Kemudian, menurut media, Ahok berada di peringkat teratas cagub yang paling diingkan masyarakat Jakarta. Artinya, keinginan masyarakat jakarta itu diwakili oleh para pakar pilihan LPP UI. Pertanyaannya, bagaimana opini para pakar itu bisa mewakili pilihan masyarakat Jakarta?
Tidak jelas, apakah media tidak menginfomasikan hasil survei itu secara keseluruhan atau LPP UI yang tidak mengungkapkan secara keseluruhan hasil surveinya. Karena dalam berbagai survei yang mengunggulkan Ahok, masyarakat dengan sangat mudah menemukan kejanggalan-kejanggalannya. Contohnya, survei CSIS. Dari survei CSIS itu diketahui tingkat kesukaan cagub berada di atas tingkat popularitasnya. Ini benar-benar janggal dan tidak masuk akal. Karena tingkat popularitas biasanya lebih tinggi dari tingak-tingkat apapun, termasuk elektabilitas. Misalnya, tingkat popularitas Rhoma Irama 98 % tetapi tingkat elektabilitasnya berkisar di angka 2 %.
Sudah hasil surveinya ngaco, media pun memelintirnya. Metrotvnews, misalnya, media corong kampanye Ahok ini memelintir tingkat popularitas menjadi tingkat elektabilitas. Tentu saja dengan plintiran ini tingat elektabilitas melambung setinggi langit.
Menariknya, Hamdi mengatakan responden tidak terpengaruh dengan kasus Sumber Waras (SW). Dalam kasus SW BPK mengungkapkan adanya kerugian negara. Sementara KPK menyatakan tidak ditemukannya tipikor. Kedua lembaga ini telah mencapai kesepakatan untuk menghormati keputusannya masing-masing. Dengan demikian, bisa disimpulkan, Ahok tidak melakukan korupsi dalam pembelian RS SW, di sisi lain  Ahok telah merugikan keuangan negara. Artinya, para pakar UI yang bergelar profesor dan doktor itu tidak mempermasalahkan tokoh yang telah merugikan keuangan negara untuk kembali menduduki jabatan publik.
Tetapi, apapun itu, apakah etis kalau LPP UI mengklaim opini para pakar itu mewakili penilaian warga Jakarta? Empat tahun lalu, LSI tidak mengklaim hasil surveinya sebagai penilaian rakyat Indonesia. LSI tetap menegaskan kalau hasil surveinya itu sebagai pendapat opinion leader. Terlebih, pengalaman telah membuktikan kalau pilihan pakar atau opinion leader tidak mempengaruhi penilian publik atas seorang tokoh. Prabowo yang nyaris tidak masuk sebagai capres justru maju sebagai capres dan hampir berhasil memenangkan Pilpres 2014. Sedangkan Mahfud MD yang memiliki skor tertinggi atau paling layak capres malah menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo.Â
Dan, sekali lagi propaganda untuk memenagkan Ahok kembali berantakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H