Dulu, selain film boneka “Si Unyil”, hiburan yang kami tunggu-tunggu saban harinya ya sandiwara radio. Waktu itu sandiwara radio yang paling top markotap adalah “Saur Sepuh: Satria Madangkara”. Di Cirebon, setiap harinya sandiwara radio itu diputar tiga kali oleh tiga stasiun radio.
Brama Kumbara yang menjadi tokoh utama dalam sandiwara radio itu memiliki ajian Serat Jiwa. Dengan ajian ini Brama Kumbara yang juga Raja Madangkara sanggup membinasakan lawan-lawannya. Selain Brama yang disuarakan oleh Feri Fadli, ada juga Mantili, adik Brama yang diperankan oleh Eli Ermawati. Nah, Mantili ini dikenal dengan julukan Si Pedang Setan karena pedang sakti yang jadi andalannya mengeluarkan bau mayat. Ada juga tokoh Lasmini si wanita penggoda, Raden Samba, Raden Bentar, dll.
Pas terdengar alunan iklan “Mual mules perih kembung. Promag obatnya. Promag obat maag hijau dengan na na na na na...Mual mules perih kembung Promag obatnya” pas potongan rel kereta ditabuh “teng teng teng”. Kamu pun berlarian ke kelas. Di dalam kelas kami cerita ke teman-teman lainnya.
Besoknya, kami kembali nguping di jendela rumah itu. Tentu saja jumlah anak yang nguping lebih banyak dari kemarin. Karuan saja, makin banyak yang nguping, malah sering bikin gaduh. Bagaimana tidak gaduh, ada yang cekikikan, malah ada juga yang cerita sendiri.
Rupanya si empunya rumah mendengar suara-suara dari balik jendelanya. Pas iklan ia keluar. Untung bapak pemilik rumah yang bernama Pak Bandi tidak marah.
“Ayo pindah ke dapan sini,” kata Pak Bandi sambil melambaikan tangannya. Diajaknya kami ke teras rumahnya.
Dengan bingung saya mengikuti ajakan Pak Bandi. Bersama teman-teman, saya duduk melingkar di teras rumah Pak Bandi. Tidak lama lama kemudian Pak Bandi keluar dengan menenteng radio transistor berwarna hitam.
Entah berapa hari sejak itu, Bu Bandi malah berjualan jajanan anak-anak. Ada permen, wafer “Superman”, Chiki, Anak Mas, dan es lilin. Mau tidak mau kami membeli dagangannya. Rupannya, kesenangan kami mendengarkan “Saur Sepuh” dimanfaatkan oleh Bu Bandi. Lumayan, sambil mengurus anak Bu Bandi bisa nyambi jualan jajanan anak.
Karena waktu itu tidak ada warung yang berjualan di sekolah, banyak siswa-siswa yang jajan ke warung Bu Bandi. Teras rumah Bu Bandi jadi ramai. Tentu saja acara mendengar “Saur Sepuh” jadi terganggu. Kami pun jadi malas nongkring di rumah Bu Bandi lagi dan kembali bermain regudag, rekumpet, dan yang lainnya lagi.
Sewaktu SMA saya sempat lewat rumah Pak Bandi dan menyempatkan diri mampir.
“Cep Gatot, ya,” sapa Bu Bandi sambil melayani pembeli. Bu Bandi yang dulu memanggil saya dengan “Gatotkaca Wayang” masih mengingat nama remaja tampan yang menyambanginya.