Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dengan Hitung-hitungan Ini, Sjafrie Sjamsoeddin Bakal Menangi Pilgub DKI 2017

6 Juni 2016   22:01 Diperbarui: 7 Juni 2016   16:30 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peluit panjang tanda batas akhir pendaftaran balon gubernur dan wakilnya pada Pilkada DKI 201 akan ditiupkan pada 30 Agustus 2016. Sementara waktu pencoblosan akan digelar pada 15 Februari 2016.

Sampai saat ini baru Ahok yang sudah memastikan diri bakal maju sebagai cagub. Itu pun belum tentu lewat jalur yang mana, bisa independen atau bisa juga lewat parpol. Kalau lewat parpol ada dua alternatif yang disodorkan kepada Ahok, lewat PDIP atau lewat Golkar.

Sebagaimana tradisinya, PDIP baru akan mengumumkan nama jagoanya jelang detik-detik terakhir peluit ditiupkan. Sementara ini ada dua nama yang paling menonjol, Djarot Saiful Hidayat dan Tri Rismaharini. Nama Risma yang memiliki faktor “X”, “Y”, dan “Z” bisa saja diumumkan jelang batas waktu akhir. Jika Risma yang dicalonkan, sepertinya PDIP ingin mengulang kisah sukses Jokowi.

Sayangnya, Risma seperti ogah-ogahan. Kalaupun mau meninggalkan jabatannya sebagai walikota Surabaya, sepertinya peluang Risma lebih besar kalau maju sebagai cagub Jatim. Pilgub Jatim sendiri rencananya akan digelar pada 2018. Jadi, Risma masih memiliki waktu lebih banyak untuk mengurus Surabaya.

Sementara, Gerindra sudah memastikan akan mencalonkan jagoannya sendiri. Dari 3 nama calon jagoan yang beredar, nama Sjafrie Sjamsoeddin yang paling besar peluangnya untuk mendapat tanda tangan dari Prabowo Subianto. Jika demikian, Gerindra tinggal mencari bakal calon wakil untuk Sjafrie. Besar kemungkinan calon wakil yang akan dipilih bukan berasal dari internal Gerindra, bisa dari partai koalisi atau tokoh masyarakat. Tidak menutup kemungkinan Gerindra akan menggaet kader PDIP untuk mendampingi jagoannya.

Jadi, kalau PDIP ajukan sendiri calonnya dan bukan Ahok, Pilgub DKI 2017 akan diikuti oleh 3 pasangan; Ahok-calon wakilnya (belum tentu Heru), Jagoan PDIP, serta Sjafrie dan wakilnya. Tetapi, kalau PDIP akan mengusung Ahok, Pilgub DKI akan diikuti oleh 2 pasangan; Ahok- (kemungkinan) Djarot) yang diusung lewat koalisi PDIP melawan Sjafrie dan wakilnya yang diusung oleh Gerindra dan koalisinya.

Siapa yang bakal menang?

Semenjak Pilgub DKI 2012 yang berlangsung secara sengit, pemilih di DKI sudah terkotak-kotak. Saking sengitnya, Pilgub DKI 2012 menimbulkan luka yang menganga, khususnya bagi kader partai yang pada waktu pilgub berjuang dengan begitu gigihnya. Inilah yang mengakibatkan pemilih Jakarta gagal move on.

Begitu juga dengan Pilpres 2014. Di akar rumput, pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi sampai sekarang seperti minyak dengan air. Keduanya masih terus berseteru dan sulit disatukan.

Jadi, kata kuncinya adalah gagal move on!

Pada Pilgub DKI 2012, Jokowi-Ahok menang dengan 53,82% suara. Sementara Foke-Nara mengantongi 46,18% suara. Pemilih Foke-Nara kemungkinan besar tidak akan mencoblos pasangan Ahok dan pasangan jagoan PDIP. Sementara suara pemilih Jokowi-Ahok akan terpecah, ada yang memilih Ahok dan pasangannya, ada yang memilih jagoan PDIP, dan ada yang memilih Sjafrie dan pasangannya..

Dari hitung-hitungan di atas, jelas kalau Sjafrie akan mendapat suara dari pemilih Foke-Nara dan sebagian pemilih Jokowi-Ahok. Dan, karena selisih antara Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara hanya sekitar 8%, Sjafrie akan menang hanya dalam 1 putaran.

Pada Pilpres 2014 Prabowo-Hatta memetik 47% suara, sedangkan Jokowi-JK memanen 53%. Sampai saai ini pendukung Prabowo masih relatif solid. Siapa pun calon yang dijagokan Prabowo, para pemilih Prabowo pada Pilpres 2014 akan memilihnya. Paling hanya sebagian kecil pemilih Prabowo yang tidak akan memilih jago yang akan dipasang oleh Prabowo. Dan, pastinya  jumlah pemilih Prabowo yang “menyimpang” angkanya tidak terlalu signifikan.

Dan ingat, salah satu strategi untuk menguatkan soliditas pendukung Prabowo adalah dengan terus melekateratkan Jokowi dengan Ahok. Hal ini bisa dibaca dari serangkaian pernyataan Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, dan lainnya. Dengan strategi ini maka sekitar 47% suara pendukung Prabowo-Hatta telah berada dalam genggaman Sjafrie. Sayangnya, gaya Dhani dan Ratna ini sebelas-dua belas dengan Fahri Hamzah yang tanpa kontrol. Akibatnya, serangan keduanya bisa jadi bumerang yang mematikan.

Di sisi lain, 53% pemilih Jokowi-JK akan terpecah antara memilih Ahok atau memilih jagoan yang diusung oleh PDIP. Dari 53% suara itu, Ahok akan mampu memakan lebih banyak suara pemilih ketimbang jagoan PDIP.

Dari pendekatan Pilpres 2014, dengan mengantongi modal sekitar 47% suara, peluang Sjafrie untuk menang dalam 1 putaran sangat besar. Kalaupun pilkada sampai harus digelar dalam 2 putaran, peluang Sjafrie untuk memenanginya tetap besar.

Dalam putaran kedua, Sjafrie yang sudah mengantomgi sekitar 47% suara akan berhadapan dengan Ahok. Sjafrie hanya butuh 3% plus 1 suara untuk memenangi pilgub. Dan suara itu akan dengan mudah didapat Sjafrie menginat tidak semua, bahkan banyak, pendukung Jokowi yang tidak menyukai kepribadian dan gaya kepemimpinan Ahok. Apalagi setelah Ahok terseret dalam berbagai kasus korupsi. Jadi, sekalipun digelar dalam dua putaran pemenangnya tetap saja Sjafrie.

Berapa sebenarnya suara potensial yang sanggup diaraih Ahok? Dengan asumsi peristiwa #TemanAhokNyolongKTP tidak pernah terjadi. Atau peristiwa itu hanya terjadi pada Anto dan bukan fenomena gunung es. Maka suara potensial yang bisa diraih Ahok adalah sejumlah KTP yang berhasil dikumpulkannya. Dari pengamatan, pengumpul KTP ini akan tetap mencoblos Ahok meskipun Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Masalahnya bagi Ahok, jumlah pendukungnya sudah relatif stagnan. Hal ini karena pengumpul KTP berasal dari lingkungan yang sama, seperti satu keluarga, satu kerabat, satu lingkungan hunian, satu pertemanan arisan, satu kantor, satu geng kongkow, dan lainnya. Katakanlah KTP yang berhasil dikumpulkan mencapai 1,2 juta. Kalaupun pendukung Ahok bertambah, pertambahannya tidak akan lebih dari 50%. Jadi, Ahok paling banter akan meraih 1,8 juta suara atau hampir sama dengan perolehan suara Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI 2012.

Kemudian, pada Pilgub DKI 2017 Jokowi-Ahok meraih 2.472.130 suara pada putaran kedua. Sedangkan Foke-Nara meraup 2.120.815 suara. Selisih keduanya hanya 351.315 suara. Lantas, pada Pilpres 2014 Prabowo-Hatta memperoleh 2.528.064 suara. Sementara itu Jokowi-JK menggaet 2.859.894 suara.

Maka, potensi suara Ahok yang berjumlah 1,8 juta suara akan berhadapan dengan potensi suara yang akan diraih Sjafrie, yaitu 2,1 juta plus dan 2,5 juta plus. Jadi, dari angka-angka ini pun Sjafrie tetap yang bakal keluar sebagai pemenangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun