Kalau, kudeta itu bukan sandiwara, apa yang sebenarnya terjadi?
Harus diperhatikan kalau aksi kudeta tersebut sangat amatiran, padahal kudeta itu dilancarkan oleh sebarisan jenderal-jenderal top Turki. Bukankah tidak mungkin para jenderal top menggelar operasi tanpa perhitungan yang matang. Bagaimana mungkin jet-jet tempur diterbangkan sementara obyek-obyek vital tidak dikuasai dan tokoh-tokoh penting tidak ditangkapi? Artinya, gerakan militer itu tidak bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan alias kudeta. Karena sangat tidak mungkin militer mengambil alih kekuasaan tanpa adanya restu dari (sebagian) rakyat. Restu itu belum dimiliki oleh militer Turki. Di sisi lain, dunia pasti bereaksi keras atas aksi kudeta militer yang tidak memiliki alasan jelas.
Lantas, untuk apa gerakan militer itu? Gerakan militer itu ditujukan untuk memancing Erdogan meningkatkan “agresifitasnya” dalam menghadapi para penentangnya. Pascaperistiwa itu, Erdogan melakukan penangkapan terhadap rakyat yang dianggap berseberangan dengannya. Ratusan ribu tentara dan polisi dipecatnya. Demikian juga dengan bahkan belasan ribu guru. Tentu saja aksi Erdogan ini menimbulkan reaksi dari penentangnya.
Dengan demikian, sebenarnya dalam gerakan tersebut militer Turki telah memicu benturan antara pendukung dan penentang Erdogan. Saat benturan itu telah mencapai titik kritisnya, militer Turki akan memposisikan diri berada dalam barisan penentang Erdogan. Dan setelah momentumnya tepat, barulah militer Turki bersama dengan rakyat akan mengambil alih kekuasaan. Dengan demikian, aksi militer tersebut mendapat restu dari rakyat sekaligus diakui oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H