Rumornya, sebut saja rumor bukan informasi, dalam kasus Sumber Waras KPK tidak memeriksa Ahok selama 12 jam. Dengan kata lain, pemeriksaan yang terjadi pada 12 April 2016 itu berlangsung kurang dari 12 jam seperti yang diberitakan. Lalu, kenapa Ahok baru keluar dari gedung KPK setelah 12 jam berada di dalam?
Masih menurut rumor, pada malam itu terjadi perbedaan pendapat di antara sebagian komisioner KPK dengan penyidik KPK. Satu pihak berpendapat sudah mengantongi cukup bukti untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka. Sedang pihak lainnya berpendapat sebaliknya. Perbedaan pendapat, kalau tidak ingin disebut sebagai perseteruan, inilah yang menyebabkan Ahok harus menunggu selama berjam-jam meski ia telah selesai diperiksa. Rumor ini eredar di “kolong” kompasianer beberapa hari setelah KPK memeriksa Ahok.
Sebenarnya, rumor tentang perbedaan pendapat, silang pendapat, bahkan perseteruan di antara awak KPK bukan barang baru lagi. Karena informasi tersebut sudah beredar luas sebulan sebelumnya. Dan, pada 10 Maret Ketua KPK Agus Rahardjo sudah menampiknya dengan mengatakan kalau KPK tetap kompak. Rumor soal ketidakkompakan KPK ini pastinya tidak datang begitu saja dari langit. Hal ini dikarenakan dua minggu sebelum Agus membantah rumor tersebut, KPK melakukan gelar perkara kasus SW. Dan hasilnya, kasus SW belum bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Dan, yang terbaru dari rumor yang beredar lewat kolong Kompasiana hanya tentang lamanya waktu pemeriksaan Ahok. Tetapi, rumor tersebut memang sangat masuk akal. Ahok pastinya tidak diperiksa selama 12 jam. Karena setelah memeriksa Ahok, KPK pastinya menggelar rapat terkait hasil pemeriksaan. Perkara berapa jam Ahok harus menunggu, atau berapa lama waktu yang digunakan oleh petinggi KPK untuk rapat, itu lain urusan.
Dibanding rumor-rumor “kolong” lainnya, rumor tentang pemeriksaan Ahok tersebut terkesan biasa-biasa saja, Sekalipun terkesan biasa saja, rumor ini tetap layak untuk dicermati. karenanya tidak masalah jika ditayangkan di Kompasiana ini.
Rencananya KPK akan membentuk tim ahli untuk menindak lanjuti kasus SW. Pendapat atau masukan dari tim ahli ini pastinya dimaksudkan untuk menjembatani silang sengketa yang terjadi. Sayangnya, pembentukan tim ahli ini pun sepertinya tidak mulus-mulus amat. Mengenai siapa saja ahli yang akan dipilih pastinya menimbulkan silang pendapat tersendiri di internal KPK. Jadi, belum tentu juga kesimpulan tim ahli (jika tim ahli ini memberikan kesimpulannya) ini diterima secara bulat.
Sementara itu, perilaku pimpinan KPK terkait kasus SW ini terus mendapat sorotan publik. Dalam kasus SW ini, pernyataan para pimpinan KPK Jilid IV ini lebih terkesan sebagai pengacara Ahok. Lihat saja pernyataan Saut Situmorang usai menjadi pembicara diskusi antikorupsi di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu 27 April 2016. Kata Saut, kalau ada kesalahan prosedur mulai dari urutannya, terburu-buru dan tak masuk APBD, harusnya melalui Musrenbang dan sebagainya, dan KPK tak bisa masuk ke masalah itu. Sikap ini berbeda dengan pernyataan pimpinan KPK jilid sebelumnya yang hanya membantah setiap opini yang menyudutkan KPK.
Perilaku paling aneh dari komisioner KPK Jilid IV ini adalah dicari-carinya niat jahat. Menurut mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua, baru pada kasus SW inilah KPK mencari-cari niat jahat untuk menilai sebuah kasus. Maka, tidak mengherankan setelah pencarian niat jahat itu santer diberitakan, KPK langsung mendapat serangkaian serangan termasuk bully.
Kasus SW yang sekarang ditangani oleh KPK pimpinan Agus Rahardjo ini sebenarnya warisan dari KPK pimpinan Plt Taufiqurahman Ruki. Kasus ini menjadi sorotan masyarakat setelah pada 6 Agustus 2015 KPK yang saat itu masih dipimpin Ruki meminta BPK melakukan audit investigasi. Permintaan KPK kepada BPK ini diartikan kalau KPK melihat ada indikasi tipikor pada transaksi jual beli lahan SW. Untuk itu KPK telah melakukan tahap pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Sambil menunggu kelarnya audit investigasi BPK, KPK melanjutkan pulbaket-nya. KPK melakukan pendalaman yang meliputi permintaan keterangan dari sejumlah pihak dan mencari dokumen.
Pada 7 Desember 2015 BPK menyerahkan hasil audit investigasinya. Dalam audit itu, BPK meyakini ada enam penyimpangan yang terjadi dalam satu siklus yaitu perencanaan, penganggaran, kemudian pembentukan tim, pengadaan lahan RS SW, pembentukan harga dan penyerahan hasil.
Jadi, sebelum ditangani oleh KPK Jilid IV yang komisionernya baru dilantik pada 21 Desember 2015, kasus SW sudah didalami oleh KPK selama berbulan-bulan. Karenanya menjadi aneh ketika di tangan komisioner barunya kasus ini mengalami turbulensi.
Kata Saut, kalau ada kesalahan prosedur mulai dari urutannya, terburu-buru dan tak masuk APBD, harusnya melalui Musrenbang dan sebagainya, dan KPK tak bisa masuk ke masalah tersebut. Saut menutup mata dengan hasil audit BPK yang menemukan 6 penyimpangan dalam 1 siklus. Jika hanya 1 sampai 3 penyimpangan, oke masih bisa dimaklumi. Tapi kalau ada 6 penyimpangan, dari hulu sampai hilir, apakah penyimpangan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kesengajaan yang juga bisa diartikan sebagai sebuah niat jahat. Inilah salah satu logika publik yang dilawan oleh pimpinan KPK Jilid IV.
Komisioner KPK Jilid IV bukan saja menutup mata pada hasil audit investigasi BPK yang menemukan adanya 6 penyimpangan dalam 1 siklus, tetapi seolah telah mengabaikan hasil kerja keras KPK sebelumnya. Tidak heran jika mantan Wakil Ketua KPK Jilid III Zulkarnaen dan mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua bersuara mengritisi kinerja KPK Jilid IV. Zulkarnaen, misalnya, mengungkapkan adanya aliran uang ke pihak ketiga. Temuan adanya aliran uang ini pastinya bukan berasal dari audit investigasi BPK, tetapi oleh KPK sendiri yang tentunya berdasarkan informasi dari PPATK.
Selanjutnya KPK pastinya akan terus berhadapan dengan informasi atau pun rumor yang menyebar. Kalau informasi atau rumor itu tidak benar, hoax, atau lainnya, KPK tidak perlu mempermasalahkannya. Tapi, kalau informasi atau rumor itu benar atau dipercaya kebenarannya, tentunya akan menjadi masalah bagi KPK. Celakanya, KPK tidak mampu mengontrol semua informasi yang beredar. Berita tentang adanya manipulasi berupa backdate pada surat-menyurat dalam kasus SW pun KPK belum mengomentarinya. Jika hal ini didiamkan perlahan tapi pasti informasi dan rumor tersebut akan menggerus KPK secara keseluruhan.
Timbul pertanyaan, kenapa KPK seolah masuk angin dalam kasus SW ini? Apakah karena sulitnya menemukan barang bukti? Apakah tidak berhasil mencium niat jahat? Ataukah karena faktor politik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H