan kepadanya tidak juga menyurut. Bahkan, seminggu setelah #ubahtwit dicicitcuitkan, Mahfudz Siddiq yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Komisi I DPR RI masih saja mendesak Menag untuk meminta maaf.
“Seperti pernyataan menteri agama yang meminta umat Islam yang akan berpuasa untuk bertoleransi kepada masyarakat lain yang tidak berpuasa. Ini menurut saya di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini, di mana masyarakat akan mudah marah, kurang bijak dan oleh karena itu ke depan hal-hal seperti ini sebaiknya dihindari,” ujar Mahfudz di Jakarta, Minggu (14/6).
“Kalau mencermati reaksi umat, mestinya Menag segera minta maaf, agar memasuki ramadan, umat menjadi lapang dan tidak merasa marah. Mudah-mudahan itu hanya kesalahan lidah saja,” tandasnya seperti yang dikutip oleh Tribunnews.com.
Apakah Mahfudz tidak melihat langsung twitt asli Lukman? Apakah saat mendesak Menag meminta maaf Mahfudz belum mengetahui penjelasan Lukman lewat tagar #ubahtwit? Ataukah Mahfudz dengan sengaja dan kesadaran penuh ingin terus memanasi situasi untuk menimbulkan kebencian kepada pemerintah, Lukman secara pribadi, dan non-muslim?
Enam bulan sebelumnya, sebuah foto yang pertama kali diunggah oleh akun Twitter @estiningsihdwidan akun Facebook Dwi Estiningsih menghebohkan lini masa. Menurut pengunggahnya, selembar kertas yang ada dalam foto itu berisikan persyaratan penerimaan calon pegawai di sebuah BUMN pada tahun 2014. “Tato boleh. Kutek boleh. Rambut disemir juga boleh. Jilbab syar’i lewat...” begitu cecuit @estiningsihdwi yang menyertai unggahan fotonya.
Kehebohan di medsos itu pun kemudian merembet ke media arus utama. Sejumlah situs berita online memberitakannya lengkap dengan komentar sejumlah tokoh penting, termasuk politisi Senayan Hidayat Nur Wahid (HNW). Wakil Ketua MPR itu mendesak Menteri BUMN Rini Soemarno mengklarifikasinya.
“Harus diklarifikasi, apa benar ada pelarangan seperti itu?” kata HNW di Komplek Parlemen, Senayan pada 17 Desember 2014. “Apa relevasi larangan jilbab, janggut, dan celana dalam bekerja,” pungkasnya seperti yang dikutip Republika.co.id.
Beruntung Indonesia memiliki Kompasiana. Lewat blog keroyokan ini, ditayangkan sebuah artikel yang menunjukkan banyaknya kejanggalan pada foto yang menghebohkan tersebut. Di antaranya, ”Tidak janggut (khusus laki-laki”, “Kumis Rapi (laki-laki”, dan ini yang paling konyol “Jerawat tidak menetap dan tidak bany...”.