Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jika Gagal "Klik", Nasib Sandiaga Bakal Mirip Ical

27 Agustus 2016   08:27 Diperbarui: 2 April 2018   15:48 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sandiaga Uno. Kompas.com

"Sandi ini Junior saya. Kira-kira gini  Mas Sandi, kalau mau jadi pemenang (Pilgub) harus klik dengan rakyat," celoteh Ketua MPP PAN Soetrisno Bachir kepada Sandiaga Uno seperti dikutip sejumlah media.

Soetrisno menyampaikan celotehannya itu saat ia memberi sambutan dalam HUT PAN di DPP PAN, Jalan Senopati, Jakarta Selatan, Selasa, 23 Agustus 2016. 

Soetrisno pun kemudian menyebut Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Bojonegoro Suyoto yang klik dengan rakyatnya.

“Klik” yang dimaksud oleh Soetrisno adalah terhubung secara emosional. Klik dengan rakyat artinya memiliki jalinan batin dengan rakyat. Dan, Soetrisno benar, untuk klik dengan orang banyak atau rakyat itu tidak gampang.

Banyak yang berpikir blusukan dapat membangun klik dengan rakyat. Tidak heran kalau banyak yang mencoba mengikuti keberhasilan blusukan yang dilakukan Jokowi. 

SBY sempat dua kali mencontoh blusukan ala Jokowi. Sementara, Amien Rais pernah mendorong caleg-caleg PAN untuk blusukan seperti yang Jokowi lakukan

Kalau blusukan hanya dimaknai sebagai kunjungan, sowan, atau anjangsana pastinya banyak sekali tokoh yang berhasil mengklik rakyat. Tapi sayangnya tidak demikian. Blusukan yang berhasil harus bisa “dari mata turun ke hati”. Nah, soal hati adalah urusan perasaan yang tidak bisa dimanipulasi  ataupun direkayasa. Dari hati itulah timbul empati atau simpati yang kemudian berujung dengan klik.

Untuk sampai terbangunnya klik, maka sekat-sekat penghalang harus lebih dulu disingkirkan. Karena itu ketatnya pengawalan dan kakunya protokoler seharusnya disingkirkan, setidaknya dilonggarkan.

Melihat foto-foto sosialisasi Sandiaga yang tersebar di sejumlah media online, terlihat sejumlah pengawal yang mengelilinginya. 

Tentu saja kehadiran pengawal bisepnya seukuran durian runtuh itu telah sukses menjauhkan Sandiaga dengan warga yang diblusukinya.

Selain pagar rapat bodyguard, Sandiaga dan rombongannya pun menggenakan kostum khusus yang modelnya tidak ditemukan di pasar.

Akibatnya, terjadi pengkotakan antara rombongan Sandiaga dengan warga yang dikunjunginya. Dan, gegara kostum khusus itu, proses pembauran yang diharapkan terjadi pun gagal. Yang ada, “Lu lu, gue gue.”

Kalau secara fisik saja Sandiaga sudah membentengi dirinya  bagaimana mungkin warga yang ditemui bisa klik dengannya. Adanya jarak secara fisik saja sudah menunjukkan hubungan kaku antara Sandiaga dengan warga.

Dan, untuk melunakkan atau mencairkan kekakuan pastinya memerlukan proses. Dan proses membutuhkan waktu.

Sejak setahun terakhir ini Ssndiaga menggelar serangkaian sosialisasi, tetapi elektabilitasnya masih juga jalan di tempat di sekitar 6%. Masalahnya, hari pencoblosan tinggal sekitar 6 bulan lagi. 

Kalau rentang waktu setahun saja Sandi gagal mendongkrak elektabilitasnya. Bagaimana dengan waktu 6 bulan. 

Padahal, sejak 21 September 2016 yang ditetapkan sebagai batas akhir pendaftaran calon sampai hari pencoblosan, Sandiaga sudah tidak bisa lagi menggelar acara sosialisasi seperti sebelumnya. Sebab setelah hari itu, seluruh aturan pemilu sudah melekat pada cagub.

Kasus Sandiaga Uno ini mirip dengan Aburizal Bakrie. Setidaknya sejak 2013 atau setahun jelang Pilpres 2014, Ical sudah bersafari dengan mendompleng sosialisasi dan kampanye kader-kader Golkar yang terjun di sejumlah daerah. Ical pun gencar mempromosikan dirinya lewat 2 stasiun TV miliknya.

Selain itu, lewat Atap Rumah Bangsa, Ical menggelar sejumlah program untuk mendukung kampanyenya. Tetapi, semua usaha Ical itu gagal. Elektabilitasnya hanya merangkak tipis dari 8% ke 10%, dan tidak mungkin memenangi pemilu.

Ical kesulitan mendongkrak elektabilitasnya karena sentimen negatif masyarakat kepadanya. Kasus Lapindo pastinya telah membuat masyarakat tidak menyukainya.

Mengubah tidak suka menjadi suka bukanlah pekerjaan ringan. Karenanya menggeser sentimen publik dari negatif ke positif pun tidak gampang.

Lantas, bagaimana dengan sentimen terhadap Sandiaga? Positif atau negatif? Apakah pemberitaan tentang Panama Paper dan pelecehan seksual yang dilakukan Sandiaga terhadap Dewi Persik mempengaruhi sentimen publik kepadanya? Kalau jawabannya “ya”, artinya nasib 

Sandiaga tidak berbeda dengan Ical yang tidak layak jual.

Produk yang layak jual pastinya diklik oleh konsumennya. Kalau pasar tidak ngeklik pastinya ada sesuatu dengan produk tersebut. Bisa jadi karena telah beredarnya informasi miring yang membuat orang ogah membeli.

Soal klik, ternyata bukan antar manusia saja. Tetapi juga antar manusia dengan lingkungan di sekitarnya, contohnya warteg. 

Setiap jelang pemilu tidak sedikit kontestan yang mengadh nasib dengan makan di warteg. Maksudnya, agar dinilai merakyat. Sayangnya, karena tidak terbiasa makan di warteg, gestur para kontestan itu pun terlihat kaku. 

Bahkan tidak sedikit yang mempertontonkan rasa jijiknya. Kekakuan gestur itu menunjukkan kalau mereka tidak klik dengan warteg.

Banyak yang berpikir kalau Jokowi berhasil dalam blusukannya karena penampilannya yang ndeso. Pikiran tersebut salah besar. 

Sebab para selebritis yang ganteng, cantik, kaya, serta berpenampilan wah pun bisa klik dengan masyarakat yang, terutama fansnya. Para selebritis itu bisa klik karena terbiasa berdekatan dengan masyarakat dari beragam latar belakang.

Singkatnya, sosialisasi Sandiaga yang sudah berlangsung sekitar setahun ini telah gagal mendongkrak elektabilitasnya. Kalau kegagalan itu dikarenakan salah kemasan, Sandiaga tinggal mengubah bungkusnya saja.

Tetapi kalau disebabkan adanya sentimen negatif, Sandiaga Uno akan kesulitan mengangkat elektabilitasnya.

Sayangnya, dalam pilkada dukungan parpol sebanyak apapun jumlah parpolnya tidak berpengaruh signifikan terhadap raihan suara. Jadi, sekalipun ketujuh parpol koalisi Kekeluargaan memberi dukungannya, belum tentu elektabilitas Sandiaga akan terangkat naik.

Ical gagal nyapres karena elektabilitasnya yang berada jauh di bawah Jokowi dan Prabowo. Dengan modal elektabilitasnya yang rendah itu, akhirnya Ical hanya menjadi penggembira sebagai anggota timses Prabowo-Hatta. 

Kalau rasionalitas elit parpol jelang Pilgub DKI 2017 ini masih sama dengsn 2 tahun yang lalu, bisa dipastikan nasib Sandiaga bakal sama dengan Ical .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun