Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

(Resensi) "Hidup yang Lebih Berarti" Ketika Hidup Tak Lagi Bladus

20 Mei 2016   08:40 Diperbarui: 20 Mei 2016   09:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul                    : Hidup yang Lebih Berarti

Pengarang           : 20 Blogger Kompasiana

Penerbit               : PT Elek Media Komputindo

Tempat Terbit      : Jakarta

Tahun Terbit        : 2016

Jumlah Halaman : x, 190

ISBN                   : 978-602-02-7976-7

Saya meyakini, selama kita mau berusaha, Tuhan akan membukakan jalan”, kata Anik Sriwatinah dengan suara bergetar. Ingatannya seolah melayang kembali ke masa tiga tahun silam. Masa ketika  ia banting tulang untuk lepas dari jerat tipu daya yang melenakannya. Saat-saat ia memeras keringat sebagai  “pekerja” di lokalisasi Dupak Bangunsari.

Itulah kisah tentang Anik dalam “Kegigihan Anik Sriwatiah Berdayakan Mantan PSK dan Mantan Mucikari Lokalisasi Dupak Bangunsari”. Artikel yang ditulis oleh Hadi Santoso adalah pemenang pertama ajang blog competition bertema "Kisah Inspiratif di Daerahmu" yang digelar Kompasiana pada 11 Mei - 31 Mei 2015. Lomba tersebut diselenggarakan dalam rangka memberdayakan masyarakat Indonesia lewat gerakan "Dayakan Indonesia".

Dalam ulasannya, Hadi mengisahkan tentang usaha Anik untuk hidup mandiri. Selain itu, dituturkan juga jerih payah Anik ketika ia mengajak para mantan pekerja seks komersial (PSK) dan para mantan mucikari untuk memberdayakan diri.

Anik bukanlah pelaku di bisnis haram itu, tapi hanya kecipratan rezeki dari keberadaan lokalisasi. Di lokalisasi Dupak, ibu satu anak itu membuka warung tepat di di seberang jalan masuk gang utama. Setiap hari, warungnya kedatangan banyak tamu. Ada yang makan. Ada juga yang sekadar ngopi.

Sampailah pada 21 Desember 2012 Pemkot Surabaya menutup lokalisasi Dupak. Sekalipun Anik mendukung kebijakan pemkot tersebut, namun tak ayal penutupan lokalisasi membuat usahanya kendur. Katanya, sebelum ditutup dalam sehari ia bisa membikinkan pelanggan 100 gelas kopi. Tetapi setelah penutupan ada dua orang yang pesan kopi saja sudah bagus. Ibaratnya, karena gulanya sudah tidak ada, maka semut pun tidak datang.

Bangkrutnya usaha warung mendorong Anik semakin rajin mengikuti berbagai pelatihan keterampilan, mulai pelatihan memasak, menjahit, membuat bakso, hingga membuat handytcraft. Untungnya, perepuan 41 tahun ini tidak ingin berhasil sendirian. Ia  pun mencoba mengajak beberapa mantan PSK dan mantan mucikari di sekitar rumahnya yang juga merupakan warga terdampak penutupan lokalisasi. Kepada yang diajak, Anik berusaha meyakinkan mereka untuk memperbaiki nasib dengan mengikuti pelatihan keterampilan.

“Awalnya susah sekali mengajak mereka. Tapi saya nggak patah semangat,” ujarnya.

Usahanya tidak sia-sia. Anik akhirnya berhasil mengajak delapan tetangganya untuk ikut serta mengikuti latihan. Dari berbagai pelatihan yang diikuti, ia bersama delapan warga lainnya mulai percaya diri, bahwa mereka bisa hidup mandiri.

Bersama mantan PSK dan mucikari yang diajaknya, Anik membentuk Rumah Kreatif Kembang Melati. Anik ditujuk sebagai ketuanya. Rezeki nomplok datang kemudian. mereka mendapatkan bantuan mesin jahit dari Pemerintah Kota Surabaya. Mulailah mereka memproduksi produk handycraft seperti dompet, bros, tas, hingga keset berkarakter.

Awalnya hasil karya Rumah Kreatif Kembang Melati.tidak seperti yang diharapkan. Tetapi, mereka terus berusaha. Sampai kemudian keset motif bikinan rumah kreatif Kembang Melati terpilih sebagai produk terbaik dalam ajang UKM kreatif award Surabaya tahun 2012 silam.

Kisah perjalanan usaha Anik Sriwatinah menjadi satu dari 20 kisah sejenis lainnya yang disajikan dalam buku “Hidup yang Lebih Berarti”. Buku ini diterbitkan atas kerja sama blogger Kompasiana dengan BTPN. Dalam buku setebal 190 halaman ini, banyak kisah inspiratif yang keinspiratifannya tidak pernah terlintas dalam pikiran Bill Gates dan Steve Jobs sekalipun.

“Akan tetapi, dari buku yang sedang Anda baca ini, Anda akan dihadapkan pada bangsa sendiri dengan ide dan segudang kreativitas yang mencengangkan, bahkan beberapa mengejutkan,” toreh COO Kompasiana Pepih Nugraha dalam pengantar buku terbitan PT Elex Media Komputindo. 

Bukan hanya kisah tentang usaha seperti yang dilakoni Anik yang disuguhkan dalam “Hidup yang Lebih Berarti. Ada juga kisah tentang Milda Fitriawati yang membantu sesamanya setelah menjadi penyuluh kesehatan. Kisah tentang penyuluh kesehatan ini ditulis oleh Dody Kasman dalam “Milda Fitriawati Merasa Berarti dengan Jadi Kader Kesehatan”.

Milda yang hanya berijazah Paket C ini mampu membuktikan kalau ia bisa berbuat banyak dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Ibu rumah ini membantu sesamanya sejak bergabung dengan program Daya pada 2013. Dalam program yang dibina oleh BTPN tersebut, Milda menjadi kader kesehatan untuk Kecamatan Krasaan, Kabupaten Probolinggo..

Tidak mudah bagi Milda untuk menjadi kader kesehatan BTPN. Awalnya ia harus mengikuti seleksi yang sangat ketat. Setelah dinyatakan lulus seleksi, barulah perempuan kelahiran 1975 ini mengikuti pelatihan di Bogor. Dalam pelatihan yang melibatkan PDUI (Persatuan Dokter Umum Indonesia) tersebut, Milda dan peserta pelatihan lainnya diberikan serangkaian materi yang dilangsungkan selama 160 jam. Dari 160 jam tersebut, dibagi menjadi 140 jam materi kelas dan 20 jam berupa praktek.

Tidak sia-sia Milda mengkuti pelatihan tersebut. Kini sebagai kader kesehatan Milda mampu memberikan sejumlah materi penyuluhan, mulai dari CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun), Mengenal Demam Berdarah dan Pencegahannya, Tubuh Sehat dan Bugar, sampai penyuluhan tentang kanker payudara lewat metode “Sadari” atau Periksa Payudara Sendiri. Tidak hanya itu, dalam kesehariannya pun Milda kerap didatangi tetangga-tetangganya hanya untuk dimintakan memeriksa tensi darah.

Dari Kabupaten Cirebon, atau tepatnya Desa Kalitengah, Kecamatan Kalitengah, Kabupaten Cirebon, Gatot Swandito menghaturkan “Di Tangan Dian Novalia, Penjualan Batik tidak Se-bladus Warnanya”. Membatik bagi warga Desa Kalitengah bukan saja sekedar mata pencarian, tetapi juga menjaga tradisi yang telah diturunkan sejak ratusan tahun lamanya. Begitu juga dengan Dian Novelia, ia menekuni usaha batik yang diturunkan oleh orang tuannya.

Dian mengisahkan awal mula ia menekuni usaha batik yang dimulainya pada tahun 1999. Pada waktu itu ia mendapat modal 6 lembar kain mori dari kedua orang tuanya. Bersama suami yang baru menikahinya, keenam kain mori itu kemudian dibatiknya lalu dipasarkan.

Lewat tetangganya, pada tahun 2014 Dian mengenal Daya Tumbuh Komunitas BTPN (DTK BTPN). Kebetulan Dian merupakan nasabah BTPN Syariah. Awalnya ajakan tetangganya itu dicueki oleh ibu dua anak ini. Namun pada akhirnya Dian pun memutuskan untuk bergabung. Keputusan tersebut diambilnya setelah ia melihat kemajuan usaha tetangga-tetangganya yang juga sesama pembatik.

Dalam upaya pemberdayaan anggota binaannya, BTPN menyelenggarakan berbagai ajang. Salah satunya ajang pameran yang bertajuk “Selendang Mayang”. Terakhir BTPN menggelar Selendang Mayang II di Jakarta selama dua hari jelang hari raya Idul Fitri 2015. Dalam ajang Selendang Mayang II tersebut

Tidak percuma Dian bergabung dengan DTK BTPN. Selain dapat mengembangkan usaha batik yang sudah dijalaninya, DTK BTPN pun menawarkan banyak peluang usaha lainnya. Salah satunya dengan menganekaragamkan atau diversifikasi bahan pewarna batik yang digunakan

Penganekaragaman pewarna batik dengan menggunakan bahan perwarna alami ini sudah dijalani Dian sejak Juni 2015 lalu. Bahan baku untuk pewara alami batik ini didapat dari lingkungan sekitar. Ada bahan pewarna yang dihasilkan dari daun mangga, kulit buah jengkol, daun kersem, bahkan kotoran kerbau dan sapi pun bisa disulap menjadi bahan pewarna batik.

Menurut Dian, batik dengan pewarna alami memiliki kekhasan sendiri. Batik berbahan pewarna alami lebih tahan lama dan tidak luntur meski sering dicuci. Kecemerlangan warna batik yang dihasilkan bahan pewarna sintetis dan alami pun berbeda. Jika batik berbahan pewarna sintetis atau kimia nampak lebih cemerlang warnanya, maka warna batik berbahan alami nampak tidak mengkilap, tidak cemerlang, atau bladus.

Dengan mengenalkan bahan pewarna alami kepada pembatik, BTPN telah mengajak binaannya untuk lebih “Go Green”. Tentu saja dengan menggunakan bahan pewarna alami, harga batik yang dijual Dian pun lebih tinggi ketimbang batik berbahan pewarna sintetis.

Buku dengan sampul warna orange ini merupakan hasil dari reportase blogger Kompasiana yang dilakukan pada akhir September-awal Oktober 2015. Dengan gaya penulisan feature, ke 20 Kompasianer menghadirkan hasil peliputannya dalam buku ini.

Sayangnya, kertas yang digunakan berwarna buram sehingga foto-foto yang ditampilkan kurang menarik. Foto pun ditampilkan dalam hitam-putih. Padahal dalam buku itu banyak foto yang menampilkan kemasan produk yang pastinya penuh warna.

Namun demikian, warna kertas yang bladus tidak mengurangi “misi” buku, yaitu memberi inspirasi kepada pembacanya untuk tumbuh dan berkembang. Banyak ide cemerlang yang bisa langsung diterapkan ataupun dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun