"Pastinya bukan Djarot. Sebab Djarot begitu melekat erat dengan Ahok. Kebijakan Ahok pastinya tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Djarot sebagai wakil gubernurnya."
Untuk ketiga kalinya perempuan itu membaca rangkaian kalimat yang membuatnya terkagum-kagum pada penulisnya. "Dan, jarang terjadi dalam sebuah pemilu, wakil sanggup mengalahkan "boss-nya". JK kalah dari SBY dalam Pilpres 2009. Dede Yusuf tidak mampu mengalahkan Aher. Puspayoga kalah tipis nol koma dari Mangku Pastika pada Pilgub Bali 2013!"
Dan satu alenia lagi yang membuatnya ingin bertemu dengan penulisnya. "Lantas, siapa kader PDIP yang layak dicalonkan? Jawabannya, Boy Sadikin!" Awalnya ia tersenyum lebar mambaca nama Boy Sadikin dinilai pantas untuk dicalonkan. Hampir saja ia beralih ke artikel lainnya. Hanya saja rasa penasaran menghinggapinya. Dengan sedikit malas perempuan bertahi lalat di dagunya itu pun kembalu membaca.
"Boy adalah kader PDIP. Selain itu posisi Boy berseberangan dengan Ahok dalam soal reklamasi. Posisi ini merupakan poin positif bagi Boy sebab dalam proyek reklamasi tersebut Ahok mendapat penilain negatif.
Akibat penolakannya terhadap reklamasi. Boy pun berseteru dengan Fraksi PDIP DKI. Karena tidak menemui jalan keluar, Boy pun memilih mundur dari kepengurusan DPD PDIP DKI. Belakangan publik mengetahui ada megakorupsi dalam pembahasan perda terkait reklamasi. Dengan demikian, keputusan Boy dalam polemik reklamasi sudah sangat tepat."
Sampai di situ, perempuan berambut pendek itu memahami alur pikiran dari tulisan yang dibacanya.
"Dan, kalau dibandingkan dengan Djarot ataupun Ahok, jelas sebagai putra daerah Boy memiliki ikatan emosional dengan warga DKI."
Kemudian, paragraf paling bawah pun kembali dibacanya. "Masalahnya, Boy sampai saat ini belum mendapatkan panggungnya. Tetapj panggung itu secara otomatis akan didapatnya begitu nama Boy mulau dibicarakan sebagai cagub. Naiknya Risma ke panggung politik nasional beberapa waktu lalu bisa dijadikan contohnya. Risma ramai diberitakan ketika namanya disebut-sebut akan maju sebagai cagub DKI. Akan tetapi, nama Risma pun mulai memudar setelah Walikota Surabaya itu lebih memilih untuk meneruskan jabatannya."
Sesaat kemudian mata perempuan itu melayang ke arah dua lelaki tambun yang terlihat tengah berbincang serius. Ingin rasanya ia memanggil dua lelaki itu untuk menyuruh keduanya membaca artikel yang baru saja selesai dilahapnya. "Ah, biarkan saja mereka terus begitu."
Baru saja ia hendak bangkit dari duduknya, seorang pengawal mendatanginya.
"Bu, ada telepon dari Pak Wiranto," kata pengawalnya.