Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Seyogyanya Messi Ambil Pelajaran dari Kebangkitan Baggio

30 Juni 2016   05:10 Diperbarui: 16 Juni 2018   22:40 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roberto Baggio tertunduk usai kegagalannya mengeksekusi pinalti dalam final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat pada 17 Juli 1994. (Sumber foto: BBC.co.uk)

Stadion Stade de France sore hari 3 Juli 1998. Dari tengah lapangan Roberto Baggio melangkah menuju kotak penalti. Kepala penyerang tim nasional Italia itu menunduk. Entah doa apa yang dipanjatkan oleh penganut Budha itu. 

Begitu sampai di titik penalti, Baggio berdiam sejenak. Kemudian  ia membungkuk. Kesepuluh jemarinya menyentuh bola. Cukup lama ia melakukannya. Beberapa saat kemudian Baggio yang kala itu tenar sebagai mega bintang Klub Italia Juventus itu menegakkan punggungnya. 

Dengan tatapan tertuju pada bola, perlahan ia melangkah mundur. Lalu berhenti beberapa meter dari titik penalti.

Beberapa kamera yang dipasang di sejumlah titik stadion mengarah kepada Baggio. Saat kamera yang berada di belakang gawang, meng-close up wajahnya, terlihat kedua mata Baggio terpejam. Gerahamnya mengatup. Terlihat juga dada pemain veteran kesebelasan Italia itu mengembang lebar untuk kemudian kembali mengempis. Tim cameraman seolah tidak mau melewatkan setiap detik dari momen tersebut.

Delapan puluh ribu penonton yang memenuhi kursi stadion mendadak terdiam. Suara gaduh sorak-sorai yang sebelumnya menggemuruhi seantero stadion mendadak lenyap bagai tersapu oleh angin musim panas. Demikian juga dengan jutaan pasang mata pemirsa televisi di berbagai belahan dunia. Semua terhisap ke satu titik: Roberto Baggio.

Tendangan penalti yang saat itu ditugaskan kepada Baggio membawa ingatan masyarakat sepak bola kembali ke masa empat tahun sebelumnya atau tepatnya 17 Juli 1994. Ketika itu Italia beradu nasib melawan Brasil di ajang final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Baggio yang kala itu tengah berada di puncak masa keemasan karirnya dipilih oleh pelatih Arrigo Sacchi untuk sebagai algojo terakhir.

Sebagaimana eksekusi-eksekusi pinalti lainnya, awalnya tidak ada yang berbeda dengan tendangan 12 pas yang dilakukan oleh Baggio. Baggio yang kala itu telah melokoni puluhan tendangan pinalti tenang melangkah ke titik putih yang ada di depan gawang. Di hadapannya, Claudio Taffarel bersiap-siap mematahkan sepakannya. 

Selama beberapa detik kamera menyorotnya dari belakang. Meng-close up rambut kuncir kuda yang menjadi ciri khasnya. Sorak-sorai penonton di stadion Rose Bowl, Pasadena, California, membahana mengiringi setiap langkah bintang tim Gli Azzura berusia 27 tahun itu..

Sang Maestro bersiap-siap menutaskan kewajibannya. Ia menjadi penendang terakhir bagi timnya. Sementara lawannya masih menyisakan satu penembak lagi.

Saat itu kedudukan 3-2 untuk Brasil. Setelah sebelumnya dua penembak Italia, Franco Baresi dan Daniele Massaro gagal mencetak angka. 

Detak jantung Italia kini tergantung pada kedua kakinya. Beberapa langkah dari garis gawang Baggio mengambil ancang-ancang. Tambahan satu gol lagi untuk Italia. Begitu yang diperkirakan.

Peluit ditiup wasit. Sesaat kemudian Baggio mulai bergerak. Penyerang bernomor punggung 10 itu berlari ke arah bola. Kakinya melayang menyepak si kulit bundar. Bola meluncur deras. Namun, bukan ke arah gawang yang dibidiknya, melainkan melambung jauh di atas mistar gawang. 

Gol tidak terjadi dari kaki Baggio. Alam semesta seolah terbalik. Dunia dibuat tidak percaya dengan peristiwa yang baru saja lewat. Mulut-mulut penonton menjubeli stadion mengangga. Detak jantung Italia mendadak berhenti.

Kegagalan Italia langsung ditimpakan kepada Baggio. Jasa-jasa Baggio yang membawa Italia lolos dari babak kualifikasi sampai memasuki partai puncak Piala Dunia 94 seolah lenyap begitu saja. Begitu juga dengan catatan 5 gol yang dibukukannya. Dan 17 Juli 1994 terpahat sebagai hari terburuk sepanjang karir sepak bola Baggio.

Sepulangnya dari gelaran ajang Piala Dunia 1994 USA, masa keemasan Baggio memudar. Baggio tidak lagi dipuja sebagaimana sebelumnya. Dengan cepat namanya pun tersingkir dari deretan bintang pesepakbola Italia dan dunia. Gelar maestro sepak bola seolah tercerabut dari dirinya. Dan, nama Baggio pun tenggelam.

Seiring dengan daya magisnya yang meredup, Baggio berpindah-pindah klub. Dari Juventus ke AC Milan. Meski Baggio berhasil membantu Milan merebut gelar scudeto tahun 1995, namun pada tahun itu juga dengan alasan yang tidak jelas ia dijual ke Bologna. 

Penyerang kelahiran Coldogna itu kian terpuruk setelah Arrigo Sacchi tidak menuliskan namanya pada daftar skuad tim Azzura untuk Euro 1996. Kata media dan pengamat, Baggio sudah habis! 

Tetapi, media dan pengamat salah duga. Justru di klub medioker itulah nama Baggio kembali merangkak naik. Malah, pada musim 1997-1998, 22 gol berhasil dicetaknya. 

Baggio masih mampu menunjukkan kelincahan gocekannya saat melewati hadangan pemain lawan. Asis-asisnya dikonversi menjadi gol oleh rekan-rekan satu timnya. Sepakannya melahirkan sejumlah gol. Kebangkitan Baggio inilah yang membuat pelatih timnas Italia, Casare Maldini meliriknya untuk Piala Dunia 1998.

Di Perancis, nomor punggungnya pun bukan lagi 10 yang dikenal sebagai nomor jimat. Baggio tampil dengan nomor punggung 18, sesuai dengan tanggal kelahirannya 18 Februari 1966.

Dari nomor punggungnya sudah menjelaskan jika Baggio bukanlah tulang punggung tim. Baggio hanya pemain cadangan. Ketika Italia berhadapan dengan tuan rumah Perancis di perempat final, Baggio baru memasuki lapangan pada menit ke 62. Pemain kelahiran 1967 ini menggantikan rekan sejawat, Alexandro Del Piero

Saat Baggio memasuki lapangan hijau, kedudukan masih imbang 0-0. Skor kacamata ini tidak berubah sampai peluit panjang waktu normal dan perpanjangan waktu ditiupkan. 

Baggio dipilih sebagai eksekutor pertama bagi tim Italia. Menjadi penendang pertama dalam sebuah drama yang menentukan pastinya bukanlah pekerjaan mudah. Keberhasilan atau kegagalan penendang pertama akan sangat mempengaruhi mental algojo-algojo berikutnya. Apalagi bagi Baggio yang pada empat tahun sebelumnya mengalami kegagalan di saat-saat yang paling penentukan.

Lewat layar televisi dan layar lebar yang ditempatkan di sejumlah sudut Stadion Stade de France, masyarakat dunia menyaksikan trauma empat tahun itu masih menghantui Baggio. Terlebih sebelumnya, kapten tim Perancis, Zinedine Zidane berhasil membobol gawang tim Italia yang dijaga oleh Gianluca Pabliuca. Ketegangan begitu nampak menyelimuti wajahnya. 

Dan, entah dengan alasan apa, wasit Hugh Dallas asal Skotlandia seolah memberikan waktu lebih lama kepada Baggio untuk menyiapkan dirinya. Drama semakin menegangkan!

Untuk sekian detik Baggio menatap tajam ke arah gawang. Belasan meter di hadapannya Fabian Barthez meningkatkan kesiagaannya. Kedua tangan Barthez merentang bersiap menepis serangan. Badan penjaga gawang berkepala plontos itu terlihat bergerak-gerak miring ke kiri dan ke kanan. 

Dan, ketika pluit ditiup wasit, Baggio bergerak. Ia berlari kecil. Sampai kemudian kakinya menendang Tricolora. Demikian bola resmi keluaran Adidas itu dinamakan.

Ketika rekaman yang menyorot wajah-wajah penonton ditayangkan, nampak sejumlah penonton berdiri dengan jemari kedua tangan yang menutupi bagian hidung dan mulutnya. Ada yang menutupi kedua telinganya. Ada juga menggigit jarinya. Begitu dramatis.

Bola yang ditendang Baggio melesat lalu melewati garis gawang yang dijaga oleh Barthez. Seketika itu juga Baggio meluapkan kegembiraannya.

Sontak penonton bersorak. Bukan hanya pendukung Tim Italia, pendukung tim Perancis pun turut berteriak melepaskan ketegangannya. Gol yang dicetak oleh Baggio bukan hanya menjadi milik Baggio dan Italia, tetapi juga milik dunia.

Masyarakat dunia menjadi saksi betapa trauma kegagalan di Amerika Serikat masih begitu menghantui Baggio. Tetapi, dunia pun menjadi saksi perjuangan Baggio ketika ia mencoba menyingkirkan beban berat masa lalunya. Sebuah peperangan batin anak manusia yang benar-benar berhasil ditangkap secara jelas dan detil oleh kamera dan disaksikan oleh ratusan juta pasang mata anak manusia lainnya.

“Kegagalan penalti di Piala Dunia 1994 adalah momen terburukku,” ungkap Baggio dalam biografinya sebagaimana dikutip oleh CNNIndonesia.com. “Jika saya bisa menghapus momen dalam hidup saya, maka itu mungkin menjadi salah satu bagian yang akan saya hapus.”

Seperti Baggio ketika gagal di Piala Dunia USA 1994, Begitu juga Leonel Messi yang gagal mengeksekusi tendangan penaltinya pada final Copa America Centenario 2016 di Amerika. Seperti juga Baggio bagi Italia, Messi pun gagal membawa Argentina membawa pulang trofi kemenangan bagi negaranya. 

Dalam partai puncak peringatan 100 tahun Copa America itu, Argentina dipecundangi oleh Chile lewat adu penalti dengan skor 4-2. Seperti 17 Juli 1994 bagi Baggio, begitu juga 26 Juni 2016 bagi Messi.

Tidak berbeda dengan Baggio, Messi pun dibuat kecewa atas kegagalannya. Tidak lama setelah pertadingan usai, Messi mengumumkan pengunduran dirinya dari timnas Argentina. 

Tidak sedikit yang mengganggap sikap Messi itu sebagai bentuk pelampiasan rasa frustasinya. Sangat manusiawi kalau Baggio dan Messi sangat kecewa atas kegagalannya. Apalagi kegagalan itu terjadi pada titik yang paling menentukan.

Tetapi, berbeda dengan Baggio, bagi Messi kegagalan dalam eksekusi itu seolah menjadi penegasan kalau dirinya bukanlah Sang Mesiah bagi Argentina. Bukan saja itu, sederet “kutukan” pun ditujukan kepada penyerang Argentina berusia 29 tahun itu. Messi disebut sebagai pembawa sial.

Performa Messi di Timnas Argentina memang jauh di bawah penampilannya ketika ia membela klubnya, Barcelona. Saat membela Barcelona, Messi yang berposisi sebagai penyerang tampil begitu trengginas melumat lawan-lawannya.

Bukan saja ratusan gol dan asis yang berhasil dicatatkannya, puluhan kemenangan bagi Barcelona pun dengan sukses ditorehkannya. Bersama Barcelona, Messi telah menyabet puluhan gelar dari berbagai ajang kompetisi. Bukan saja bagi klub yang dibelanya, sederet gelar individu yang paling mentereng pun telah disabetnya.

Sekalipun sangat menentukan, tetapi kegagalan pada tahap adu penalti bukanlah sebuah kekonyolan. Messi bukanlah Zidane yang dengan konyolnya menanduk dada Marco Materazzi yang berhasil memprovokasinya. Karuan saja, kekonyolan kapten Timnas Perancis yang berbuah kartu merah bagi dirinya itu sangat merugikan Perancis. 

Dan, sebagaimana pada perempat final di Perancis, pada final Piala Dunia 2006 yang digelar di Jerman itu pun keduanya harus mengadu nasib lewat adu penalti. Tetapi, dalam partai pamungkas yang digelar pada 9 Juli 2006 di Stadion Olimpia itu Perancis melakoni laga hidupnya tanpa sang maestro Zidane. 

Akhirnya, setelah berhasil menceploskan lebih banyak gol ketimbang lawannya, Italia keluar sebagai pemenangnya. Kekonyolan Zidane itu kemudian dituding sebagai penyebab dari kekalahan Perancis. Selanjutnya, sudah bisa diduga, Zidane menjadi sasaran hujatan di mana-mana.

Messi pun bukanlah David Beckham yang dengan sengaja melintangkan kakinya hingga membuat gelandang Argentina Diege Simeone terjatuh. Gegara ulah kekanak-kanakannya itu Beckham itu mendapat ganjaran kartu merah. Buntutnya, pada babak perdelapan final Piala Dunia 98 itu, Inggris ditekuk oleh Argentina lewat adu penalti dengan skor 4-3 setelah sebelumnya bermain imbang 2-2. 

Sama seperti Zidane yang mendapat hujatan, kedatangan Beckham dan Timnas Inggris di bandara pun disamput makian dari para pendukungnya.

Baggio, Messi, Zidane, dan Beckham merupakan roh bagi kesebelasan yang dibelanya. Tetapi, kegagalan Italia pada final Piala Dunia 1994 dan kegagalan Argentina dalam partai puncak Copa America 2016 berbeda dengan kegagalan Perancis dalam Piala Dunia 2006 dan Inggris pada Piala Dunia 1998. 

Baik Baggio maupun Messi pastinya sudah berupaya sejauh kemampuannya untuk mengangkat trofi kemenangan bagi negaranya. Kegagalan mengeksekusi tendangan penalti sangatlah lumrah dan bisa terjadi pada pemain kelas dunia mana pun. Hal ini sangat berbeda dengan Zidane dan Beckham. Kedua megabintang tersebut seharusnya lebih kuat lagi mengekang diri. Terlebih Beckham yang hanya iseng melintangkan kakinya.

Sebagaimana Baggio, Messi sama sekali tidak melakukan kesalahan. Seluruh penonton di stadion menyaksikan perjuangan Messi. Demikian juga dengan ratusan juta pemirsa televisi menontonnya, termasuk penonton di Indonesia yang menyaksikannya lewat Kompas TV.

Penyesalan pastinya timbul akibat dari sebuah kegagalan. Demikian juga dengan trauma. Tetapi, Baggio tidak lantas memutuskan untuk menggantung sepatunya. Baggio masih tetap menyimpan harapan besar kepada Timnas Italia untuk kembali memanggilnya. Harapan Baggio itu tidak percuma. Demikian juga dengan kepercayaan Maldini yang diembannya. 

Dalam ajang Piala Dunia 98 tersebut, memang Italia pulang dengan tangan kosong. Tetapi, bagi Baggio, keberhasilanya mengeksekusi penalti merupakan kemenangan tersendiri.

Baggio telah mengajarkan kepada pemain sepak bola lainnya untuk tidak kalah dengan kegagalan. Messi memang gagal. Tetapi, di usianya yang masih terbilang subur bagi pesepak bola, belum saatnya bagi Messi untuk mundur. 

Messi pun seharusnya mendengarkan legenda sepak bola Argentina Diego Maradona yang masih memintanya untuk tetap bertahan di Tim Tango. Demikian juga dengan harapan Presiden Argentina, Mauricio Macri yang mengharapkan Messi masih menggenakan seragam La Albiceleste untuk tahun-tahun ke depan. 

Bukan saja masyarakat Argentina, mantan play maker Barcelona asal Bulgaria, Hristo Stoichkov pun mengimbau Messi untuk membatalkan niat pensiun dininya.

Messi pastinya tahu benar kalau setiap pesepakbola selalu mengharapkan namanya tertera dalam daftar tim nasional. 

Betapa jengkelnya David Ginola, Eric Cantona, dan Jean Papin ketika nama mereka tidak terdaftar dalam skuad pemain Timnas Perancis. Aime Jacquet sebagai manager tim tidak membutuhkan servis ketiganya.

Demikian juga dengan Paul Gascoigne ketika mengetahui dirinya tidak lagi dibutuhkan oleh Glenn Hoddle untuk mengisi posisi gelandang Timnas Inggris. 

Clerence Seedorf adalah contoh kasus lainnya. Gelandang serang ini rela duduk di kursi cadangan karena manager yang menukangi Timnas Belanda lebih memilih Edgar Davids ketimbang dirinya.

Messi pastinya bukan Ginola, Papin, Cantona, atau pun Seedorf. Siapa pun yang melatih Argentina pastinya masih membutuhkan keterampilan Messi. 

Timnas dan rakyat Argentina masih membutuhkan kepiawaian Messi dalam mengolah si kulit bundar. Setidaknya, Sebagaimana Baggio pada Piala Dunia 1998, dua tahun lagi ketika Piala Dunia 2018 digelar di Rusia, Messi pun masih berusia 31 tahun yang bagi pesepak bola dianggap sedang matang-matangnya.

Di Piala Dunia 98 kedahsyatan Baggio malah dinilai melampaui Del Piero yang lebih muda 7 tahun. Dua gol Bagio bagi Italia di Perancis menjadi bukti ketajamannya. Belum lagi asis-asisnya akurat dan umpan-umpan terukurnya. Tidak heran jika ketika itu banyak yang menilai Maldini terlambat memasukkan Baggio untuk menggantikan Del Piero.

Selepasnya dari Piala Dunia 98, bintang Baggio kembali bersinar. Pada 2001 sebuah polling internet menempatkan Baggio sebagai pemain yang paling dicintai. 

Setahun kemudian Italian Football Oscar menggelari Baggio “Most Loved Player”. Sebagai penghargaan kepada Sang Maestro, Brecia yang menjadi klub terakhir yang dibelanya kemudian mempensiunkan nomor 10.

Baggio baru menggantungkan sepatu dan melipat kostum pada 2004. Hari itu, 16 mei 2004, Baggio membela Brescia menghadapi AC Milan dalam sebuah pertandingan amal di San Siro.

Begitu mengetahui kabar akan disampaikannya salam perpisahan dari Il Divin Codino atau Si Buntut Kuda, tiket pertandingan langsung ludes terjual. 

Di menit-menit akhir pertandingan Baggio ditarik keluar. Melihat Baggio keluar lapangan untuk terakhir kalinya, penonton berdiri. Gemuruh tepuk tangan membahana. 

Sesaat kemudian Baggio kembali memasuki lapangan hijau tempat namanya dibesarkan. Kembali tepuk tangan menggemuruh. Untuk sesaat pertandingan ditunda. 

Ketika itulah Baggio menyampaikan salam perpisahannya. Ada keharuan yang menyertai pidatonya. Ada air mata yang menggengi matanya.

Kegagalan penalti Baggio di final Piala Dunia 94 kini menjadi monumen abadi bagi dunia. Dan Baggio tidak pernah melupakan momen terburuknya itu.

Tetapi, Baggio pensiun dari dunia sepak bola bukan karena kegagalannya itu, melainkan dengan kecintaan. Messi pun pastinya ingin mengalami hal serupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun