Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pada Akhirnya, Megawati akan Memilih Boy Sadikin Sebagai Cagub DKI 2017

20 Agustus 2016   17:29 Diperbarui: 20 Agustus 2016   17:36 2948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbayang sebuah rumah besar di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sore itu si empunya rumah tengah menikmati secangkir teh di salah satu terasnya. Sesekali ia menyapu pandangan ke sekelingnya. Sederet pot tanaman hias yang ditata apik sedikit banyak menenangkan pikirannya.

Sementara di samping cankir teh yang masih menyisakan separuh isinya tergeletak sebuah tablet. Layar tablet itu masih memancarkan cahaya. Pada pojok kanan atas layar tablet itu terbaca "Kompasiana".  Pada layar nampak pula foto hitam putih lelaki berambut gondrong. "Gatot Swandito" demikian dua kata yang tercantum di bagian bawah foto. 

"Tulisan anak ini benar," bisik hatinya. Sekilas diliriknya lagi huruf-huruf besar yang menjadi judul tulisan, "Pada Akhirnya, Megawati akan Memilih Boy Sadikin Sebagai Cagub DKI 2017".

Tulisan yang ditayangkan oleh Kompasianer itu sangat sederhana dan begitu mudah dipahami olehnya. Tetapi, di balik kesederhanaan itu tersimpan energi dahyat yang sanggup menyadarkan banyak pembacanya. 

Tulisan yang ditayangkan pada Sabtu 20 Agustus 2016 itu di awali dengan bukti nyata tentanf perjuangan kader-kader PDIP dalam sejumlah pilkada. Dalam tulisan itu, Gatot menyampaikan sejumlah fakta kalau PDIP tidak mendukung kader partai lain, meskipun kader partai lain itu maju sebagai petahana dengan tingkat elektabilitasnya yang tinggi.

Di Jawa Barat, Rieke Dyah Pitaloka maju ke medan tempur melawan dua cagub petahana Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf dalam Pilgub Jabar 2013. Masih di tahun yang sama Ganjar Pranowo terjun di Pilgub Jateng 2013 menghadapu cagub petahana Bibit Waluyo. Selain itu masih ada Bambang DH dalam Pilgub Jatim 2013 dan Effendi Simbolon yang dijagokan PDIP pada Pilgub Sumut 2013. Gatot pun menyebut Jokowi yang yang diturunkan oleh PDIP untuk melawan Foke pada Pilgub DKI 2012.

Benar, tegas Gatot dalam tulisannya, tidak semua jagoan PDIP itu sanggup mengalahkan calon petahana. Malah, lebih banyak yang kalah ketimbang yang menang. Tetapi, perjuangan dari para kader PDIP itulah yang patut diapresiasi. Tidak hanya itu, sambung Gatot, jika melihat dari lonjakan tingkat elektabilitasnya, kader-kader PDIP itu telah berjuang semaksimal mungkin. Gatot pun tidak lupa mencantumkan link tulisan lawasnya yang diberi judul "Miskin Data, TV One Sebut Jokowi Effect Redup".

Ujung telunjuk tangan kiri perempuan itu kembalu menyentuh layar tablet. Dengan sedikit geser nampaklah kalimat yang dicarinya. "PDIP lebih memilih berjuang berdarah-darah demi mendukung kadernya sendiri meski bayangan kekalahan terus menghantui". 

Ujung jari kembali digerakkan. Tampilan layar tablet pun menggulung ke atas. "Kader-kader PDIP," kembali perempuan itu membaca, "pastinya merasa dihargai loyalitas, dedikasi, kinerja, dan lainnya kalau partainya mencalonkan salah seorang di antara mereka. Sebab mendukung calon dari luar parpol sama saja dengan tidak mengangap keberadaan kader partainya sendiri."

"PDIP harus menyadari karakter partainya yang ber-DNA pejuang, bukan pembebek apalagi perengek," ucap Perempuan itu mengikuti deretan kata yang berada tepat ditunjuk oleh jarinya. Sekali lagi perempuan itu mengangguk pelan. 

"Tapi, siapa kader PDIP yang pantas untuk Pilgub DKI 2017? Apakah Djarot Saiful Hidayat?" Mata perempuan itu kembali menyapu serentetan kalimat tanya yang sempat membuat dahinya mengernyit.

"Pastinya bukan Djarot. Sebab Djarot begitu melekat erat dengan Ahok. Kebijakan Ahok pastinya tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Djarot sebagai wakil gubernurnya."

Untuk ketiga kalinya perempuan itu membaca rangkaian kalimat yang membuatnya terkagum-kagum pada penulisnya. "Dan, jarang terjadi dalam sebuah pemilu, wakil sanggup mengalahkan "boss-nya". JK kalah dari SBY dalam Pilpres 2009. Dede Yusuf tidak mampu mengalahkan Aher. Puspayoga kalah tipis nol koma dari Mangku Pastika pada Pilgub Bali 2013!"

Dan satu alenia lagi yang membuatnya ingin bertemu dengan penulisnya. "Lantas, siapa kader PDIP yang layak dicalonkan? Jawabannya, Boy Sadikin!" Awalnya ia tersenyum lebar mambaca nama Boy Sadikin dinilai pantas untuk dicalonkan. Hampir saja ia beralih ke artikel lainnya. Hanya saja rasa penasaran menghinggapinya. Dengan sedikit malas perempuan bertahi lalat di dagunya itu pun kembalu membaca.

"Boy adalah kader PDIP. Selain itu posisi Boy berseberangan dengan Ahok dalam soal reklamasi. Posisi ini merupakan poin positif bagi Boy sebab dalam proyek reklamasi tersebut Ahok mendapat penilain negatif.

Akibat penolakannya terhadap reklamasi. Boy pun berseteru dengan Fraksi PDIP DKI. Karena tidak menemui jalan keluar, Boy pun memilih mundur dari kepengurusan DPD PDIP DKI. Belakangan publik mengetahui ada megakorupsi dalam pembahasan perda terkait reklamasi. Dengan demikian, keputusan Boy dalam polemik reklamasi sudah sangat tepat."

Sampai di situ, perempuan berambut pendek itu memahami alur pikiran dari tulisan yang dibacanya.

"Dan, kalau dibandingkan dengan Djarot ataupun Ahok, jelas sebagai putra daerah Boy memiliki ikatan emosional dengan warga DKI."

Kemudian, paragraf paling bawah pun kembali dibacanya. "Masalahnya, Boy sampai saat ini belum mendapatkan panggungnya. Tetapj panggung itu secara otomatis akan didapatnya begitu nama Boy mulau dibicarakan sebagai cagub. Naiknya Risma ke panggung politik nasional beberapa waktu lalu bisa dijadikan contohnya. Risma ramai diberitakan ketika namanya disebut-sebut akan maju sebagai cagub DKI. Akan tetapi, nama Risma pun mulai memudar setelah Walikota Surabaya itu lebih memilih untuk meneruskan jabatannya."

Sesaat kemudian mata perempuan itu melayang ke arah dua lelaki tambun yang terlihat tengah berbincang serius. Ingin rasanya ia memanggil dua lelaki itu untuk menyuruh keduanya membaca artikel yang baru saja selesai dilahapnya. "Ah, biarkan saja mereka terus begitu."

Baru saja ia hendak bangkit dari duduknya, seorang pengawal mendatanginya.

"Bu, ada telepon dari Pak Wiranto," kata pengawalnya.

"Jangan-jangan ... ," duga perempuan itu dalam hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun