[caption caption="PBB Sumber Waras (Sumber Kompasiana)"]
Dengan sengkarut tanah itu, siapa yang salah? Ahok tidak salah. Dinkes DKI tidak salah. BPK juga tidak salah. Kesalahan jelas ada pada Dinas Pajak yang memproduksi data tanpa berdasarkan data pada sertifikat tanah atas nama Sumber Waras.
Pertanyaannya, kenapa Pemprov DKI tetap meneruskan transaksi di atas kesemrawutan data? Kenapa tidak menunggu sampai data tersebut diluruskan oleh instansi terkait. Ini masalah yang harus dijelaskan oleh Ahok. Kenapa transaksi pembelian tanah RS terburu-buru? Ada apa sebenarnya?
Bukan hanya itu. Masih ada “sesuatu” pada Skandal SW jika melihat kronologinya. (Diedit dari Kompas.com ) Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras
12 Mei 2014, Ahok sebagai Plt Gubernur itu pertama kali menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan jantung kepada media. Alasannya, RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita yang pasiennya membeludak. Bahkan, Pemprov DKI mengaku telah mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembelian lahan RS Sumber Waras.
16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama dengan NJOP Rp 15 juta per M2.
Pada 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut.
Sudah jelas. Jadi Ahok yang mengincar lahan itu sejak Mei 2014. Hanya dalam hitungan 13 hari, keinginan Ahok itu mampu membuat YKSW membatalkan kerja sama jual belinya dengan PT Ciputra. Karena Pemprov DKI membeli lahan tersebut dengan Rp 20.7 juta per M2, maka YKSW mendapat keuntungan lebih dengan selisih sekitar Rp 5 juta per M2.
Apa hanya sampai disitu?
Tidak masih ada yang menarik lainnya. Di-copas dari Kompas.com. AhokTentang Ciputra Bangun Mal di Lahan RS Sumber Waras
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, Pemprov DKI sedari awal berencana membangun RS Jantung dan Kanker. Ia menyebut pemilihan lahan milik RS Sumber Waras dilatarbelakangi ketidaksetujuan Pemprov atas rencana PT Ciputra Karya Utama yang hendak mengubah lahan itu menjadi mal.