Kalau dilihat dari angka-angkanya, berarti tingkat kesukaan dan popularitas didapat dari siapa saja yang dikenali dan disukai oleh responden. “Siapa saja” berarti satu responden boleh memilih lebih dari satu calon. Dalam pertanyaan seperti ini biasanya responden ditunjukkan show card atau drop card sebagai alat bantu memilih.
Menurut survei tersebut, Ahok dikenali oleh 94 % responden dan disukai oleh 71,39 %. Artinya ada 22.61 % responden yang kenal Ahok tapi tidak menyukainya. Ini logis, sebab tingkat popularitas Ahok lebih besar dari tingkat kesukaan. Atau yang mengenali Ahok belum tentu menyukainya.
Nah, kejanggalannya nampak pada Risma dan Ridwan Kamil. Risma contohnya, Walikota Surabaya ini dikenali oleh 63,75 % responden, tetapi ada 85,54 % respenden yang menyukainya. Jadi dari total 400 responden ada 21,79 % responden yang tidak kenal Risma tapi menyukainya. Ini aneh, kok bisa ada responden yang tidak kenal Risma, tapi bisa menyukainya. Begitu juga dengan Ridwan Kamil.
Logikanya, tidak mungkin responden suka pada cagub kalau ia tidak mengenalinya. Jadi, tingkat popularitas cagub harusnya lebih tinggi atau sama dengan tingkat kesukaannya.
Tak kenal maka tak sayang. Kalau yang ini tak kenal pun bisa suka.
Semoga CSIS bisa menjelaskan adanya kejanggalan dalam surveinya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H