Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sesatkan Hasil Survei, Metrotvnews Coba Lemahkan Ridwan Kamil Sekaligus Dongkrak Yusril

5 Maret 2016   08:48 Diperbarui: 6 Maret 2016   09:09 3678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto layar (dok pri)"][/caption]Artikel ini adalah sambungan dari artikel sebelumnya

Intinya, ada berita di Metrotvnews.com pada 22 Februari 2016 yang berjudul “Elektabilitas Yusril Lampaui Ridwan Kamil”. Katanya, menurut hasil survei Populi Center, elektabilitas Yusril mencapai 78 %,  sedangkan Emil 75,2 %.

Angka-angka elektabilitas yang diberitakan Metrotvnews tersebut sangat janggal karena total jumlahnya melebihi 100 %. Tentu saja ini ngawur. Dan pasti ada yang nakal. Pertanyaannya, siapa yang nakal, Populi Center atau Metrotvnews? Atau bisa jadi keduanya yang nakal.

Dari beberapa komentar, ada yang mengatakan kalau Populi yang nakal. Tapi ada juga yang mengatakan kalau baik Populi da Metrotvnews sama-sama gembung.

Kalau dilihat dari situs Populi Center ternyata, Populi tidak menuliskan “elektabilitas” tapi “popularitas”.

Begini kutipannya, “Dalam survei ini, Populi Center menemukan beberapa temuan menarik.   Pertama, untuk tingkat popularitas selain Ahok, tokoh yang memiliki popularitas tinggi adalah Rano Karno (96%), Ahmad Dhani (93.5%), Yusril Ihza Mahendra (78%), dan Ridwan Kamil (75.2%). “Ini  berarti nama Yusril dan Ahmad Dhani yang baru saja mulai muncul di bursa cagub Jakarta cukup dikenal masyarakat Jakarta dan berpotensi untuk mendulang dukungan dalam Pilgub 2017 nantinya dibandingkan nama-­‐nama lainnya,” ujar Nona Evita, peneliti Populi Center. 

Lantas, bagaimana dengan media lain? Ternyata, berita Kompas.com serupa dengan Populi.

Begini kutipannya, “Survei yang dilakukan Populi Center menunjukkan bahwa popularitas Basuki, atau yang biasa disapa Ahok itu mencapai 99,2 persen ....

... Di bawah Ahok, ada Gubernur Banten Rano Karno dengan 96 persen, kemudian musisi Ahmad Dhani (93,5 persen), Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra (78 persen), Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (75,2 persen), Wakil Ketua DPRD Abraham Lunggana (67,8 persen), dan mantan Menpora Adhyaksa Dault (63 persen), dan Wagub DKI Djarot Syaiful Anwar (57,5 persen)”

Jadi sudah sangat jelas dan gamblang yang nakal bukan Populi Center, tapi Metrotvnews. Metrotvnews-lah yang ngawur dengan memelintir “popularitas” menjadi “elektabilitas”  Tentu saja, arti keduanya sangat jauh berbeda.Ppopularitas berarti keterkenalan. Sedangkan elektabilitas artinya keterpilihan. .

Jika diperhatikan lebih jauh, kenakalan Metrotvnews bukan cuma memelintir “popularitas” menjadi “elektabilitas” saja, Tapi, nanti terakhir saja ditulisnya..

Memang pada rilis Populi Center terdapat kata “elektabilitas”, tapi yang dimaksud adalah elektabilitas top of mind. Top of mind adalah apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran responden ketika ditanya tentang obyek survei. Biasanya ditulis top of mind saja. Kemudian ada juga elektabilitas head to head. Head to head di sini maksudnya jika 2 tokoh diadu, misalnya, Ahok Vs Yusril, Ahok Vs Lulung, Ahok Vs Ridwan Kamil,

Nah, kalau elektabilitas Yusril yang diberitakan Metrotvnews.com yaitu 78 %, lucunya ternyata, top of mind Yusril cuma 3 %. Jadi, ada 78 % responden yang kenal Yusril, tapi hanya 3 % responden yang terlintas dalam pikirannya kalau Yusril bakal nyagub. Sangat jomplang bukan.

Top of mind itu contohnya begini, ada 100 responden. Ke-!00 responden itu ditanyai “Bicara tentang Pilpres 2019, siapa capres yang terlintas dalam pikiran Mbak?’ 55 responden menjawab Jokowi (55 %), 35 responden menjawab Gasa (35), 4 responden menjawab Elde (4%), 4 responden menjawab Jati (4%), Dan 2 responden menjawab Surya Paloh (2%).

Jumlah total top of mind pasti 100 % karena setiap responden hanya menjawab 1 nama capres. Dan, jawaban yang dicatat oleh interviewer adalah yang pertama kali tercetus oleh responden.

Top of mind bisa juga seperti ini, 100 kompasianer ditanya, “Tentang Jati Kumoro, apa yang terlintas dari Mas Bro kalau melihat PP akun Jati?” 99 kompasianer menjawab “habul”. Artinya, begitu melihat PP akun Jati, yang pertama kali terlintas dalam pikirannya 99 % kompasianer adalah “habul”. Sedang 1 % sisanya menjawab “cabul:

[caption caption="Foto layar (dok pri)"]

[/caption]Menariknya lagi, pada link berita “Elektabilitas Yusril Lampaui Ridwan Kamil”, di situ tertulis “popularitas”. Dari situ dapat diketahui jika judul awal berita tidak menyebut “elektabilitas” tetapi “popularitas”.

Lantas, apa alasan Metrotvnews.com mengubah “popularitas” menjadi “elektabilitas” sehingga menyesatkan hasil survei Populi Center?

Pertama, Metrotvnews.com dikenal sebagai milik Surya Paloh, Ketua Nasdem. Kedua, Nasdem mendukung Ahok pada Pilgub DKI 2017. Ketiga, pada saat Metrotvnews.com mempublikasi berita tersebut (22 Februari 2016), kemungkinan majunya Ridwan Kamil untuk menyaingi Ahok sangat besar. Dan, Emil banyak disebut sebagai sosok yang mampu menumbangkan Ahok.

Sederhanyanya, Metrotvnews identik dengan Nasdem, karena Nasdem mendukung Ahok, maka Metrotvnews pun dianggap sebagai pendukung Ahok.

Singkatnya, apa kesan yang ditangkap dengan “Elektabilitas Yusril Lampaui Ridwan Kamil”? Bukannya ini sama saja dengan mengatakan “Lihat, elektabilitas Ridwan Kamil sekarang sudah kalah oleh Yusril.”. Penyesatan hasil survei oleh Metrotvnews ini sebenarnya tidak lebih dari propaganda. Sayangnya, propaganda yang dilancarkan oleh Metrotvnews tersebut terlalu naif dan malah jadi bahan tertawaan.

Propaganda busuk ala penyesatan hasil survei memang biasa ditemui di setiap jelang pemilu. Berbagai macam survei akal-akalan, survei hoax, quick count bodong, bahkan real count palsu pun bertebaran di saat pemilu. Bayangkan real count, yang disaksikan berjuta pasang mata bisa dipalsukan! Malah, ada lembaga survei yang men-copas hasil survei lembaga survei lainnya, hanya mengganti nama tokoh, tanpa mengganti angka-angkanya. Angka-angkanya dari atas sampai bawah plek sama persis.

Ada juga yang lucu, Alvara Research Center merilis survei tentang popularitas capres. Dan, hasilnya: 1. Ical: 78,4 %, 2. Jokowi: 76,0 %, 3. Prabowo: 66,3 %, ...8. Surya Paloh: 32,7 %, 9. Hatta Radjasa: 28,9 %, 10. Mahfud MD: 24,1 %, 11. Rhoma Irama: 20,8 %. Pertanyaannya kan gampang, sejak kapan Rhoma Irama kalah ngetop dibanding Mahfid MD, apalagi Surya Paloh?

Lembaga survei memang suka nakal, suka utak-atik di sana sini supaya kliennya menang dan senang. TAPI, media jangan ikut-ikutan nakal. Media harus memberitakan sesuai dengan hasil survei yang dirilis. Media harus memberitakan apa adanya. Kalau ada rilis lembaga survei yang aneh, beritakan saja. Biarkan publik yang menilai dan mengkritisinya. Bukankah di Kompasiana ini banyak artikel yang menjewer hasil-hasil suvei yang nakal.

Kalau Metrotvnews ini kasusnya aneh, hasil survei yang dirilis Populi Center-nya “lurus-lurus saja”, eh Metrotvnews-nya yang malah menyesatkannya.

Dalam artikel sebelumnya, ditulis kalau dukungan Nasdem kepada Ahok yang kemungkinan besar melibatkan Metro TV sama saja dengan memberikan Ahok secangkir kopi bersianida. Dan akhirnya kejadian juga. Metrotvnews memberitakan hasil survei dengan memelintirnya terlebih dulu. Gara-gara itu bisa saja orang mengatakan, “Oh begitu cara Ahok menjegal pesaing kuatnya!” Akibatnya, propaganda busuk itu akan menyerang balik Ahok sendiri.

Bayangkan kalau propaganda busuk ini didiamkan. Lantas suatu saat diungkap dan diekspos besar-besaran oleh lawan-lawan Ahok. Apa kata orang? “Oh, jadi berita yang bagus-bagus itu ternyata cuma hoax hasil main pelintir.” Mampoeslah Ahok kalau diserang seperti itu.

Begini, Ahok itu banyak mendapat serangan negatif dan serangan hitam. Malah bisa dipastikan lebih banyak serangan hitam ketimbang serangan negatif. Serangan-serangan itu bisa diatasi dengan digencarkannya kampanye positif. Tapi, positif yang bagaimana dulu. Kalau “positif” tapi hoax sama saja dengan melempar bumerang.

Kengawuran Metrotvnews lainnya.

Berita di Metrotvnews begini, “...Yusril sudah dikenal masyarakat. Nama Yusril menunjukkan angka elektabilitas yang menjanjikan kenaikan," kata Nona di Hotel kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2016).

 Nona mengungkapkan, elektabilitas Yusril melejit dibanding nama-nama yang sudah dulu masuk dalam bursa bakal calon Pilgub DKI Jakarta. Yusril mampu mengalahkan Ridwan Kamil (75,2%), Sandiaga Uno (23,8%), Djarot S. Hidayat (57,5%), Nachrowi Ramli (52%), dan Abraham `Lulung` Lunggana (67,8%).

Di situ tidak disebutkan nama Rano Karno dan Ahmad Dhani. Padahal tingkat popularitasnya lebih tinggi ketimbang Yusril. Dengan demikian diopinikan kalau Yusril jadi calon pesaing terkuat buat Ahok. Ada maksud nakal apa lagi?

Ini mirip dengan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang melontarkan ARB di puncak tangga elektabilitas dengan menghilangkan nama Jokowi dan Prabowo. Cuma waktu itu modus LSI lebih canggih. Metodologi yang digunaka LSI didasari pada pengalaman pilpres 2004 dan 2009. Nama Prabowo mental karena menurut survei LSI, Gerindra tidak masuk 3 besar. Sedang nama Jokowi tidak dimasukkan karena bukan pimpinan struktural parpol. Memang dari sejumlah rlis survei, ARB selalu berada di peringkat ketiga dibawah Jokowi dan Prabowo. Dalam rilisnya, LSI menyebut ARB sebagai the real capres sedang Jokowi dan Prabowo hanya disebut sebagai capres wacana. Dan banyak yang menenggarai kalau survei tersebut didanai oleh ARB.

Nah, kalau kelakuan Metrotvnews yang mencoret nama Rano dan Dhani ini tidak jelas apa motifnya. Apalagi berapa angka “elektabilitas” yang dimiliki Ahok tidak dituliskan. Padahal jelas tingkat popularitas Ahok jauh di atas Yusril.

Apakah dengan penyesatan beritanya itu Metrotvnews ingin meng-head to head-kan Ahok-Yusril, atau bahkan bermaksud ingin memenangkan Yusril? Entahlah.

Tapi, yang pasti, seperti kata Bang Napi, “Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat. Tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah ... waspadalah!"

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun