Sandiaga tidak berbeda dengan Ical yang tidak layak jual.
Produk yang layak jual pastinya diklik oleh konsumennya. Kalau pasar tidak ngeklik pastinya ada sesuatu dengan produk tersebut. Bisa jadi karena telah beredarnya informasi miring yang membuat orang ogah membeli.
Soal klik, ternyata bukan antar manusia saja. Tetapi juga antar manusia dengan lingkungan di sekitarnya, contohnya warteg.Â
Setiap jelang pemilu tidak sedikit kontestan yang mengadh nasib dengan makan di warteg. Maksudnya, agar dinilai merakyat. Sayangnya, karena tidak terbiasa makan di warteg, gestur para kontestan itu pun terlihat kaku.Â
Bahkan tidak sedikit yang mempertontonkan rasa jijiknya. Kekakuan gestur itu menunjukkan kalau mereka tidak klik dengan warteg.
Banyak yang berpikir kalau Jokowi berhasil dalam blusukannya karena penampilannya yang ndeso. Pikiran tersebut salah besar.Â
Sebab para selebritis yang ganteng, cantik, kaya, serta berpenampilan wah pun bisa klik dengan masyarakat yang, terutama fansnya. Para selebritis itu bisa klik karena terbiasa berdekatan dengan masyarakat dari beragam latar belakang.
Singkatnya, sosialisasi Sandiaga yang sudah berlangsung sekitar setahun ini telah gagal mendongkrak elektabilitasnya. Kalau kegagalan itu dikarenakan salah kemasan, Sandiaga tinggal mengubah bungkusnya saja.
Tetapi kalau disebabkan adanya sentimen negatif, Sandiaga Uno akan kesulitan mengangkat elektabilitasnya.
Sayangnya, dalam pilkada dukungan parpol sebanyak apapun jumlah parpolnya tidak berpengaruh signifikan terhadap raihan suara. Jadi, sekalipun ketujuh parpol koalisi Kekeluargaan memberi dukungannya, belum tentu elektabilitas Sandiaga akan terangkat naik.
Ical gagal nyapres karena elektabilitasnya yang berada jauh di bawah Jokowi dan Prabowo. Dengan modal elektabilitasnya yang rendah itu, akhirnya Ical hanya menjadi penggembira sebagai anggota timses Prabowo-Hatta.Â