Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kudeta Militer di Turki Bukan Sandiwara Rekaan Erdogan, Tapi...

21 Juli 2016   09:04 Diperbarui: 5 Mei 2017   12:19 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soldiers gathered in Taksim Square in Istanbul as people protested against the coup attempt. It was a long night in Istanbul and Ankara, full of intrigue and violence, as the crackle of gunfire and booms of explosions intermixed with muezzins and the call to prayer, making Turkey, for a night, feel like one of the war-torn cities in Iraq or Syria. Foto: Emrah Gurel/Associated Press

"Ibu pertiwi sudah hamil tua,” begitu kira-kira yang diucapkan oleh salah seorang tokoh Partai Komunis Indonesia seperti yang bisa disaksikan dalam film “G30S/PKI”. Dalam film garapan sutradara Arifin C Noor itu digambarkan suasana tegang tokoh-tokoh PKI jelang 30 September 1965. Dari film itu juga diperlihatkan gerakan pasukan Cakrabirawa yang menjemput menjemput 7 pucuk pimpinan Angkatan Darat.

Seperti yang difilmkan dalam “G30S/PKI”, gerakan militer, apa pun namanya dan di mana pun negaranya, tidak mungkin dilancarkan secara tiba-tiba, tanpa “aba-aba”. Selalu ada situasi kritis yang mengawalinya. Maka,adalah sebuah keanehan bila ada sekelompok militer di suatu negara yang secara tiba-tiba melancarkan aksi kudetanya.

Untuk mengambil alih pemerintahan, apalagi dengan cara kudeta, militer membutuhkan momentum. Tanpa momentum, militer sangat tidak mungkin mengambil paksa pemerintahan. Dan, momentum itu terjadi ketika stabilitas negara telah berada dalam puncak kritis. Dalam situasi tersebut, kekuatan antara pro dan kontra atau antara pendukung dan penentang pemerintah sudah dalam posisi yang seimbang. Di tengah situasi tersebut, militer harus menentukan sikap,. Karenanya, tanpa adanya momentum terutama dukungan dari (sebagian) rakyat, militer tidak mungkin secara tiba-tiba melancarkan aksi kudeta.

Di Mesir, misalnya, ketika posisi Mubarak masih kuat, militer mendukungnya. Tetapi ketika posisi Mubarak mulai lemah, militer balik badan dengan mendorong kejatuhan Mubarak. Demikian juga ketika posisi Mursi yang menggantikan Mubarak sudah melemah, militer Mesir yang dipimpin oleh As Sisi justru mengambil alih pemerintahan dari tangan Mursi. Peristiwa yang terjadi di Mesir bisa menggambarkan secara jelas bahwa militer baru bergerak setelah situasi mencapai titik kritis sementara pemerintah sudah tidak sanggup lagi mengatasinya. Militer Mesir tidak secara tiba-tiba bergerak tanpa ada serentetan tahap yang mengawalinya.  

Sebelum menentukan sikapnya, militer lebih dulu membuat perhitungan secara cermat. Berbagai informasi intelijen, pemberitaan media, pendapat para pakar, dan lain sebagainya menjadi bahan untuk dipertimbangkan. Dan militer, di belahan dunia mana pun, selalu memposisikan dirinya berada di kelompok yang dinilainya lebih kuat.

Pada tahun 1998, ABRI yang kala itu dikomandani oleh Jenderal Wiranto pasang badan ketika pimpinan MPR yang meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri. Wiranto mengatakan desakan pimpinan MPR itu sebagai gagasan pribadi, bukan usulan kolektif MPR. Tetapi, ketika posisi Soeharto semakin melemah setelah beberapa menteri terdekatnya mengundurkan diri, ABRI menyatakan dukungannya atas proses reformasi.

Lalu bagaimana dengan Turki? Apakah situasi Turki saat ini sedang kritis? Apakah posisi Presiden Erdogan saat ini sudah melemah? Jawabannya, situasi Turki saat ini tidak dalam situasi kritis dan posisi Erdogan pun masih tetap kuat. Kalau begitu, apa yang mendorong militer Turki bergerak melancarkan kudeta terhadap Erdogan? Jawabannya, tidak ada sama sekali.

Aksi kudeta militer terhadap Erdogan berlangsung tanpa didahului oleh situasi kritis yang mengawalinya. Seolah aksi tersebut jatuh begitu dari langit. Karenanya, alasan yang mendasari kudeta tersebut pun tidak jelas sama sekali.

Dari banyak pendapat yang bermunculan di media, aksi kudeta yang dilancarkan oleh militer Turki  tersebut dinilai sangat amatir. Gerakan militer dilancarkan ketika rakyat Turki masih terjaga. Bukan setelah lepas pukul 24 atau bahkan di subuh hari. Ini jauh berbeda dengan aksi Cakrabirawa yang dilancarkan pada dini hari.

Selain itu militer Turki sama sekali tidak mengambil alih obyek-obyek vital, seperti stasiun televisi dan operator seluler. Di Indonesia dan berbagai negara lainnya, stasiun televisi dan radio menjadi incaran militer jika negara dalam situasi kritis. Dalam tragedi 1965, RRI menjadi obyek vital yang wajib dikuasai. 

Media, apalagi yang memiliki jaringan terluas serta penyebaran yang cepat pastinya sangat menentukan hasil akhir dari sebuah gerakan militer. Sebab lewat medialah dukungan rakyat dapat dihimpun. Tidak dikuasainya media oleh militer pengkudeta sangat janggal sebab sejumlah jenderal top Turki berada di belakang aksi tersebut.

Menariknya, dalam aksnya, militer Turki menggunakan jet tempur. Untuk apa jet-jet tempur tersebut? Apa yang mau ditembaki oleh pesawat-pesawat tersebut? Pendukung Erdogan? Mungkin baru kali ini ada tentara yang menggunakan jet tempur dalam melancarkan aksi kudetanya. Biasanya, tentara hanya menggunakan kekuatan daratnya saja. Sementara untuk mengawasi situasi bukan jet tempur yang digunakan, tetapi helikopter. Jadi, berseliwerannya jet-jet tempur tersebut tidak jelas manfaatnya.

Satu lagi yang patut diperhatikan. Militer Turki tidak melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh penting. Dalam peristiwa kudeta yang terjadi minggu lalu, tokoh-tokoh Turki, khususnya dari partai AKP yang sedang berkuasa bisa berkomunikasi satu sama lainnya. Bahkan tokoh-tokoh itu, termasuk Presiden Erdogan tanpa halangan mampu memobilisasi massa. Bagaimana mau mengambil alih kekuasaan kalau para pejabat-pejabat top dibiarkan mengendalikan situasi?

Maka wajar saja kalau banyak yang menganggap kudeta di Turki cuma sekedar sandiwara rekaan Erdogan saja. Bukan saja karena kudeta itu gagal, tapi juga karena banyaknya kejanggalan. Menariknya lagi, kejanggalan itu terkesan disengaja.

Pertanyaannya, apakah mungkin aksi kudeta itu hanya sandiwara belaka?

Sejak insiden ditembak jatuhnya pesawat pembom milik Rusia oleh jet tempur milik Turki, posisi Presiden Erdogan memang semakin tersudut. Pasalnya, pihak intelijen Rusia membeberkan bukti-bukti adanya kerja sama antara Turki dengan ISIS.  Salah satu di antaranya adalah keterlibatan putra Erdogan dalam bisnis minyak ilegal yang dicuri ISIS dari ladang-ladang minyak di Suriah. Tidak hanya Rusia, kubu oposisi di Turki pun mulai mengungkap sejumlah bukti adanya hubungan antara pemerintah Erdogan dengan ISIS.

Dalam konflik di Suriah, peran Turki mendapat dukungan penuh dari militer Turki. Dalam konflik yang sudah berlangsung sejak 2011 itu, Turki memanfaatkannya untuk menyerang suku Kurdi. Sementara, bersama NATO di mana Turki menjadi anggotanya, Turki turut menekan Presiden Suriah Basyar al Asad untuk turun dari jabatannya. Di sinilah terlihat adanya kesamaan kepentingan antara NATO, termasuk Turki, ISIS, dan pasukan pemberontak Suriah (FSA).

Di sisi lain, citra Erdogan semakin merosot setelah sejumlah media Turki acap kali menggambarkan Erdogan sebagai pemimpin tangan besi, otoriter, diktator, dan lain sebagainya. Karena memberitakan buruk tentang Erdogan, banyak media yang dibredel oleh pemerintah. Sementara, tidak sedikit rakyat Turki yang dipenjarakan hanya karena hal-hal sepele, seperti melambaikan tangan kepada Erdogan.

Sederhananya, posisi Erdogan tengah terjepit oleh kubu oposisi, media, Rusia, dan Suriah, tetapi bukan oleh rakyat Turki. Namun demikian, sampai kudeta itu dilancarkan belum terlihat adanya tanda-tanda gerakan rakyat Turki yang menuntut Erdogan untuk mengundurkan diri. Situasi Turki masih stabil, militer masih terlihat kompak dengan pemerintahnya.

Tetapi, situasi yang tengah dihadapi oleh Erdogan dan pemerintahannya ini akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kekuasaan partainya. Selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi peran Turki dalam kampanye penggulingan rezim penguasa Suriah. Padahal konflik Suriah yang semakin rumit itu diperkirakan akan berlangsung lebih lama.lagi.

Karena itu, Erdogan membutuhkan sebuah momentum untuk memutarbalikkan situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi dirinya, keluarganya, partainya, dan juga kampanye NATO di Suriah.

Pertanyaannya, apakah sandiwara kudeta yang diperagakan oleh militer Turki itu  menjadi pilihan Erdogan untuk menyelamatkan dirinya? Jawabannya, tidak. Erdogan tidak membutuhkan sandiwara kudeta untuk menguatkan kembali posisinya. Erdogan dengan tangan besinya bisa memenjarakan siapa saja rakyatnya yang dianggapnya berbahaya. Bahkan Erdogan mampu memenjarakan seorang guru hanya karena menganggap lambaian tangan guru tersebut menghina dirinya. Maka, tanpa perlu adanya kudeta pun Erdogan bisa menangkapi lawan-lawan politiknya, baik sipil maupun militer.

Kalau, kudeta itu bukan sandiwara, apa yang sebenarnya terjadi?

Harus diperhatikan kalau aksi kudeta tersebut sangat amatiran, padahal kudeta itu dilancarkan oleh sebarisan jenderal-jenderal top Turki. Bukankah tidak mungkin para jenderal top menggelar operasi tanpa perhitungan yang matang. Bagaimana mungkin jet-jet tempur diterbangkan sementara obyek-obyek vital tidak dikuasai dan tokoh-tokoh penting tidak ditangkapi? Artinya, gerakan militer itu tidak bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan alias kudeta. Karena sangat tidak mungkin militer mengambil alih kekuasaan tanpa adanya restu dari (sebagian) rakyat. Restu itu belum dimiliki oleh militer Turki. Di sisi lain, dunia pasti bereaksi keras atas aksi kudeta militer yang tidak memiliki alasan jelas.

Lantas, untuk apa gerakan militer itu? Gerakan militer itu ditujukan untuk memancing Erdogan meningkatkan “agresifitasnya” dalam menghadapi para penentangnya. Pascaperistiwa itu, Erdogan melakukan penangkapan terhadap rakyat yang dianggap berseberangan dengannya. Ratusan ribu tentara dan polisi dipecatnya. Demikian juga dengan bahkan belasan ribu guru.  Tentu saja aksi Erdogan ini menimbulkan reaksi dari penentangnya.

Dengan demikian, sebenarnya dalam gerakan tersebut militer Turki telah  memicu benturan antara pendukung dan penentang Erdogan. Saat benturan itu telah mencapai titik kritisnya, militer Turki akan memposisikan diri berada dalam barisan penentang Erdogan. Dan setelah momentumnya tepat, barulah militer Turki bersama dengan rakyat akan mengambil alih kekuasaan. Dengan demikian, aksi militer tersebut mendapat restu dari rakyat sekaligus diakui oleh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun